Oleh :Nazarman
Setelah dua tulisan sebelumnya membahas dugaan skenario dalam proses seleksi eselon dua dan pola “kompetisi yang bisa ditebak” di lingkup eselon dua, bagian ketiga ini membuka lapisan berikutnya: banyak pendaftar bukan berarti banyak pesaing.
Pada selter kali ini, daftar peserta memang tampak impresif. Nama-nama menumpuk, jumlah pendaftar membludak, dan secara administratif, semuanya terlihat ideal. Tetapi sebagaimana diungkap berbagai sumber birokrasi, keramaian itu tidak mencerminkan kualitas persaingan.
Sejumlah peserta yang ikut bahkan disebut tidak memiliki pengalaman yang selaras dengan jabatan yang dilamar. Mereka tetap mendaftar, tetapi bukan untuk memenangkan kompetisi melainkan sekadar menjadi pelengkap, pemanis, dan pengisi panggung agar proses terlihat “ramai dan demokratis”.
Sebaliknya, para pegawai yang sebenarnya kompeten berpengalaman, senior, dan punya rekam kerja kuat justru memilih tidak ikut. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena melihat arah angin yang sudah jelas bahkan sebelum seleksi dibuka.
Seorang pegawai senior mengaku gamblang:
“Tanpa sinyal dari pimpinan, percuma ikut. Malah dibilang menghalangi jagoan yang sudah disiapkan. Kami ini hanya jadi dekorasi kalau ikut.”
Pernyataan itu sejalan dengan kecurigaan publik bahwa proses ini bukan kompetisi, melainkan ritual administratif.
Lebih jauh, rumor mengenai dugaan adanya praktik tak sehat termasuk isu tarif jabatan yang disebut-sebut mencapai ratusan juta rupiah kian memperburuk citra proses. Rumor tetaplah rumor, tetapi ia tumbuh karena satu alasan: kepercayaan publik telah terkikis.
Dan seperti dua tulisan sebelumnya, pola yang sama muncul lagi: daftar nama pemenang beredar lebih dulu, bahkan sebelum peserta menyentuh meja asesmen. Banyak pihak menyebut akurasinya mencapai 90 persen.
Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi “siapa yang bakal menang”, tetapi apa fungsi selter jika hasilnya bisa ditebak sejak awal?
Jika seleksi hanya dijadikan formalitas, hanya dijalankan karena diwajibkan aturan, maka kehilangan besarnya bukan pada siapa yang duduk di kursi jabatan melainkan pada legitimasi pemerintahan itu sendiri.
Serial ini tidak menuduh, tidak memvonis. Yang diangkat adalah kegelisahan publik, keresahan birokrasi, dan tanda-tanda ketidakjelasan yang terlalu terang untuk diabaikan.
Karena ujung dari semua ini bukan sekadar rotasi jabatan, melainkan pertaruhan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Dan jika selter kali ini kembali menghasilkan nama-nama yang “kebetulan” sesuai dengan daftar yang beredar, maka tulisan keempat nanti mungkin tak perlu lagi membahas prosesnya.
Yang perlu dibahas adalah apa arti sebuah pemerintahan jika mekanisme pengisian jabatan tak lagi dipercaya warganya.***











