Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM (*)
PERUBAHAN iklim bukan sekadar wacana global yang jauh dari kehidupan sehari-hari, melainkan ancaman nyata yang sudah meretas wilayah-wilayah di Indonesia, termasuk Provinsi Jambi.
Sektor konstruksi yang selama ini dipandang sebagai tulang punggung pembangunan, ironisnya berkontribusi hingga 39% emisi karbon dunia (UNEP, 2020).
Di tengah krisis ini, konstruksi hijau muncul sebagai konsep pembangunan revolusioner yang tidak bisa lagi diabaikan. Namun, di Jambi — daerah yang kerap dilanda banjir dan longsor — realitas implementasi konstruksi hijau masih jauh dari kata serius.
Konstruksi Hijau: Konsep dan Pentingnya bagi Masa Depan Pembangunan
Konstruksi hijau adalah pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan prinsip efisiensi sumber daya, pengurangan emisi karbon, dan perlindungan lingkungan hidup sepanjang siklus hidup bangunan — mulai dari desain, material, proses konstruksi, hingga pengoperasian dan pemeliharaan (GBCI, 2021). Konsep ini menuntut pergeseran paradigma dari pembangunan yang semata-mata mengejar kuantitas dan biaya murah menuju pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan ekologis dan sosial.
Pentingnya konstruksi hijau tidak bisa dilebih-lebihkan. Selain mampu memangkas konsumsi energi hingga 30-50%, bangunan hijau juga mengurangi limbah konstruksi, meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar, dan meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Di tingkat global, penerapan konstruksi hijau menjadi bagian kunci dalam upaya mencapai target net zero emission dan komitmen pengurangan emisi sesuai Perjanjian Paris.
Di Indonesia, regulasi nasional seperti Permen PUPR No. 21 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung Hijau dan sertifikasi GREENSHIP dari Green Building Council Indonesia (GBCI) menjadi fondasi penting. Namun, prinsip dan regulasi ini baru efektif jika diadopsi dan diimplementasikan secara serius oleh seluruh lapisan pemerintahan, termasuk daerah.
Konstruksi Hijau di Jambi Sebatas Slogan
RPJMD Provinsi Jambi 2021–2026 sudah mengangkat program “Sepucuk Jambi Hijau”, menandakan niat untuk menuju pembangunan berkelanjutan. Sayangnya, program ini masih sebatas slogan tanpa diikuti oleh kebijakan teknis yang kuat. Hingga kini, Jambi belum mengesahkan Perda atau Pergub yang mewajibkan prinsip-prinsip konstruksi hijau dalam setiap pembangunan infrastruktur.
Jambi adalah provinsi kaya sumber daya alam sekaligus salah satu wilayah paling rentan terdampak perubahan iklim. Data BPBD Jambi (2023) mencatat lebih dari 45 kejadian banjir dan longsor dalam setahun terakhir — bencana yang semestinya menjadi alarm keras bagi evaluasi pola pembangunan.
Namun, praktik pembangunan di Jambi tetap berorientasi pada kecepatan dan biaya rendah, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang. Studi Kementerian PUPR (2023) mengungkap hanya 22% dinas teknis di Jambi yang memahami prinsip konstruksi hijau. Ini bukan hanya soal keterbatasan kapasitas, tapi kegagalan struktural untuk mengintegrasikan keberlanjutan di akar pembangunan.
Jambi tampak mengabaikan urgensi krisis ekologis yang mengancam masa depannya. Pemerintah daerah masih terjebak dalam paradigma pembangunan tradisional yang fokus pada hasil instan dan anggaran minimal. Regulasi lokal yang mengikat belum ada, insentif untuk pembangunan hijau pun nihil. Sementara pengadaan proyek publik masih didominasi kriteria harga terendah, bukan keberlanjutan.
Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi sebuah kegagalan politik dan moral yang membiarkan Jambi kehilangan momentum menuju pembangunan berkelanjutan.
Membangun Hijau: Urgensi yang Tak Bisa Ditawar Lagi
Jika Jambi ingin keluar dari jebakan pembangunan destruktif, harus ada perubahan radikal:
- Menyusun dan mengesahkan regulasi lokal yang tegas dan mengikat, agar konstruksi hijau menjadi norma.
- Reformasi sistem pengadaan proyek publik dengan memasukkan kriteria keberlanjutan sebagai syarat mutlak.
- Investasi serius dalam peningkatan kapasitas teknis aparatur dan pelaku konstruksi.
- Skema insentif fiskal dan kemudahan perizinan untuk pelaku pembangunan hijau.
- Pemberdayaan masyarakat dan media lokal agar mampu mendorong pengawasan dan advokasi.
Konstruksi hijau bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan mendesak untuk menjaga masa depan Jambi. Kegagalan daerah bergerak bukan hanya soal keterbatasan teknis, tapi cermin kegagalan moral dan politik para pengambil kebijakan.
Jika Jambi terus mengabaikan ini, bukan hanya lingkungan yang akan makin rusak, tapi ketimpangan pembangunan antar daerah makin melebar, memperdalam kemiskinan struktural dan keterpinggiran sosial.
Pemerintah daerah Jambi harus berani bertindak sekarang, keluar dari zona nyaman pembangunan jangka pendek dan memimpin perubahan menuju keberlanjutan. Masa depan bukan milik mereka yang menunggu, tapi milik mereka yang berani bertindak.
Daftar Pustaka
- United Nations Environment Programme (UNEP). (2020). 2020 Global Status Report for Buildings and Construction.
- Permen PUPR No. 21 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung Hijau.
- Green Building Council Indonesia (GBCI). (2021). Panduan GREENSHIP New Building v1.2.
- Kementerian PUPR. (2023). Laporan Evaluasi Kapasitas Teknis Bangunan Hijau di Daerah.
- KLHK. (2022). Standar Produk Hasil Hutan untuk Konstruksi Berkelanjutan.
- RPJMD Provinsi Jambi 2021–2026, Program Sepucuk Jambi Hijau.
- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi. (2023). Data Kejadian Bencana Tahunan.
- World Green Building Council. (2019). Bringing Embodied Carbon Upfront.












