JURNAL PUBLIKSUARO WARGO

Momentum Hari Perumahan Nasional, RTLH Jambi dan Gagasan Solusi Kolektif

×

Momentum Hari Perumahan Nasional, RTLH Jambi dan Gagasan Solusi Kolektif

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM*)

KITA baru saja memperingati momentum Hari Perumahan Nasional (Harpenas) yang diperingati setiap tanggal 25 Agustus setiap tahun secara nasional.

Tentu momentum peringatan Harpenas tidak menjadi kegiatan seremoni belaka.

Harpenas seharusnya menjadi momen reflektif dan strategis untuk menjawab pertanyaan besar: sudahkah kita memastikan bahwa rumah, sebagai hak dasar manusia, benar-benar terwujud untuk seluruh warga negara? Pertanyaan itu terasa semakin tajam jika kita menengok kenyataan di Provinsi Jambi.

Berdasarkan data terbaru dari Kementerian PUPR (2022), terdapat sekitar 94.846 unit rumah tidak layak huni (RTLH) di Jambi. Hingga kini, baru sekitar 22.472 unit yang berhasil ditangani. Artinya, masih ada lebih dari 72 ribu keluarga yang hidup dalam kondisi hunian yang tidak memenuhi standar kelayakan dasar: atap bocor, lantai tanah, dinding lapuk, hingga sanitasi yang tidak memadai.

Dalam dokumen perundang-undangan nasional, hak atas perumahan layak bukanlah wacana normatif, melainkan hak konstitusional (UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Dalam Arsitektur rumah yang layak tidak hanya menjadi kebutuhan fisik, tapi juga bagian dari struktur psikologis dan sosial yang membentuk martabat manusia.

Sebagaimana diungkapkan oleh John F. C. Turner, tokoh penting dalam teori perumahan berbasis komunitas, “What matters about a house is not what it is, but what it does in the lives of people.” Rumah bukan soal ukuran atau bahan, tetapi sejauh mana ia memberi perlindungan, rasa aman, dan harapan bagi penghuninya.

Setiap tahun, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengusulkan perbaikan ribuan RTLH.

Pada tahun 2024, terdapat 11.314 unit yang diajukan untuk dibantu. Namun, pada tahun 2025 hanya 550 unit yang dianggarkan dalam APBD Provinsi Jambi, dengan nilai total sekitar Rp11 miliar (Antara Jambi, 2024). Ditambah lagi bantuan pusat melalui program BSPS (Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya) hanya mencakup 1.527 unit rumah. Jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan riil yang ada.

Lebih jauh, kita juga menghadapi tantangan administratif dan struktural: ketidaksesuaian data DTKS, dokumen kepemilikan tanah yang tidak jelas, hingga keterbatasan akses di daerah terpencil seperti Merangin, Sarolangun, dan Kerinci.

Dalam konteks ini, kita seolah berjalan di jalan panjang dengan tongkat pendek. Maka pertanyaan selanjutnya bukan hanya apa yang pemerintah bisa lakukan, tetapi siapa lagi yang bisa turun tangan?
Dan jawabannya jelas: sektor swasta.

CSR untuk Kolaborasi, Bukan Sekadar Bantuan

Keterlibatan sektor swasta dalam agenda perumahan bukanlah kemurahan hati, tapi bentuk tanggung jawab sosial yang terukur. Teori “Stakeholder Responsibility” oleh Freeman (1984) menekankan bahwa perusahaan harus bertanggung jawab tidak hanya pada pemegang saham, tetapi juga kepada komunitas di sekelilingnya. Dalam semangat ini, CSR bukan charity, tetapi investasi sosial jangka panjang.
Sayangnya, sebagian besar program CSR masih bersifat parsial dan tidak terintegrasi dalam sistem pembangunan perumahan rakyat. Kita butuh lompatan: dari CSR yang simbolik menuju kolaborasi yang sistemik.

Beberapa daerah telah membuktikan keberhasilan skema ini. Di Kudus, perusahaan-perusahaan lokal bergabung dengan pemda membedah ratusan rumah. Di Surakarta, platform digital bekerja sama dengan pemkot memperbaiki rumah-rumah warga miskin. Di Kulon Progo, sinergi antara pemkab, BAZNAS, perbankan, dan komunitas lokal berhasil mewujudkan rumah layak secara kolektif (Antara, 2023).

Mengapa Jambi tidak melakukan hal yang sama—atau bahkan lebih baik?
Dengan membentuk Forum Kolaborasi Perumahan Layak, yang melibatkan pemda, perusahaan, organisasi masyarakat sipil, dan universitas, kita bisa merancang intervensi terintegrasi. Setiap perusahaan bisa mengambil “wilayah binaan” dengan komitmen tahunan yang jelas, terukur, dan transparan.

Jika 20 perusahaan besar di Jambi bersedia memperbaiki minimal 50 unit rumah per tahun, maka dalam satu tahun kita bisa memperbaiki 1.000 rumah. Dalam lima tahun? Kita bicara tentang menyelesaikan lebih dari 70% beban RTLH di Jambi. Ini bukan utopia. Ini soal kemauan politik dan etika sosial korporasi.

Dan jangan lupa, Harpenas memberi legitimasi publik untuk menjadikan isu ini sebagai agenda kolektif nasional. Kita sedang diberikan momen yang tepat untuk memulai kolaborasi besar-besaran. Saatnya mendorong lahirnya Peraturan Gubernur tentang Kemitraan Strategis RTLH, sebagai dasar kebijakan yang mengikat, bukan sekadar imbauan moral.

Kolaborasi untuk Martabat Rakyat

Rumah bukan sekadar bangunan. Ia adalah tempat nilai-nilai manusia dikandung, dan mimpi-mimpi keluarga ditumbuhkan. Rumah yang layak adalah dasar dari produktivitas, kesehatan mental, stabilitas sosial, dan keamanan komunitas.

Kita tidak bisa lagi membiarkan ribuan rumah reyot berdiri diam dalam lanskap pembangunan yang bergerak cepat. Setiap rumah tak layak yang kita biarkan adalah pelanggaran diam terhadap hak-hak dasar warga negara.

Melalui momen Harpenas ini, mari kita resapi makna pembangunan bukan sebagai pencapaian infrastruktur semata, tetapi sebagai panggilan hati nurani. Mari kita ubah pola pikir dari “apa bantuan pemerintah” menjadi “apa kontribusi kolektif kita”.

Kepada perusahaan-perusahaan yang selama ini mengambil manfaat dari kekayaan Jambi—entah dari hasil alam, lahan, atau tenaga kerja—ini saatnya memberi kembali. Karena peradaban yang besar dibangun dari rumah yang kecil tapi layak dan bermartabat.

Karena bangsa yang kuat tidak lahir dari gedung-gedung pencakar langit, tapi dari rumah-rumah sederhana yang kokoh oleh keadilan sosial.

*) Penulis adalah Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Publilk
Daftar Pusataka :
• UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
• Permen PUPR No. 13/PRT/M/2016 tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS)
• Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah – BPIW PUPR (2022)
• Antara Jambi (2024)
• Antara Nasional (2023)
• Freeman, R.E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach
• Turner, J.F.C. (1976). Housing by People: Towards Autonomy in Building Environments