Oleh: Ir Martayadi Tajuddin, MM*)
Rumah Layak sebagai Hak Konstitusional Rakyat Indonesia
Rumah bukan sekadar bangunan fisik; ia adalah fondasi keberlangsungan hidup dan martabat manusia. Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh “tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Ini adalah amanat konstitusi yang mewajibkan negara menjamin hak dasar warga negaranya untuk memiliki hunian layak.
Namun realitasnya, Indonesia masih menghadapi krisis perumahan yang serius. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, backlog perumahan nasional mencapai hampir 9,9 juta unit; sementara data Kementerian PUPR (2024) menunjukkan ada sekitar 26 juta rumah tidak layak huni. Angka ini bukan hanya sekadar statistik, melainkan cermin ketidakadilan sosial yang harus segera diatasi.
Program 3 juta rumah per tahun yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto muncul sebagai jawaban ambisius atas persoalan ini. Namun, sejauh mana program ini mampu menjawab persoalan kompleks tersebut?
Antara Target Ambisius dan Kendala Nyata
- Skala Tantangan dan Target Pembangunan
Target membangun 3 juta rumah per tahun berarti sekitar 8.200 unit rumah setiap hari. Secara nasional, ini merupakan langkah revolusioner yang harus didukung oleh sumber daya besar, manajemen terintegrasi, dan kebijakan yang tepat.
Namun hingga pertengahan 2025, realisasi program baru mencapai sekitar 210.000 unit (Kompas, 2025), atau hanya sekitar 7% dari target tahunan. Jelas masih ada jurang lebar antara ambisi dan capaian. - Distribusi Lokasi dan Kesesuaian Kebutuhan
Salah satu ironi adalah fokus program yang lebih besar di daerah pedesaan (2 juta unit), padahal data Bappenas (2023) mencatat bahwa 58,6% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, dan tren urbanisasi terus meningkat.
Ketidaksesuaian lokasi pembangunan ini berpotensi menyebabkan program tidak efektif, karena banyak rumah dibangun di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas ekonomi dan infrastruktur dasar, sehingga sulit dihuni dan dimanfaatkan.
Kendala Kelembagaan dan Tata Kelola
Keterbatasan koordinasi antar kementerian dan lembaga menjadi batu sandungan utama. Tidak adanya badan khusus yang memegang kendali penuh atas program ini membuat implementasi sering terhambat.
Data dari Bisnis.com (2025) mencatat bahwa asosiasi pengembang seperti REI dan APERSI menyatakan keraguan terhadap kesiapan pemerintah, terutama terkait regulasi dan proses perizinan yang masih lamban.
Pembiayaan dan Infrastruktur Pendukung
Menurut Kementerian Keuangan (2025), alokasi APBN untuk sektor perumahan baru sekitar Rp 5,2 triliun, jauh dari estimasi kebutuhan yang mencapai ratusan triliun rupiah untuk subsidi KPR rumah layak. Ketimpangan pembiayaan ini menjadi kendala serius dalam memenuhi target.
Selain itu, pembangunan rumah tanpa dukungan infrastruktur seperti akses jalan, air bersih, listrik, dan transportasi publik akan mengurangi nilai manfaat dan kenyamanan penghuni.
Mengaitkan dengan Amanat UUD 1945: Kewajiban Negara Memenuhi Hak Sosial Warganya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan hanya teks hukum, tapi juga kontrak sosial yang mengamanatkan negara untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, termasuk perumahan layak.
Pasal 28H ayat (1) menggarisbawahi hak atas tempat tinggal yang layak dan lingkungan sehat. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah wajib memastikan program 3 juta rumah ini tidak hanya sebagai angka target, tapi diwujudkan sebagai hak sosial yang terjamin.
Usulan Strategis untuk Keberhasilan Program
- Pembentukan Badan Khusus Perumahan
Diperlukan lembaga yang bertugas mengkoordinasikan seluruh aspek program, mulai dari perencanaan, pembiayaan, regulasi, hingga monitoring. - Perencanaan Berbasis Data
Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan data sosial ekonomi untuk menentukan lokasi pembangunan sesuai kebutuhan riil masyarakat. - Reformasi Proses Perizinan dan Legalitas
Implementasi perizinan digital yang terintegrasi dan proses cepat sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan. - Diversifikasi Sumber Pembiayaan
Memadukan APBN, KPR subsidi, Tapera, serta insentif bagi sektor swasta agar pembiayaan program tidak bergantung sepenuhnya pada anggaran pemerintah. - Edukasi dan Partisipasi Publik
Masyarakat harus memahami bahwa rumah subsidi bukanlah pemberian gratis, tetapi program berbasis kewajiban dan hak yang harus diikuti prosesnya.
Rumah Layak adalah Hak, Bukan Sekadar Target Statistik
Program 3 juta rumah adalah upaya besar yang berpotensi mengubah wajah sosial ekonomi Indonesia. Namun, kesuksesan program ini bergantung pada tata kelola yang baik, pembiayaan yang memadai, dan keterlibatan semua pihak—pemerintah pusat dan daerah, swasta, hingga masyarakat.
Memenuhi amanat UUD 1945 dalam hal hak atas tempat tinggal memerlukan komitmen serius dan kerja keras agar program tidak berhenti pada janji, melainkan terwujud sebagai realitas hidup yang bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Penulis adalah Akademisi Pemerhati Kebijakan Pembangunan Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Referensi
• Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Perumahan Indonesia, 2023.
• Kementerian PUPR, Laporan Perkembangan Perumahan Nasional, 2024.
• Kementerian Keuangan, APBN 2025, 2025.
• Bappenas, Proyeksi Urbanisasi Indonesia, 2023.
• Bisnis.com, Pendapat Asosiasi Pengembang tentang Program 3 Juta Rumah, 2025.
• Kompas, Laporan Realisasi Program Perumahan, 2025.













