banner 120x600
banner 120x600
IPTEKJURNAL PUBLIK

Target Finansial di SMK Negeri, Ancaman Baru bagi Pendidikan Vokasi di Jambi

×

Target Finansial di SMK Negeri, Ancaman Baru bagi Pendidikan Vokasi di Jambi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr Noviardi Ferzi (Pengamat Publik dan Dosen)

PENETAPAN target pendapatan Rp 2 miliar bagi SMK berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jambi patut dikritisi secara serius, baik dari sisi filosofi pendidikan, tata kelola pemerintahan, maupun kerangka regulasi yang berlaku.

Kebijakan ini tidak hanya berpotensi menyimpang dari tujuan utama pendidikan vokasi, tetapi juga berisiko menimbulkan persoalan hukum dan administratif di kemudian hari.

Secara prinsip, BLUD bukanlah instrumen komersialisasi layanan publik, melainkan mekanisme fleksibilitas keuangan untuk meningkatkan mutu layanan.

Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa BLUD bertujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.

Penetapan target pendapatan nominal yang kaku justru berpotensi menggeser orientasi SMK dari institusi pendidikan vokasi menjadi entitas semi-bisnis yang mengejar capaian finansial, bukan kualitas pembelajaran dan kompetensi lulusan.

Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak terdapat satu pun norma yang menjadikan pendapatan keuangan sebagai indikator keberhasilan satuan pendidikan.

Tujuan pendidikan nasional diarahkan pada pengembangan potensi peserta didik agar memiliki kompetensi, keterampilan, dan karakter yang utuh. Oleh karena itu, menjadikan target Rp2 miliar sebagai tolok ukur kinerja SMK tidak memiliki dasar yuridis dalam sistem pendidikan nasional dan berpotensi menciptakan indikator kinerja yang keliru.

Status BLUD memang memberikan ruang bagi SMK untuk mengelola unit produksi dan jasa sebagai bagian dari pembelajaran berbasis praktik.

Namun demikian, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah tidak pernah mewajibkan penetapan target pendapatan tertentu, apalagi diterapkan secara seragam.

Pendapatan BLUD bersifat kontekstual dan sangat bergantung pada kapasitas masing-masing satuan pendidikan. Pemaksaan target nominal justru bertentangan dengan semangat fleksibilitas BLUD dan mengabaikan realitas perbedaan sarana, sumber daya manusia, serta potensi ekonomi antar-SMK.

Dari sisi tata kelola pemerintahan, kebijakan ini juga rawan menimbulkan maladministrasi dan penyimpangan wewenang. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa setiap kebijakan harus dijalankan sesuai tujuan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Apabila target pendapatan dijadikan instrumen penilaian kinerja kepala sekolah, dasar mutasi, atau mekanisme reward dan punishment, maka kebijakan tersebut berpotensi masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang karena memaksa institusi pendidikan menjalankan fungsi yang menyimpang dari mandat utamanya.

Orientasi pendapatan juga membawa risiko serius terhadap akses dan keadilan pendidikan. Dorongan untuk mengejar target finansial dapat memicu praktik pembebanan biaya kepada siswa atau masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kondisi ini bertentangan dengan prinsip tanggung jawab negara dalam menjamin pendidikan menengah yang terjangkau, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, serta berpotensi melanggar ketentuan larangan pungutan di satuan pendidikan negeri.

Selain itu, kebijakan penetapan target pendapatan tidak selaras dengan sistem evaluasi pendidikan nasional. Indikator keberhasilan sekolah negeri dalam regulasi pendidikan diukur melalui mutu pembelajaran, kompetensi lulusan, relevansi dengan dunia kerja, dan tata kelola yang akuntabel, bukan melalui besaran pendapatan keuangan.

Menempatkan target Rp 2 miliar sebagai capaian utama justru menciptakan distorsi kebijakan dan mengaburkan arah pembangunan pendidikan vokasi.

Dengan demikian, target finansial bagi SMK negeri berstatus BLUD tidak hanya lemah secara konseptual, tetapi juga problematik secara regulatif.

Pendidikan vokasi seharusnya diposisikan sebagai investasi jangka panjang dalam pembangunan sumber daya manusia, bukan sebagai instrumen penghasil pendapatan.

Yang dibutuhkan adalah penguatan mutu lulusan, keterkaitan dengan dunia industri, transparansi pengelolaan BLUD, serta pengawasan yang ketat, bukan tekanan finansial yang berpotensi menjerumuskan sekolah ke arah komersialisasi pendidikan negeri.

Tinggalkan Balasan