21 September 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Bisnis, Konflik Agraria, dan Kemiskinan

5 min read

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP
Tenaga Ahli Gubernur Bidang Tata Kelola Pemerintahan

Sejumlah konflik agraria, termasuk konflik Rempang dan banyak konflik serupa lainnya, semakin meruncing seiring dengan percepatan proyek Strategis Nasional (PSN).

Hal ini mencerminkan aspek gelap dalam pembangunan yang memberikan prioritas pada pertumbuhan ekonomi dan investasi. Sebagian besar pembangunan dan investasi di Indonesia seringkali tidak terencana dengan baik, didorong oleh motivasi kapitalistik yang mengesampingkan perhatian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan berdampak merugikan pada masyarakat.

Negara seharusnya mengelola agraria dengan tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Implementasi dari mandat ini seharusnya tercermin dalam Peraturan Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.

Namun, pada kenyataannya, implementasi ini masih jauh dari apa yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Dampaknya menyebabkan munculnya beragam konflik agraria yang menjadi bukti nyata kegagalan negara dalam merancang pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.

Proyek-proyek strategis nasional seringkali memiliki dampak yang signifikan pada masyarakat lokal dan lingkungan sekitarnya. Pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dapat mengakibatkan pemaksaan penggusuran, relokasi paksa, atau hilangnya lahan pertanian yang merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat.

Selain itu, pengembangan kawasan industri dan pariwisata juga dapat berdampak negatif pada lingkungan, termasuk deforestasi, kerusakan ekosistem, dan pencemaran lingkungan.

Dalam sebagian besar kasus, konflik agraria yang muncul akibat proyek-proyek strategis nasional ini merupakan hasil dari kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Kebijakan pengadaan tanah yang tidak transparan dan kurangnya komunikasi antara pihak berwenang dan masyarakat lokal seringkali menjadi pemicu ketegangan.

Pada tahun 2021, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya 38 konflik agraria yang terkait dengan proyek-proyek strategis nasional. Secara umum, konflik-konflik tersebut seringkali dipicu oleh pengadaan tanah yang diperlukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol, bendungan, pelabuhan, dan jalur kereta api. Selain itu, pengadaan tanah juga berkaitan dengan pengembangan kawasan industri, sektor pariwisata, dan bahkan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, menjelaskan bahwa PSN yang ditargetkan pada lokasi-lokasi yang dianggap strategis dan menguntungkan untuk diberikan kepada kelompok investor seringkali meningkatkan eskalasi konflik agraria di berbagai tempat. Penentuan lokasi proyek-proyek ini seringkali tidak mempertimbangkan hak-hak dan kebutuhan masyarakat lokal yang berdiam di sana selama bertahun-tahun. Ketika bisnis menjadi alat pembangunan yang hanya melayani kepentingan sejumlah kecil elit, maka konflik agraria, kriminalisasi, serta kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat miskin akan terus menjadi ancaman. (CNN Indonesia, Selasa, 12 Sep 2023).

Konflik agraria seperti konflik Rempang hanyalah bagian dari gambaran yang lebih besar tentang ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam pembangunan. Ketika pembangunan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan investasi semata, seringkali dampak negatifnya justru terasa lebih kuat pada masyarakat yang sudah rentan secara ekonomi.

Selain itu, konflik Rempang dan konflik agraria lainnya juga mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan yang ada dalam masyarakat.

Masyarakat miskin dan rentan sering kali menjadi korban karena kepentingan ekonomi dan politik yang lebih besar. Kasus paling umum dalam perluasan kemiskinan adalah perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat.

Alih-alih mendorong perkembangan mata pencaharian yang berkelanjutan di daerah-daerah paling miskin dengan cara meningkatkan kemampuan dan keterampilan penduduk miskin, serta meningkatkan ketersediaan akses dan sumber daya bagi mereka, pemerintah justru sering mengusir masyarakat miskin dari tempat-tempat mereka tinggal.

Pasal 33 UUD 1945 menegaskan pentingnya pemerintah untuk mengelola sumber daya alam dan agraria dengan berpihak kepada rakyat, memastikan adanya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dan mencegah konsentrasi kekayaan yang tidak sehat.

Namun, dalam prakteknya, banyak proyek pembangunan besar-besaran dan investasi asing yang lebih mengejar keuntungan daripada kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, masyarakat seringkali mengalami dampak negatif seperti pemaksaan relokasi, pengusiran dari tanah mereka, dan hilangnya mata pencaharian.

Dalam konteks ini, penanggulangan kemiskinan seringkali menjadi sekadar retorika politik, sementara kebijakan yang diterapkan dapat memperdalam kesenjangan dan mengakibatkan kemiskinan menjadi masalah yang lebih besar dan berkelanjutan.

Pemerintah harus berpikir jauh lebih holistik dan inklusif dalam pendekatan pembangunan dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat miskin dan memastikan bahwa mereka memiliki akses yang adil ke sumber daya dan kesempatan.

Pendekatan yang paling mendasar dalam mengatasi kemiskinan adalah memastikan pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara. Ini termasuk hak akses terhadap pangan, layanan kesehatan, pendidikan, peluang pekerjaan, pasokan air bersih, perumahan yang layak, hak atas tanah, pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, serta lingkungan hidup yang sehat.

Selain itu, memberikan perlindungan dan rasa aman dari tindakan kekerasan serta memungkinkan partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Pemenuhan dan penghargaan terhadap hak-hak dasar warga negara merupakan kunci utama dalam memberdayakan individu miskin dengan cara meningkatkan kapabilitas mereka.

Pemerintah dan pelaku bisnis harus memahami bahwa pembangunan yang sukses tidak hanya diukur dari segi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari dampak sosial yang positif. Kepentingan masyarakat lokal harus ditempatkan di tengah-tengah perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek strategis nasional.

Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan, transparansi dalam proses, serta kompensasi yang adil adalah langkah-langkah yang penting untuk menghindari konflik agraria.

Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, negara harus lebih berkomitmen dalam mengimplementasikan UU Agraria, memastikan bahwa hak-hak tanah masyarakat dihormati, dan menjaga keberlanjutan lingkungan.

Ini melibatkan upaya untuk memperbaiki perundang-undangan, memperkuat mekanisme perlindungan hak tanah masyarakat, dan mendengarkan aspirasi dan kebutuhan mereka dalam proses pembangunan.

Jika negara dapat merancang dan melaksanakan kebijakan agraria yang sesuai dengan mandat konstitusi dan prinsip-prinsip kemanusian yang adil dan beradab, maka potensi untuk konflik agraria yang merugikan masyarakat dapat diminimalkan dan pembangunan berkelanjutan yang adil dan beradab dapat diwujudkan bagi semua warganya.***

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

62 − 53 =