24 November 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Cerpen Yanto bule “Lik Jiem”

4 min read

ilustrasi

Tiba tiba kabar itu mengejutkanku, Betapa tidak di tengah hingar bingar perlombaan, tiba tiba ponselku bergetar terus menerus, apalagi nomor yang masuk tidak memiliki nama panggilan.

Dua kali panggilan di ponselku aku acuhkan, namun pada saat panggilan ketiga, langsung ku angkat, terdengar suara di ujung telepon terdengar suara,yang tak asing ku dengar, di antara suara peserta lomba ada mengabarkan bahwa Lik Jiem, meninggal dunia.

Berlari aku dari meja juri, berusaha mencari tempat sunyi untuk bisa mendengar kabar dengan jelas, lungli rasanya tubuh ini, begitu mendengar kabar yang tidak pernah ku inginkan, Ya Lik Jiem yang ku kenal dekat ternyata sudah di panggil Tuhan untuk pulang keharibaa nya.

Terbayang jelas di pelupuk mataku, Empat puluh tahun silam,Lik Jiem adalah tetanggaku yang baik, memiliki perawakan kecil dan bersuara keras, tetapi di balik semua penampilannya terdapat hati yang lembut.

Kami sekeluarga dengan tiga orang kakak beradik, serta nenekku merupakan salah satu keluarga transmigran dari pulau Jawa, di saat itu kampung ku merupakan satu lokasi transmigrasi yang di canangkan pemerintah, agar ada pemerataan penduduk bukan hanya di pulau Jawa, Saat itu keluargaku dan keluarga Lik Jiem, yang juga transmigran yang berasal dari Jawa timur di gabungkan dengan keluargaku yang berasal dari Jawa tengah, entah sudah jodoh menjadi tetangga atau sekedar kebetulan saja, orang tuaku dan Lik Jiem bisa satu bus pengantar transmigrasi.

Sepanjang perjalanan dari pulau Jawa hingga ke kampung transmigrasi, kami satu bus, karena ibuku juga harus menjaga dua orang kakakku, maka aku yang masih kecil di titipkan kepada Lik Jiem, apalagi menurut cerita ayahku dan juga Lik Jiem aku semenjak di perjalanan selalu menangis, dan meminta sepatu boots berwarna merah, padahal sepatu itu di simpan oleh ayahku di dalam tong kayu, yang berisi gerabah dan alat pertanian.

Namanya juga anak kecil, tentu tidak ada alasan untuk sepatuku di letakan di mana, tangisanku makin kencang, dan membuat seisi bus menjadi kacau, belum lagi suasananya panas tanpa AC, dan penuh sesak oleh barang bawaan, di lokasi pemberhentian bus yang kami tumpangi berhenti, sebab ada jembatan yang masih di kerjakan, sehingga jika di paksakan bus melewati jembatan bisa berbahaya.

Tangisanku makin kencang, tiba tiba ayahku meraihku dari gendongan Lik Jiem, dan langsung melemparkan ku ke dalam tumpukan pasir, sontak saja pemandangan itu langsung berubah menjadi hal yang menakutkan , ibuku yang melihat aku di lemparkan ayah langsung menghampiriku dan mengendong kembali sembari memberikan susu agar aku diam.

Cerita itu begitu terulang jelas, saat aku mendengar kabar kematian Lik Jiem, ya bagiku Lik Jiem bukan hanya sebagai tetangga saja tetapi sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri, apalagi ayahku yang juga pensiunan tentara harus bekerja menjadi security di salah satu Bank milik pemerintah, sementara ibuku juga mencari uang dengan berjualan, maka otomatis kami bertiga sering di tinggali oleh orang tua, dan Lik Jiem merupakan orang tua kedua bagiku.

Di waktu senggang sering di minta untuk membantu Lik Jiem,sekedar memeras santan untuk di buat menjadi minyak sayur, kadang sering di minta Lik Jiem untuk menjemur ubi untuk dijadikan tiwul, maklum saat itu beras menjadi hal yang sangat berharga, sehingga tiwul menjadi pilihan keluarga di lokasi transmigrasi.

Namun yang menurutku Lik Jiem bukanlah sekedar tetangga dan orang tua kedua saja, tetapi semua kebaikan di berikan kepada keluargaku, dan yang tidak terlupakan untuk adalah pemberian nama sayang terhadapku dengan panggilan yang unik, sebab ayah dan ibuku tidak pernah memanggilku dengan sebutan ” iethik” , dn ternyata nama panggilanku memilki arti tersendiri untuknya.
” Apa arti nama itu untukku Lik”
” Nama itu ku berikan, sebagai panggilan mu sebab dari cara jalanmu yang cepat dan lincah, sehingga aku lebih suka memanggilmu dengan nama itu”

Aneh memang, tapi itulah nama yang di berikan lik Jiem untuku, hingga aku dewasa nama itupun menjadi nama panggilanku .

Lamar Lamat, pak kyai membacakan doa di atas pusara Lik Jiem, gundukan tanah merah dengan namanya di atas nisan, serta bunga yang di rangkai menggunakan benang tertanbur di atas pusara basah itu.

Air mataku mengalir hangat, tak terasa ada tangan kekar meraih pundakku , dan mengajakku untuk pulang kerumah, ku tingalkan lokasi pemakaman desaku penuh kesedihan, selamat jalan Lik Jiem, semoga engkau tenang Di sana.

Sangat imaji Bangko, pamenang 21 Oktober 2023

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 41 = 44