EKBISJURNAL PUBLIK

200 T ke Himbara, Game Changer atau Game Over ?

×

200 T ke Himbara, Game Changer atau Game Over ?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ir. Martayadi Tajuddin, MM

Saya bukan ekonom. Latar belakang saya lebih banyak di dunia birokratis, teknis dan akademis—dengan latar belakang pendidikan arsitektur di ITB, lalu lanjut ke manajemen saat mengambil studi pascasarjana. Tapi dari situ pula saya mulai akrab dengan konsep ekonomi makro, kebijakan publik, dan dinamika manajemen strategis yang saling terkait.

Sebagai warga biasa yang peduli pada arah pembangunan dan nasib ekonomi rakyat, saya menulis opini ini bukan dari ruang seminar atau menara gading, tapi dari sudut pandang orang yang sehari-hari melihat langsung realitas lapangan—dari meja kopi ruang diskusi terbatas, warung yang makin sepi, sampai pelaku UMKM yang kesulitan nafas.

Tulisan ini lahir dari kegelisahan sekaligus keprihatinan. Bukan untuk menyalahkan, apalagi memprovokasi. Tapi untuk lebih mengajak publik—dan pengambil kebijakan—melihat bahwa kebijakan ekonomi bukan sekadar urusan angka, tapi soal kepercayaan dan keadilan sosial.

Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mengalihkan sekitar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah terasa seperti manuver besar di tengah ekonomi yang sedang terseok. Tujuannya tampak sederhana: dana yang selama ini “parkir” di BI akan diputar lewat bank Himbara agar bisa disalurkan ke sektor usaha dalam bentuk kredit. Harapannya, uang bisa mengalir ke dunia usaha, lapangan kerja tercipta, dan ekonomi rakyat kembali bergerak.

Tapi di balik langkah yang kelihatan solutif ini, banyak tanda tanya yang bikin cemas. Kita seolah sedang menonton ulang film lama dengan aktor baru. Tahun 1997–1998, pemerintah juga pernah mengucurkan dana jumbo lewat skema BLBI dengan maksud menyelamatkan sistem perbankan di tengah krisis moneter. Tapi apa yang terjadi? Sebagian besar dana disalahgunakan. Banyak yang malah disedot ke kantong elite, disalurkan ke grup usaha sendiri, dan tak sedikit yang akhirnya lari ke luar negeri.

Negara rugi besar, rakyat kebagian utang, dan hingga kini jejak kasusnya masih menyisakan trauma (Laporan BPK dan berbagai audit BLBI, 2000–2020). Ini jadi bukti nyata bahwa tanpa pengawasan ketat dan transparansi, kebijakan fiskal besar bisa gagal total, sebagaimana ditegaskan oleh teori pengelolaan kebijakan publik (Auerbach & Gale, 2018).

Sekarang, kita kembali di titik genting. Meski secara angka, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 mencatat 5,12% (BPS, Agustus 2025), banyak sinyal yang bilang ekonomi rakyat masih megap-megap. Konsumsi rumah tangga yang jadi mesin utama ekonomi nasional hanya tumbuh 4,97%, dan itu pun belum kembali ke level normal sebelum pandemi (ekonomi.bisnis.com, 5 Agustus 2025).

Daya beli masyarakat masih lemah. Harga-harga bahan pokok naik, listrik diam-diam ikut mahal, dan BBM belum turun. Pedagang kecil mengeluh pembeli sepi, warung-warung banyak yang tutup karena omset harian nggak nutup biaya operasional. Bahkan di lapak online pun banyak penjual bilang transaksi menurun drastis.

Dalam perspektif teori ekonomi makro, khususnya prinsip Keynesian yang dikemukakan oleh Mankiw (2016), konsumsi rumah tangga adalah penentu utama permintaan agregat. Jika daya beli melemah, suntikan likuiditas ke perbankan belum tentu berujung pada peningkatan konsumsi dan investasi yang signifikan. Malah ada risiko kredit macet yang membebani sistem keuangan. Krugman (2009) juga mengingatkan bahwa stimulus fiskal harus tepat sasaran dan dalam konteks kondisi ekonomi yang nyata, bukan sekadar angka pertumbuhan makro yang optimis.

Dengan situasi begitu, keputusan menggelontorkan Rp200 triliun ke bank jadi terasa absurd kalau nggak dibarengi transparansi dan pengawasan yang jelas. Siapa yang bisa jamin uang sebesar itu beneran nyampe ke pelaku UMKM, petani, nelayan, atau pekerja informal yang lagi butuh modal usaha? Jangan-jangan, seperti biasa, dana ini justru dinikmati oleh segelintir kelompok besar yang sudah akrab dengan ruang direksi dan koridor kekuasaan.

Belum lagi soal efektivitas. Kalau rakyat nggak punya uang buat belanja, sekuat apapun kredit dikucurkan, tetap saja permintaan di pasar nggak akan tumbuh. Bahkan bisa jadi kredit-kredit itu malah nyangkut dan gagal bayar. Di sisi lain, kalau bank terlalu nyaman dapat suntikan dana murah dari negara, mereka bisa jadi malas menyalurkan kredit ke sektor yang dianggap “berisiko”—yang artinya, UMKM tetap nggak dilirik. Kita udah sering lihat model begini.

Di tengah ketidakpastian global—dari melambatnya ekonomi China, ketegangan di Laut China Selatan, sampai naik-turunnya harga komoditas dunia—kebijakan ekonomi dalam negeri seharusnya dijalankan dengan penuh kehati-hatian. Dana publik bukan mainan. Apalagi ini dilakukan dalam masa transisi pemerintahan, di mana seringkali kebijakan besar diambil lebih karena dorongan politik daripada perhitungan matang ekonomi. Rodrik (2011) bahkan menyebut bagaimana tekanan geopolitik dan ketegangan ekonomi global dapat mempersulit pengelolaan kebijakan domestik, apalagi tanpa fondasi pengawasan yang kuat.

Pemerintah bilang bahwa dana ini tak boleh dipakai untuk beli surat utang negara, dan hanya untuk pembiayaan sektor produktif. Kedengarannya bagus. Tapi siapa yang jamin itu akan betul-betul terjadi di lapangan? Siapa yang akan mengawasi? Apakah rakyat bisa tahu ke mana duit itu disalurkan dan siapa yang menikmatinya? Apakah ada dashboard publik? Apakah ada sanksi jika bank tidak patuh?
Karena jika tidak ada semua itu, maka strategi ini bukan menyelamatkan ekonomi, tapi justru bisa jadi bom waktu fiskal. Seolah-olah ekonomi jalan, padahal yang terjadi cuma perputaran uang di antara kelompok elite. Sementara rakyat tetap bergelut dengan sepinya warung, cicilan macet, dan saldo dompet yang tipis.

Jangan salah paham. Kita semua ingin ekonomi tumbuh. Kita ingin dunia usaha bangkit, lapangan kerja terbuka, dan rakyat hidup lebih sejahtera. Tapi pertanyaannya: lewat siapa dan untuk siapa pertumbuhan itu diciptakan?

Langkah Purbaya ini bisa jadi titik balik. Kalau dijalankan dengan transparansi, kontrol publik, dan fokus ke sektor riil yang menyentuh rakyat banyak, ini bisa jadi “game changer”. Tapi kalau dilakukan asal gas, tanpa rambu, tanpa etika fiskal, dan hanya dinikmati oleh segelintir kelompok terhubung, maka ini hanya akan jadi ‘Kaset Baru Lagu Lama’ yang penuh ironi. Dan kali ini, yang dipertaruhkan bukan cuma uang negara. Tapi juga kepercayaan publik pada negara.


*) Penulis adalah Pemerhati kebijakan Publik, Pembanguan Infrastruktur , Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan.