IPTEKJURNAL PUBLIK

Kampus Negeri Bukan Milik Golongan, Melainkan Milik Bangsa

×

Kampus Negeri Bukan Milik Golongan, Melainkan Milik Bangsa

Sebarkan artikel ini

Oleh : Faridl Hakim, M.A (Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)

SANGAT sering, diskusi tentang Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)  pergi ke arah yang salah.

Yaitu, diskusi publik beralih ke masalah identitas ideologis daripada berbicara tentang Tridarma Perguruan Tinggi, baik itu, kualitas pendidikan, jalan penelitian, atau inovasi akademik serta pengabdian.

Ada hal yang membahayakan bagi sebagian orang ketika kita terus berpikir bahwa kampus negeri tertentu condong ke organisasi Islam tertentu. Namun, anggapan semacam ini tidak hanya salah, tetapi juga dapat merusak semangat persatuan dan kebangsaan yang mendasari berdirinya Perguruan Tinggi di Indonesia.

Sebenarnya, kampus nasional atau penulis menyebut dengan kampus bangsa adalah miniatur Indonesia. Fakultas, prodi, dosen, dan mahasiswa berasal dari berbagai latar belakang agama, budaya, dan politik kalau boleh diulang adalah miniatur komplit bangsa.

Kampus bukanlah tempat untuk mengukuhkan ideologi tertentu yang sangat rigit dan fundamental serta kacamata kuda; sebaliknya, yaitu tempat adu konsep dan gagasan yang luas dan teruji.

Menyempitkan identitas kampus nasional ke dalam konteks ormas atau kelompok tertentu sama dengan menghilangkan-membunuh arti kemerdekaan berpikir dan patriotism.

Untuk alasan ini, literasi kebangsaan sangat penting. Sebagai contoh kata-kata yang sering terdengar dari kalangan elit kampus, anda dari golongan ini atau itu, dari ormas ini atau itu, dan dari kampus itu yang notabenenya sebenarnya kampus Negeri bukan kampus golongan.

Penulis sangat menyayangkan sekali, bahkan penulis menyebut dengan istilah Jahil-Murakab. Kembali pembahasan awal, Universitas harus memiliki kesadaran nasional yang kuat, yang berarti bahwa kampus itu milik semua rakyat Indonesia, bukan hanya satu kelompok.

Literasi kebangsaan mencakup lebih dari sekadar mengucapkan nilai-nilai Pancasila atau melakukan upacara bendera setiap Senin; itu juga mencakup kemampuan untuk berpikir secara terbuka, toleran, dan kritis saat berhadapan dengan perspektif yang berbeda.

Teori-teori yang membedakan lembaga pendidikan berdasarkan afiliasi sosial atau keagamaan harus dibuang bahkan harus dicampakkan. Pendidikan sejatinya adalah tempat untuk kemajuan bersama, bukan tempat untuk perselisihan identitas. Jika setiap kampus terjebak dalam klaim golongan, objektivitas akademik dan rasa persatuan nasional akan hilang.

Setiap institusi pendidikan nasional harus mempertahankan nilai-nilai kebangsaan seperti kejujuran, kerja keras, persaudaraan, dan keterbukaan. Kita perlu kembali ke komitmen kebangsaan ini. Sekolah harus berfungsi sebagai tempat di mana siswa belajar menghargai perbedaan daripada mempertegas sekat sosial yang diwariskan oleh kefanaan.

Kebangsaan tidak berasal dari kelompok atau ideologi yang sama; sebaliknya, itu berasal dari kemampuan untuk bersatu dengan orang lain meskipun ada perbedaan. Universitas mencetak sarjana melalui penerapan prinsip-prinsip ini. Mereka juga menghasilkan warga negara yang matang secara intelektual dan emosional.

Kita harus menjadikan kampus negeri tempat persatuan dan kemajuan. Cita-cita pendidikan nasional harus dilindungi dari prasangka ideologis. Karena pada akhirnya, kemajuan bangsa tidak ditentukan oleh siapa yang mengelola kampus, tetapi oleh sejauh mana kampus dapat menghasilkan individu yang berpikiran terbuka, berperilaku jujur, dan berkomitmen pada Indonesia.

Tinggalkan Balasan