JAMBIDAILYMERANGIN – Ratusan kendaraan dinas milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Merangin tercatat menunggak pajak hingga pertengahan 2025. Total ada 478 unit kendaraan, terdiri dari 354 motor dinas dan 124 mobil dinas, yang belum menunaikan kewajiban pajak. Fakta ini disampaikan langsung oleh UPTD Samsat Merangin.
Ironisnya, tunggakan itu terjadi di tengah gencarnya imbauan pemerintah kepada masyarakat untuk taat pajak. Tapi bagaimana jika justru institusi yang seharusnya memberi contoh malah jadi pelanggar aturan?
Yang Tercatat, yang Dibiarkan
Kepala UPTD Samsat Merangin, Roni Paslah, melalui Kasi Pelayanan Penatausahaan Pajak Daerah Pemerintah dan Penerimaan Lain-lain, Isro Handayani, menyebut tunggakan ini berlangsung sejak Januari 2024 hingga 12 Juni 2025.
“Tercatat 478 kendaraan dinas yang belum membayar pajak hingga pertengahan Juni 2025,” ungkap Isro, Kamis (12/6/2025).
Beberapa OPD diketahui mulai melunasi kewajiban—antara lain Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, Damkar, Pertanian dan Ketahanan Pangan, Inspektorat, Dinas LH, Dishub, RSUD, dan Dinkes. Namun, masih banyak instansi yang belum menunjukkan itikad baik.
Di level kecamatan, menurut Isro, “hanya beberapa camat dan desa yang membayar pajak.” Sementara Sekretariat DPRD Merangin baru mengirim surat koordinasi ke Samsat, belum sampai pada proses pembayaran. Sekretariat Pemkab, Bappeda, dan BPPRD disebut lebih patuh.
Target Pajak Naik, Keteladanan Turun
Samsat Merangin berhasil menghimpun Rp27 miliar dari pajak kendaraan pada 2024. Target 2025 dipatok lebih tinggi: Rp33 miliar. Namun, jika ratusan kendaraan dinas dibiarkan menunggak, bagaimana mungkin target ambisius ini tercapai?
Publik pun bertanya: adakah sanksi tegas bagi OPD dan camat yang lalai? Ataukah aturan hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara aparat dibiarkan lepas tanggung jawab?
Abai yang Sistemik
Di tengah krisis anggaran dan penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terungkap pembiaran sistematis terhadap kewajiban pajak di tubuh birokrasi sendiri. Ini bukan sekadar soal administrasi, melainkan cerminan gagalnya pemerintah menegakkan etika fiskal.
Kepatuhan tidak cukup ditegakkan lewat peraturan. Ia membutuhkan keteladanan. Ketika pemerintah daerah tidak bisa menertibkan dirinya sendiri, maka imbauan taat pajak kepada rakyat hanyalah formalitas tanpa wibawa, tanpa arti.(*)













