Memaknai Kebangkitan Nasional ke 116
6 min readOleh : Dr.Arfa’i, SH.MH.
Tanggal 20 mei adalah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia terkait dengan 100 tahun kebangkitan nasional Indonesia. Momen kebangkitan nasional diwujudkan dengan berbagai macam serimonial yang mengingatkan pada perjuangan penggagas kebangkitan nasional.
Kebangkitan nasional
Dimensi etimologis kebangkitan nasional lebih dikatakan sebagai kata-kata bangkit yaitu berdiri atau berubah dari keadaan semula yang tidak baik atau tidak mampu menjadi baik atau mampu. Dengan demikian kebangkitan nasional terkait dengan beberapa variabel yaitu (1). Keadaan semula sebelum keadaan bangkit atau berubah, (2). Tolak ukur untuk menilai bahwa keadaan sudah berubah atau telah bangkit, (3). Out put/hasil yang telah dirasakan setelah adanya kebangkitan/perubahan. Ketiga variabel tersebut menjadi tolak ukur bagi pemaknaan hari kebangkitan nasional, sehingga bisa diketahui apakah yang telah kita capai setelah adanya kebangkitan nasional dan apa yang belum dicapai. Hal ini terkait dengan penilaian unsur-unsur yang ada dalam varaiabel tersebut.
Pertama, Keadaan semula sebelum keadaan bangkit atau berubah. Pada variabel ini dapat dilihat pada kondisi beberapa tahap perkembangan hidup bangsa Indonesia. Kondisi tersebut adalah :
(1). Keadaan bangsa sebelum Indonesia merdeka, termasuk semangat kebangkitan nasional yang dilakukan oleh Budi Utomo. Pada kondisi ini bangsa Indonesia memaknai kebangkitan nasional dengan memperkuat nasionalisme dan patriotisme guna memerdekakan Indonesia dari penjajahan belanda. Puncak dari kondisi ini adalah proklamasi 17 Agustus 1945 yang melahirkan Negara Indonesia dengan segenap unsur kelengkapan bangsa terutama staat fundamental norm yaitu norma dasar negara yaitu Pancasila dan UUD 1945.
(2). Keadaan bangsa Indonesia pada masa orde lama sebelum orde baru yaitu masa kepemimpinan Ir. Soekarno. Masa ini kebangkitan nasional lebih ditekankan pada pengembalian kondisi bangsa Indonesia dengan memperkuat rasa nasionalisme yang terkait dengan menjaga keutuhan bangsa dan meletakkan landasan dasar dalam perjalanan bangsa pasa masa depan. Suatu pemaknaan kebangkitan nasional pada saat ini adalah terbangunnya rasa nasionalisme patriotik membela bangsa terutama ketika rakyat bersatu melawan pemberontakan G-30 S.
(3). Keadaan bangsa Indonesia pada masa orde baru sebelum reformasi. Pada masa orde baru keadaan bangsa menunjukkan suatu tingkat persatuan semua elemen bangsa terkait dengan memberantas pembenrontakan G-30 S. Keadaan bangsa Indonesia selama 32 tahun dalam orde baru belum menunjukkan pemaknaan kebangkitan nasional sebagaimana hakekat kebangkitan nasional yang tegaskan oleh Budi Utomo. Hal ini dapat dilihat belum terbentuknya kemandirian bangsa dalam hal ekonomi dan pelaksanaan ideal demokrasi pancasila.
(4). Keadaan bangsa Indonesia pada masa reformasi. Pada keadaan sekarang ini pemaknaan kebangkitan nasional lebih kelihatan pada serimonial dan penafsiran perjuangan yang telah dilakukan oleh para penggas kebangitan nasional. Sehingga belum menyatukan warga bangsa dari unsur kesatuan antara pemikiran/pemahaman tantang kebangitan nasional dengan pola prilaku yang menunjukkan membangkitkan diri dari keterburukan bangsa atau dengan lain kebangkitan nasional lebih ditafsirkan untuk menunjukkan dominasi kekuatan-kekuatan politik bukan menunjukkan dominasi kekuatan dan keutuhan bangsa,terutama kondisi Sumber Daya Alam sebagai pondasi ekonomi rakyat yang semakin jauh dimiliki oleh rakyat.
Tolak ukur kebangkitan nasional
Kedaan bangsa Indonesia sebagaimana dalam variabel pertama adalah landasan bagi bangsa Indonesia untuk melihat posisi kebangkitan nasional pada saat ini dengan berorientasi pada variabel kedua yaitu tolak ukur untuk melihat bahwa keadaan telah berubah atau telah bangkit. Tolak ukur untuk melihat apakah bangsa Indonesia telah bangkit atau belum adalah ” staat fundamental norn yaitu pancasila dan UUD 1945 ”. Dalam hal ini terkait dengan aline ke IV pembukaan UUD 1945 yaitu pertama, tujuan bangsa Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua, menunjukkan asas kerohanian negara yaitu pancasila terdiri dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Realita
Dengan melihat teewujud atau tidaknya alinea keempat pembukaan UUD 1945, maka penilaian dapat dikalisifikasikan dari beberapa bagian yaitu terbentuknya undang-undang yang menunjang tercapainya kebangkitan nasional, prilaku para elit politik dan prilaku masyarakat. Dari keseluruhan unsur tolak ukur tersebut ada beberapa yang perlu disadari bahwa sebenarnya bangsa Indonesia belum mengalami kebangkitan. Hal ini dapat dilihat dari :
(1). Belum terwujudnya kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Hal ini terjadi karena, kealpaan bangsa Indonesia akan hakekat kebangkitan nasional dari sisi ekonomi masyarakat. Kebangkitan nasional mengarahkan terwujudnya kemandirian ekonomi dalam masyarakat yang diringi dengan keberanian negara membuat terobosan dalam kemandirian ekonomi. Kondisi ini tercipta karena bangsa Indonesia lupa akan hakekat perjuangan setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam teori ilmu politik dikatakan bahwa setelah perang dunia kedua, negara-negara penjajah tidak sepenuhnya memberikan kebebasan kepada negara yang dijajah yang disebut dengan teori ketergantungan, seperti penguasaan Sumber Daya Alam berupa lahan lahan perkebunan tidak berada di tangan rakyat tetapi dikuasai segelintir orang kaya tanpa kendali yang tegas.
Pada kondisi ini negara-negara besar mengalihkan orientasinya pada penjajahan ekonomi yaitu dengan memberikan begitu banyak bantuan dan pinjaman kepada negara Indonesia yang berorientasi pada ketergantuangan ekonomi atau dalam konsep ekonomi masyarakat kecil Indonesia yaitu ekonomi sistem touke. Bagi negara yang pandai,maka pinjaman atau bantuan yang telah diberikan dugunakan untuk menciptakan kemandirian ekonomi masyarakat bukan menciptakan kemewahan pejabat dan negara.Tetapi dalam negara Indonesia justru sebaliknya ”orang kaya tambah kaya dan orang miskin tambah miskin”.
(2). Hilangnya rasa kebanggan pada asas kerohanian negara. Kondisi ini menunjukkan bahwa segala prilaku bangsa Indonesia mulai dari pembentukan peraturan perundang-undangan, pelaksanaan perundang-undangan sampai pada prilaku kehidupan sehar-hari tidak lagi berlandaskan pada asas-asas kerohanian negara. Hal tersebut terkait dengan pencerminan prilaku moral bangsa yang sadar akan kebanggaan kebudayaan milik sendiri sebagai identitas nasional. Kondisi ini bisa dilihat dengan adanya berbagai paradigma dalam bangsa Indonesia yang menafsirkan tentang freedom of exprestion, sehingga pola kehidupan bangsa Indonesia lebih bernuansa liberal daripada asas-asas kerohanian negara yang dilandasi dengan aturan hukum, agama, adat dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sebagai contoh yang patut dilihat adalah suka menunjukkan kekayaan/kemewahan di media sosial, kebebasan berpakaian, kebebasan berekspresi di media sosial tanpa kontrol serta etika politik yang buruk dari elit politik justru diaggap biasa.
Keseluruhan tersebut menunjukkan pada hakekatnya bangsa Indonesia belumlah mengalami kebangkitan nasional karena ketentuan-ketentuan staat fundamental norn tidak ditaati sebagaimana mestinya sehingga melahirkan : pertama, tidak ada kebangaan atas kebudayaan sendiri dalam prilaku kehidupan. Kedua, bangga atas kebudayaan bangsa lain yang berbeda ideologi dengan bangsa Indonesia. Ketiga, menilai prilaku dan keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia termasuk demokrasi dan Ham tidak melihat terwujudnya ketentuan dalam staat fundemental norn tetapi melihat prilaku dan keberhasilan bangsa lain yang berbeda ideologi dengan bangsa Indonesia. Dengan demikian kata kunci pemaknaan kebangkitan nasional Indonesia yang ke 116 tahun ini selayaknya kembali kepada : ” bangga sebagai bangsa Indonesia dengan melandaskan prilaku dan menilai keberhasilan bangsa dengan melihat nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri” atau konsep meng-Indonesiakan orang Indonesia ”.
Dr.Arfa’i, SH.MH. Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Jambi/Ketua Jurusan Ilmu Sosial dan Politik Fak.Hukum Universitas Jambi.