MENAMBAH MENTERI POTENSI MELEMAHKAN OTONOMI DAERAH
5 min readOleh: Dr.Arfa’i, SH.MH.
Dalam beberapa minggu ini warga negara Indonesia disibukkan dengan dinamika adanya wacana Presiden terpilih Prabowo Subianto berkeinginan menambah jumlah menteri dalam kabinet di pemerintahannya. Berdasarkan pemberitaan di media bahwa wacana menambah jumlah kementerian dari saat ini 34 menjadi 41 kementerian. Presiden terpilih mengungkapkan wacana penambahan jumlah Menteri ini tentunya mempunyai argumen tersendiri, walaupun dalam perspektif politik cenderung kelihatan untuk bagi bagi kue kekuasaan kepada partai atau kelompok yang mengusungnya. Dalam hal ini akan ada bagi-bagi jabatan Menteri dan wakil Menteri bagi partai atau kelompok yang mendukungnya saat pilpres lalu. Oleh karena itu tujuan mendasar dari efektifitas dalam mewujudkan tujuan dari negara, masih menjadi tanya tanya.
Bahkan wacana ini justru memiliki potensi untuk melemahkan otonomi daerah jika tidak dikaji secara mendalam. Hal ini didasari bahwa urusan pemerintah pusat dalam rezim otonomi daerah saat ini tidaklah sama dengan rezim orde baru, sehingga jumlah Menteri yang banyak pada dasarnya tidak dibutuhkan karena sebagian urusan pemerintahan telah diserahkan untuk diurus dan diatur oleh pemerintah daerah.
Presiden dalam Otonomi Daerah.
Sejak UUD 1945 diadakan perubahan terdapat perubahan yang sangat mendasar dalam hubungan antara pemerintah pusat yang dipimpin Presiden dan daerah. Perubahan tersebut sekaligus merubah kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Secara yuridis antara UUD 1945 sebelum perubahan yang berlaku pada masa orde baru terdapat perbedaan dengan UUD 1945 setelah perubahan. Pada masa orde baru dalam UUD 1945 yang asli hanya menegaskan pembagian wilayah Indonesia tanpa menegaskan status kewenangan yang dimiliki oleh daerah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 18 UUD 1945 yang asli “ pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Pasal tersebut melahirkan UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah, yang di dalamnya menentukan adanya daerah otonom tanpa menegaskan pembagian kewenangan yang jelas dalam pemerintah daerah sehingga dalam pelaksanaannya lebih cenderung pada sistem sentralistik.
Sistem tersebut ditata sedemikian rupa sehingga daerah dalam pelaksanaan pembangunannya tergantung pada pemerintah pusat. Dalam hal ini peranan yang paling penting ada di pundak Presiden dibantu Wakil Presiden dan para menteri kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden. Pada massa ini menteri menempati posisi yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan. bahkan kepala daerah dalam mengeluarkan kebijakan selalu menunggu interuksi dari Menteri.
Berbeda dengan UUD 1945 setelah diamandemen, pemerintah daerah mempunyai kewengan yang jelas, terinci dan terarah serta pemerintah pusat juga telah mendapatkan kewenangan tersendiri. Hal ini dapat dipahami dari UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah, Pasal 9 menegaskan (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Berdasarkan pasal tersebut, dipahami bahwa presiden hanya menangani urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan umum.
Selain urusan itu menjadi kewenangan daerah dalam konteks otonomi daerah. Adapun urusan pemerintahan absolut itu, ditegaskan pada Pasal 10 UU No 23/2014 yakni a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Sedangkan urusan pemerintahan umum lebih berkaitan dengan menjaga terpeliharanya ideologi negara, persatuan dan kesatuan, kerukunan dan menjaga hubungan yang bai kantar instansi pemerintah.
Dengan demikian, sangat jelas pemerintah pusat yang dipimpin oleh Presiden, hanya mengurusi 6 urusan itu saja, itupun dalam rezim otonomi daerah Pemerintah Pusat hanya berfungsi menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah. Pada konteks ini teknis pelaksanaan urusan pemerintahan menjadi kewenangan daerah dalam bentuk urusan pemerintahan kongkuren, sebagai mana diatur dalam Pasal 12 UU No 23/2014 yakni 1. pendidikan; 2. kesehatan; 3. pekerjaan umum dan penataan ruang; 4. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; 5. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan 6. sosial. 7. tenaga kerja; 8. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; 9. pangan; 10. pertanahan; 11. lingkungan hidup; 12. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; 13. pemberdayaan masyarakat dan Desa; 14. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; 15. perhubungan; 16. komunikasi dan informatika; 17. koperasi, usaha kecil, dan menengah; 18. penanaman modal; 19. kepemudaan dan olah raga; 20. statistik; 21. persandian; 22. kebudayaan; 23. perpustakaan; dan 24. kearsipan. 25. kelautan dan perikanan; 26. pariwisata; 27. pertanian; 28. kehutanan; 29. energi dan sumber daya mineral; 30. perdagangan; 31. perindustrian; dan 32. transmigrasi.
Dengan demikian posisi Presiden dan para para menteri hanya terpokus pada bidang kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat saja. Oleh karena itu seharusnya Presiden tidak perlu mengangkat banyak Menteri apalagi menambah jumlah menteri tetapi cukup sesuai dengan kewenangannya saja, kecuali ada keinginan untuk melemahkan otonomi daerah dan kembali ke system sentralistik. Kemudian hubungan para menteri dengan pemerintah daerah hanya sebagai koordinasi, pengawas dan pembina ; secara yuridis menyediakan kelengkapan kebijakan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangannya, dalam hal jika belum ada ketentuan hukum yang dimiliki oleh daerah bukan sebagi pengintruksi.
Dalam era otonomi daerah saat ini maju mundurnya negara dan pencapaian tujuan dari negara sebagaimana dituangkan dalam alinea ke empat UUD 1945 “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tergantung pada kepala daerah bukan pada seorang Presiden dan banyaknya menteri tetapi berada pada Pemerintah daerah. Dengan demikian, kalau mau mewujudkan keberhasilan pemerintahan dan tujuan negara, maka pemerintahan pusat mesti meletakkan rasionalitas jumlah menteri sesuai dengan kewenangan milik pemerintah pusat dalam hubungan dengan kewenangan pemerintah daerah pada sistem otonomi daerah bukan pada system sentralistik sebagaimana dalam rezim orde baru.
Dr.Arfa’i.SH.MH.
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum, Universitas Jambi