Taman Budaya Jambi, Figur dan De-Birokratisasi
Oleh: Halim HD. – Networker-Organizer Kebudayaan
Ada tiga puluhan Taman Budaya (TB) tingkat provinsi di Indonesia ketika sejak tahun 1982 Kemendibud mencanangkan pengembangan ruang kesenian melalui ruang publik kebudayaan sebagai upaya memelihara khasanah tradisi dan menciptakan tradisi baru melalui eksplorasi dan proses kolaborasi. Tigapuluhan TB itu berdiri secara berangsur-angsur seiring dengan kondisi perekonomian di tingkat lokal dan dukungan pendanaan dari pusat yang juga terbatas. Skala prioritas dilakukan sesuai dengan target daerah yang dianggap bisa menjadi model dan proyek percontohan.
Tahun 1990-an berdiri beberapa TB, seperti di Kaltim, dan beberapa provinsi lainnya di Kalimantan, serta Indonesia Timur. Salah satu TB di Sumatera yang berdiri tahun 1990-an, adalah TB Jambi. Dihitung dari sejak berdirinya TB Jambi hingga kini, telah berusia tigapuluhan tahun. Banyak TB yang telah berusia lebih tua dari dari TB Jambi. Namun usia tua, seperti juga manusia, nampaknya tak tergantung seberapa banyak umur yang dimiliki seseorang, tapi sejauh dan sedalam mana pengalaman dan visi dipraktekan. Dalam kasus ini, TB Jambi memiliki nilai yang unik dalam posisinya sebagai ruang publik. Dengan usia yang masih muda belia, pada akhir tahun 1990-an dan dengan sarana yang masih terbatas, serta locus TB yang tak luas jika dibandingkan dengan TB Jawa Tengah, Jawa Barat dan TB Sulsel, maka TB Jambi mampu menciptakan dirinya sebagai ruang publik dan menjadikan instansi itu wujud dari kepentingan kaum seniman dan warga.
Lintasan pengalaman yang singkat ini bisa menggambarkan, bagaimana suatu TB yang baru berdiri beberapa tahun mampu dan bisa menciptakan relasi sosial dengan kalangan kaum seniman yang bukan hanya di wilayahnya. Tom Ibnur, Deddy Lutan, Elly Lutan adalah beberapa seniman yang pernah hadir di lingkungan TB Jambi dalam kaitannya dengan proyek kesenian dan sajian karya. Relasi sosial yang baik ini hanya bisa terwujud melalui kapasitas personal pimpinan. Periode Pak Ja’Far sebagai pimpinan TB Jambi merupakan momentum penting dalam pengelolaan TB Jambi. Melalui praktek de-birokratisasi yang luwes dan jaringan sosial yang bagus kehidupan kesenian di TB Jambi bisa menjadi contoh yang sangat menarik.
Saya pernah mendengar selentingan, bahwa apa yang dilakukan oleh Pak Ja’far di TB Jambi merupakan praktek yang diilhami oleh TB Jawa Tengah di Solo yang dipimpin oleh (alm) Pak Murtijono. Menimba inspirasi dari sesama instansi yang bisa dijadikan contoh merupakan langkah yang sangat menarik. Sebab, banyak pimpinan TB dari berbagai daerah datang untuk studi banding ke TB Jawa Tengah di Solo, namun praktek dan hasilnya jauh dari harapan.
Jika kita merenungi kaitan antara instansi, birokrasi dan posisi figur dalam hubungannya dengan tatakelola lembaga kebudayaan, disini kita menyaksikan pentingnya posisi figur yang memiliki kecerdasan dalam mengelola pergaulan sosial, kepekaan dan sekaligus mau belajar dari pengalaman. Maka jika kita lihat bandingan luas area, locus dan adanya sarana tak ikut bisa menentukan suatu TB menjadi percontohan yang menarik. Sebab, dibalik adanya sarana serta berbagai penunjang lainnya, ada figur yang mampu menjadi konduktor, dirigen orkestrasi dalam mengatur stafnya dalam praktek menjalankan program, dan sekaligus figur pimpinan menjadi inspirasi bagi stafnya dalam mengelola TB.
Tapi kita juga pernah menyaksikan periode TB Jambi yang menjauh dari jejaring sosial kaum seniman, ketika pimpinan TB Jambi betapapun dengan latar belakang akademis yang memadai, namun tak mampu mempraktekan de-birokrasi bahkan menerapkan peraturan yang kaku. Periode itu makin membuktikan bahwa seorang pimpinan TB haruslah memiliki keluwesan dan memahami birokrasi dengan cerdas, serta keberanian untuk menghadapi resiko, termasuk resiko dalam perbedaan pendapat dengan kaum seniman namun menerima karya kesenian secara legawa. Sekali lagi, kasus suatu periode TB Jambi yang pernah dibekuk oleh birokrasi, menjadi bukti betapa pentingnya kehadiran figur pimpinan yang visioner, bahwa lembaga TB merupakan ruang publik yang harus dikelola melalui modal sosial lingkungannya: komunitas, sanggar, grup, pelaku kebudayaan, berbagai stake holder, adalah pelatuk penting dalam ikut membentuk program TB.
Kini TB Jambi nampak kian berkembang sebagai lembaga kebudayaan dan menjadikan dirinya ruang yang dibutuhkan oleh kaum seniman dan warga. Beberapa sarana hadir, walaupun secara keseluruhan masih jauh dari memadai. Disinilah justeru menariknya, diantara sarana yang terbatas itu TB Jambi mampu mengelola dirinya sesuai dengan prinsip ruang publik. Dan satu hal yang lebih menarik, pada periode beberapa tahun terakhir ini, dengan posisi pimpinan Pak Eri Argawan, terasa kelanjutan tatakelola yang pernah dirintis oleh Pak Ja’far berlanjut: relasi sosial yang akrab antara pimpinan TB Jambi dengan kaum seniman, staf yang memiliki kepekaan kepada kebutuhan pelaku kebudayaan, dan menjadikan lingkungan sosial kesenian sebagai modal sosial bagi pengembangan TB Jambi.
Tahun depan, tahun 2025, Pak Eri Argawan yang bukan hanya pimpinan TB Jambi tapi juga seniman yang bergerak pada seni pertunjukan, akan memasuki masa pensiun. Dalam obrolan beberapa waktu yang lalu, pimpinan yang sekarang yang telah mengelola grup tari selama 20-an tahun akan melanjutkan kegiatannya dan akan terus menjadikan komunitas tarinya sebagai bagian dari kehidupan kesenian di Jambi. Posisi administratif yang akan diakhirinya akan digantikan oleh orang lain. Maka kita berharap penggantinya bisa menangkap dan meresapkan pengalaman Pak Ja’far dan Pak Eri Argawan, dan bisa melanjutkan dan mengembangkan gagasan dan praktek pengelolaan yang luwes. TB Jambi membutuhkan figur yang setara dengan pimpinan yang lalu, yang tahu dan paham, bahwa kesenian dan kebudayaan hanya bisa bergerak secara dinamik jika ada figur yang mumpuni dan terbuka kepada berbagai gagasan. -o0o-