JURNAL PUBLIKSUARO WARGO

Kawasan Islamic Centre Jambi, Analisis Refleksi dan Ekspektasi Arsitektur

×

Kawasan Islamic Centre Jambi, Analisis Refleksi dan Ekspektasi Arsitektur

Sebarkan artikel ini

Catatan : Ir. Martayadi Tajuddin, MM (*)

DALAM ranah arsitektur, sebuah bangunan tidak cukup dinilai dari megahnya fisik atau besarnya anggaran yang digelontorkan. Arsitektur yang sejati adalah yang mampu merefleksikan dan membentuk identitas sebuah komunitas, menjadi ruang hidup yang bermakna dalam konteks sosial dan budaya.

Islamic Center Jambi, sebuah proyek besar yang menelan anggaran sekitar Rp150 miliar dan tambahan Rp13 miliar, saat ini menjadi sorotan publik yang tajam. Ekspektasi masyarakat yang tinggi, yang tentu saja wajar karena menggunakan dana publik, belum sepenuhnya terjawab oleh hasil yang terlihat. Kritik dan kekecewaan pun mengemuka, bahkan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Namun, persoalan ini tak sesederhana kegagalan fisik atau administratif. Sebagai akademisi dan praktisi arsitektur, saya percaya bahwa kita belum gagal; kita justru sedang di titik di mana perlu meredefinisi ulang peran bangunan ini dalam konteks yang lebih luas: sebagai bagian dari ekosistem ruang publik yang menghidupkan kembali peradaban Melayu-Islam di Jambi.

Menata Ulang Fungsi Islamic Center: Dari Monumen ke Pusat Peradaban

Islamic Center sejatinya bukan hanya tempat ibadah monumental, melainkan pusat peradaban yang menyatu dengan akar budaya Melayu Jambi. Namun saat ini, ia berdiri hampir terisolasi secara fungsi dan makna, tidak terkoneksi dengan elemen-elemen penting di kawasan Eks Arena MTQ seperti rumah adat, taman rekreasi, dan ruang interaksi publik lainnya. Padahal, ruang publik yang hidup harus memiliki narasi yang kohesif dan integratif, sebagaimana diuraikan oleh Kevin Lynch dalam The Image of the City (1960), bahwa sebuah kota yang kuat adalah kota yang ruang-ruangnya dapat dikenali, dimaknai, dan dirasakan secara bersama oleh warganya.

Konsep ini mendesak agar Islamic Center Jambi tidak lagi dipandang sebagai bangunan tunggal yang berdiri sendiri, melainkan sebagai jantung spiritual dan budaya yang memompa kehidupan ke seluruh kawasan Eks Arena MTQ. Integrasi ini bukan hanya soal penghubung fisik, tapi terutama tentang koneksi narasi dan fungsi yang saling menguatkan satu sama lain.

Bayangkan jika Islamic Center menjadi pusat kajian Islam yang inklusif, tempat diskusi lintas mazhab dan pengembangan literasi Qur’an, pelatihan dakwah berbasis digital, sekaligus ruang diplomasi kebudayaan Islam Melayu yang moderat. Sementara itu, rumah adat yang direvitalisasi di sekitar kawasan berfungsi sebagai galeri budaya dan pusat pelatihan seni tradisional, serta marketplace produk halal lokal yang mendukung ekonomi kreatif berbasis komunitas. Ruang terbuka hijau dan taman kota menjadi ruang publik yang hidup dengan aktivitas seni Islami dan acara edukatif anak muda bertemakan akhlak dan kewirausahaan.

Inspirasi dari daerah lain bisa memperkuat arah ini. Kita bisa melihat Masjid Raya Sumatera Barat di Padang yang bukan hanya tempat ibadah, tapi juga pusat budaya Minangkabau modern—menggabungkan unsur tradisi dan visi Islam kontemporer dalam satu lanskap.

Alun-Alun Serang di Banten pun menjadi contoh kawasan Islamic Center yang terintegrasi dengan taman literasi, ruang komunitas, dan etalase UMKM. Bahkan Anjungan Daerah di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) berhasil menjadikan rumah adat sebagai pusat edukasi dan diplomasi budaya berbasis digital.

Referensi-referensi ini membuktikan bahwa keberhasilan pengelolaan ruang publik tidak hanya terletak pada keindahan fisik, tapi juga pada kejelasan visi dan keberanian melakukan integrasi makna.

Mengintegrasikan Ruang untuk Peradaban Melayu Jambi yang Hidup

Kita pun harus menghindari jebakan menilai bangunan hanya dari biaya dan estetika. Sebagaimana Jeremy Till menegaskan dalam Architecture Depends (2009), keberhasilan arsitektur tidak hanya terletak pada desain, tapi juga pada kemampuannya menjawab kebutuhan sosial dan politik masyarakat yang menggunakannya. Maka pertanyaannya bukan “apakah Islamic Center ini layak?” melainkan “apakah kita telah menyiapkan manajemen ruang dan program yang layak untuk menjadikannya hidup dan bermakna?”

Untuk itu, diperlukan kelembagaan yang profesional dan terintegrasi dengan model Public-Private-People Partnership yang melibatkan Pemerintah Provinsi, kabupaten/kota, pelaku usaha, serta komunitas budaya dan keagamaan. Model pengelolaan ini akan memastikan kawasan Eks Arena MTQ dan Islamic Center dapat tumbuh sebagai ruang publik yang dinamis, terbuka, dan inklusif.

Kawasan ini harus menjadi platform peradaban—tempat belajar, berkarya, berinteraksi, dan berinovasi yang membumikan nilai-nilai religius dan budaya Melayu secara nyata. Dengan demikian, narasi negatif yang selama ini mengiringi pembangunan Islamic Center dapat perlahan bergeser menjadi optimisme kolektif yang didasarkan pada gagasan pengembangan ruang dan kelembagaan yang terintegrasi serta berkelanjutan.

Islamic Center Jambi adalah investasi sosial-budaya yang luar biasa nilainya. Jika kita mampu memposisikan dan mengelolanya dengan cara yang tepat, ia akan menjadi ikon kebanggaan Jambi—bukan hanya secara fisik, tetapi juga sebagai pusat peradaban Islam Melayu yang hidup, inovatif, dan relevan bagi generasi masa depan.

(*) Penulis adalah Akademisi, Pemerhati Kebijakan Publik dan Praktisi Arsitektur

Daftar Pustaka
• Gehl, J. (2010). Cities for People. Washington, DC: Island Press.
• Lynch, K. (1960). The Image of the City. MIT Press.
• Till, J. (2009). Architecture Depends. MIT Press.
• Said, E. W. (1993). Culture and Imperialism. New York: Alfred A. Knopf.
• Foucault, M. (1986). “Of Other Spaces: Utopias and Heterotopias.” Diacritics, 16(1), 22-27.
• Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. (2022). Masterplan Masjid Raya Sumbar.
• Pemerintah Kota Serang. (2021). Integrasi Alun-Alun dan Islamic Center Banten.
• Laporan Pengelolaan TMII (2023). Anjungan Budaya dan Digitalisasi Sejarah Daerah.