banner 120x600
banner 120x600
IPTEKJURNAL PUBLIK

Menakar Benefit Oriented dan Risiko Sistemik Penerapan BLUD pada SMK

×

Menakar Benefit Oriented dan Risiko Sistemik Penerapan BLUD pada SMK

Sebarkan artikel ini

Oleh :Dr Noviardi Ferzi (Pengamat Kebijakan publik dan Dosen)

PENERAPAN pola tata kelola keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada Sekolah Menengah Kejuruan kerap dipromosikan sebagai solusi strategis untuk memperkuat pendidikan vokasi melalui fleksibilitas pengelolaan keuangan.

Namun narasi yang menempatkan BLUD SMK sebagai kebijakan yang sepenuhnya aman dan bukan ancaman justru menutup ruang kritik yang secara regulatif dan empiris sangat beralasan.

Fleksibilitas sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 sejatinya adalah pengecualian terbatas dari sistem pengelolaan keuangan daerah, bukan mandat untuk menggeser karakter lembaga pendidikan menjadi entitas semi-bisnis.

Permendagri 79/2018 memang menegaskan bahwa BLUD tidak bertujuan mencari keuntungan dan harus berorientasi pada peningkatan layanan kepada masyarakat.

Namun regulasi yang sama juga mewajibkan BLUD menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA), proyeksi pendapatan, serta menerapkan praktik bisnis yang sehat.

Dalam konteks SMK, kewajiban ini melahirkan kontradiksi struktural. Sekolah dituntut menyusun target keuangan, sementara pada saat yang sama diminta menjaga orientasi pendidikan.

Dalam praktik birokrasi, target angka hampir selalu menjadi indikator dominan evaluasi, sehingga tekanan untuk mengejar pendapatan menjadi tidak terhindarkan.

Pada titik ini, klaim benefit oriented menjadi kabur karena praktiknya cenderung menyerupai profit driven system.

Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menempatkan pendidikan sebagai proses pengembangan potensi peserta didik, bukan sebagai instrumen produksi ekonomi. Pasal 3 UU Sisdiknas menegaskan tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman, berilmu, cakap, kreatif, dan bertanggung jawab. Ketika hasil praktik kompetensi siswa SMK diposisikan sebagai sumber penerimaan BLUD, terdapat risiko serius terjadinya pergeseran fungsi pedagogis menjadi fungsi ekonomis.

Aktivitas belajar berpotensi direduksi menjadi aktivitas produksi, dan siswa secara tidak langsung diperlakukan sebagai faktor input ekonomi, bukan sebagai subjek pembelajaran.

Risiko tersebut semakin kuat jika dilihat dari perspektif tata kelola keuangan negara. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menuntut prinsip akuntabilitas, kehat
i-hatian, dan efektivitas dalam pengelolaan dana publik.

Dalam praktik BLUD di sektor lain, temuan Badan Pemeriksa Keuangan kerap menunjukkan lemahnya perencanaan bisnis, ketidaktertiban penatausahaan pendapatan, serta pencampuran fungsi pelayanan dan usaha. Jika sektor kesehatan yang relatif mapan secara manajerial saja masih menyisakan banyak temuan, maka penerapan BLUD pada SMK—yang mayoritas dikelola oleh tenaga pendidik, bukan manajer keuangan—jelas membawa risiko administrasi dan hukum yang lebih besar.

Contoh empiris dari BLUD sektor layanan publik menunjukkan bahwa dorongan peningkatan pendapatan sering kali berujung pada perubahan prioritas layanan.

Dalam konteks SMK, risiko serupa muncul ketika kegiatan praktik siswa lebih diarahkan pada produk atau jasa yang cepat laku di pasar, bukan pada penguatan kompetensi sesuai kurikulum.

SMK tata boga, misalnya, berpotensi lebih fokus memenuhi pesanan komersial dibandingkan pendalaman proses belajar, sementara kompetensi yang tidak memiliki nilai jual tinggi akan terpinggirkan.

Kondisi ini bertentangan dengan prinsip Standar Nasional Pendidikan SMK yang menekankan kesetaraan mutu dan relevansi pembelajaran, bukan nilai ekonominya.

Penetapan target akumulatif Rp2 miliar dari empat SMK BLUD pada tahun 2026, meskipun disebut berbasis rencana bisnis dan core business masing-masing sekolah, juga menyimpan problem kebijakan.

Penetapan target nominal secara implisit menggeser ukuran keberhasilan sekolah dari capaian pendidikan menjadi capaian finansial.

Padahal Pasal 65 Permendagri 79/2018 menegaskan bahwa kinerja BLUD tidak hanya diukur dari aspek keuangan, tetapi dari mutu layanan.

Dalam praktik pemerintahan, indikator keuangan cenderung lebih dominan karena mudah diukur, sementara kualitas lulusan, karakter siswa, dan relevansi kompetensi justru terpinggirkan.

Di luar itu, penerapan BLUD SMK juga membawa risiko sistemik lain yang tidak bisa diabaikan. Risiko eksploitasi pedagogis muncul ketika siswa diposisikan sebagai tenaga produksi atas nama pembelajaran.

Risiko ketimpangan antar SMK menguat karena tidak semua sekolah memiliki core business bernilai ekonomi.

Risiko beban manajerial dan hukum meningkat karena kepala sekolah dan guru dipaksa menjalankan fungsi bisnis dan keuangan yang bukan kompetensinya.

Risiko konflik kepentingan dan moral hazard terbuka akibat fleksibilitas pengelolaan pendapatan dan belanja tanpa pengawasan ketat.

Bahkan dalam jangka panjang, muncul risiko ketergantungan semu pada pendapatan BLUD yang berpotensi mendorong pemerintah daerah mengurangi alokasi anggaran pendidikan dengan dalih kemandirian sekolah.

Dengan mempertimbangkan keseluruhan aspek regulasi, contoh praktik, dan peta risiko tersebut, jelas bahwa BLUD SMK bukan kebijakan yang bebas konsekuensi. Kritik terhadap BLUD SMK memiliki dasar hukum dan rasionalitas kebijakan yang kuat.

Tanpa pembatasan tegas antara fungsi pendidikan dan fungsi ekonomi, tanpa kesiapan kelembagaan, serta tanpa sistem pengawasan yang ketat, BLUD SMK justru berpotensi menggeser jati diri sekolah vokasi dari lembaga pendidikan menjadi semi-unit usaha.

Dalam konteks inilah, sikap kritis terhadap BLUD SMK harus dipahami bukan sebagai penolakan terhadap inovasi, melainkan sebagai upaya menjaga pendidikan tetap berada pada rel konstitusionalnya sebagai layanan publik yang berorientasi pada pembentukan manusia, bukan pada pencapaian target keuangan.***

Tinggalkan Balasan