EKBISJURNAL PUBLIK

ETIKA DALAM DUNIA KONSTRUKSI: ANTARA WACANA NORMATIF DAN KRISIS IMPLEMENTASI

×

ETIKA DALAM DUNIA KONSTRUKSI: ANTARA WACANA NORMATIF DAN KRISIS IMPLEMENTASI

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ir.Martayadi Tajuddin, MM *)

Etika profesi dalam dunia konstruksi kerap diangkat sebagai nilai normatif yang melekat pada setiap tahapan pembangunan.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa etika sering kali berhenti pada tataran retorika dan belum menjadi kerangka kerja yang operasional dalam praktik konstruksi di Indonesia.

Artikel ini mengkaji peran etika dalam proyek konstruksi serta bagaimana ketidakhadirannya berdampak langsung terhadap keberhasilan proyek dari sisi output (biaya, mutu, dan waktu) serta outcome (manfaat jangka panjang, sosial, dan lingkungan). Artikel ini juga memaparkan data empiris, teori relevan, serta analisis kritis untuk menyoroti pentingnya pergeseran dari etika normatif menuju etika implementatif yang berakar pada sistem, bukan semata kesadaran individual.

Etika profesi merupakan elemen fundamental dalam praktik konstruksi yang ideal.

Sebagaimana diatur dalam berbagai regulasi nasional, seperti Undang-Undang No. 6 Tahun 2017 tentang Arsitek serta Kode Etik Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), etika dimaksudkan untuk menjaga integritas profesi, melindungi kepentingan publik, serta menjamin mutu produk arsitektural dan konstruksi.

Namun, dalam praktiknya, prinsip-prinsip etika ini seringkali tidak lebih dari sekadar pernyataan normatif yang bersifat simbolik.

Kehadiran etika dalam wacana publik memang meningkat, tetapi belum sejalan dengan implementasinya di lapangan. Di berbagai proyek konstruksi, masih ditemukan praktik yang menyimpang secara etis: manipulasi anggaran, pengadaan fiktif, kolusi dalam proses tender, hingga penggunaan material di bawah standar. Kesenjangan antara wacana dan realitas inilah yang menjadi fokus pembahasan artikel ini.

Etika dan Keberhasilan Proyek: Tinjauan Teoretis
Keberhasilan sebuah proyek konstruksi secara konvensional diukur melalui tiga parameter utama (triple constraints): mutu (quality), biaya (cost), dan waktu (time).

Namun, dalam perkembangan ilmu manajemen proyek, dimensi outcome—yakni dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan jangka panjang—menjadi indikator keberhasilan yang tak kalah penting (PMBOK, 2017; Kerzner, 2018).

Etika berperan penting dalam memastikan keberhasilan proyek pada dua level tersebut. Beberapa teori relevan yang mendukung argumentasi ini meliputi:

1. Teori Etika Deontologis (Kant): menekankan bahwa tindakan profesional harus dilandaskan pada kewajiban moral, bukan semata hasil atau konsekuensi. Dalam konteks konstruksi, ini berarti bahwa kepatuhan terhadap standar mutu, keamanan, dan keberlanjutan bukan pilihan, melainkan kewajiban mutlak.

2. Prinsip-prinsip Etika Profesi menurut Robison (2011), yaitu: accountability, responsibility, integrity, dan respect for public interest. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini, seperti yang sering terjadi dalam praktik pengadaan dan pelaksanaan proyek, langsung memengaruhi kualitas dan keberlanjutan pembangunan.

3. Teori Principal-Agent (Jensen & Meckling, 1976): menunjukkan bahwa dalam relasi antara pemilik proyek (principal) dan pelaksana (agent), ketimpangan informasi dan kepentingan dapat mendorong terjadinya deviasi etika. Tanpa sistem akuntabilitas dan transparansi yang kuat, deviasi ini sulit dihindari.

Proyek Gagal karena Etika Diabaikan

Kegagalan proyek konstruksi di Indonesia bukan fenomena baru. Data dan studi kasus berikut memperkuat bahwa akar masalahnya seringkali bukan teknis, melainkan etis:

1. Studi oleh Purba & Dary (2020) menunjukkan bahwa proyek rumah susun di Tanjung Balai mengalami pembengkakan biaya dan penurunan mutu karena lemahnya pengawasan serta pengambilan keputusan yang tidak akuntabel.

2. Penelitian di Dinas PUPR Kota Manado (Sompie et al., 2017) menyebutkan bahwa 76% proyek yang mengalami keterlambatan konstruksi berkaitan langsung dengan pengadaan yang tidak transparan, lemahnya komunikasi antar stakeholder, dan pelanggaran spesifikasi teknis.

3. Dalam studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Imantoro, 2016), disebutkan bahwa percepatan proyek melalui lembur seringkali menghasilkan biaya yang membengkak tanpa diiringi peningkatan mutu—yang menunjukkan keputusan manajerial yang lebih menitikberatkan pada “deadline” daripada kualitas dan keselamatan kerja.

Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa deviasi dari prinsip etika konstruksi tidak hanya berakibat pada pelanggaran moral, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang nyata.

Hambatan Implementasi Etika: Perspektif Sistemik
Berdasarkan studi literatur dan observasi lapangan, terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan lemahnya implementasi etika dalam praktik konstruksi di Indonesia:
1. Budaya Kerja Transaksional
Relasi antara pihak-pihak dalam proyek (pemilik, konsultan, kontraktor) seringkali berorientasi jangka pendek dan bersifat kontraktual semata, bukan kolaboratif dan berbasis trust.
2. Tekanan Ekonomi dan Politik
Proyek pemerintah seringkali harus diselesaikan dalam waktu terbatas karena tuntutan politik atau siklus anggaran, sehingga kualitas menjadi variabel yang dikompromikan.
3. Minimnya Penegakan Kode Etik
Meskipun organisasi profesi telah merumuskan kode etik secara rinci, pelanggarannya jarang ditindak secara tegas. Proses audit etika nyaris tidak pernah dilakukan secara independen.
4. Pendidikan Etika yang Dekontekstual
Pendidikan etika di lingkungan akademik lebih banyak bersifat normatif dan terlepas dari realitas dilematis yang dihadapi di lapangan proyek. Mahasiswa tidak dibekali keterampilan etika praktis dalam pengambilan keputusan.

Menuju Etika yang Terintegrasi dan Terukur
Etika profesi dalam dunia konstruksi perlu direposisi dari sekadar norma moral yang bersifat tambahan menjadi elemen strategis yang terintegrasi dalam sistem manajemen proyek secara menyeluruh. Pendekatan ini memerlukan pembenahan pada berbagai aspek, mulai dari pengawasan hingga pendidikan profesi :
Pertama, perlu dilakukan integrasi audit etika ke dalam sistem pengawasan proyek, sejajar dan setara pentingnya dengan audit teknis maupun audit finansial. Dengan demikian, pelaksanaan nilai-nilai etika dapat diukur secara objektif dan terdokumentasi secara sistematis, bukan sekadar asumsi atau penilaian subjektif.

Kedua, sistem tender dan evaluasi kinerja pelaksana proyek harus memasukkan penilaian atas rekam jejak etika, yang dapat diwakili melalui skor integritas. Hal ini mencakup konsistensi pelaksana dalam mematuhi standar mutu, transparansi laporan keuangan, hingga komitmen terhadap keselamatan kerja dan keberlanjutan lingkungan. Penerapan indikator semacam ini dapat memberikan insentif positif bagi praktik profesional yang beretika tinggi.

Ketiga, pendidikan etika dalam lingkungan akademik perlu direformulasi. Pembelajaran etika tidak cukup disampaikan dalam bentuk prinsip-prinsip normatif semata, melainkan harus dikontekstualisasikan dalam bentuk studi kasus nyata yang mencerminkan dilema-dilema etis di lapangan proyek. Melalui pendekatan ini, mahasiswa arsitektur dan teknik sipil dapat mengembangkan kepekaan moral serta kemampuan berpikir kritis dalam pengambilan keputusan profesional.

Keempat, keterlibatan masyarakat dan media perlu diperkuat sebagai bagian dari mekanisme pengawasan sosial terhadap pelaksanaan proyek-proyek konstruksi, terutama proyek-proyek publik. Transparansi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pembangunan harus dibuka secara luas untuk memungkinkan partisipasi warga dan pemantauan independen oleh media. Peran ini penting untuk memastikan bahwa proyek konstruksi tidak hanya memenuhi standar teknis, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan akuntabilitas publik.

Etika dalam dunia konstruksi tidak boleh dipandang sebagai pelengkap atau hiasan retoris dalam dokumen proyek. Ia merupakan instrumen substantif yang menentukan arah, kualitas, dan dampak pembangunan. Ketika etika absen atau dikompromikan, proyek dapat gagal secara teknis maupun sosial. Sudah saatnya etika tidak hanya diajarkan, tetapi diinstitusionalisasi dalam sistem kerja konstruksi di Indonesia.

Daftar Pustaka
• Jensen, M.C. & Meckling, W.H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics.
• Kerzner, H. (2018). Project Management: A Systems Approach to Planning, Scheduling, and Controlling. Wiley.
• PMBOK®️ Guide. (2017). A Guide to the Project Management Body of Knowledge. Project Management Institute.
• Robison, W. (2011). Ethics in Engineering Practice and Research. Cambridge University Press.
• Purba, I.Y. & Dary, R.W. (2020). Analisis Risiko Terhadap Biaya, Mutu dan Waktu pada Proyek Pembangunan Rumah Susun di Kota Tanjung Balai. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Agregat.
• Sompie, B.F., Willar, D., & Pinontoan, A. (2017). Analisis Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek Konstruksi Gedung. Jurnal Ilmiah Media Engineering.
• Imantoro, T. (2016). Analisis Biaya dan Waktu Proyek Konstruksi dengan Penambahan Jam Kerja (Lembur) Dibandingkan dengan Penambahan Tenaga Kerja. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.