Pemimpin Internasional dan LSM HAM, Desak Korea Selatan Hentikan Penindasan Agama Minoritas untuk COVID-19
5 min readJAMBIDAILY PERISTIWA – 387 pemimpin internasional termasuk otoritas-otoritas hak-hak asasi manusia, LSM-LSM dan komunitas-komunitas keagamaan mengangkat suara terhadap Korea Selatan untuk menghentikan penindasan terhadap kelompok agama minoritas bernama Gereja Yesus Shincheonji untuk COVID-19.
Setelah merebaknya wabah, pengadilan daerah sedang menginvestigasi dengan dugaan penyebaran COVID-19 secara sengaja dengan menahan 6 petugas gereja termasuk Ketua Gereja Shincheonji Lee Man-hee. Dan pemerintah kota Seoul membatalkan izin organisasi HWPL, sebuah organisasi perdamaian internasional yang Bpk. Lee telah dirikan.
Di Inggris, Ketua International Human Rights Committee, Iftikhar Ayaz mengatakan “Penganiayaan brutal terhadap anggota-anggota gereja Shincheonji di Korea dan penyangkalan yang tidak manusiawi dengan mencabut izin badan hukumnya adalah sebuah kelalaian yang mengerikan dari tanggung jawab negara yang seharusnya memperlakukan semua warga negara dengan setara tanpa diskriminasi apa pun.
Ia menambahkan “Pemerintah harus melaksanakan dalam prakteknya UN Universal Declaration of Human Rights yang menekankan martabat manusia yang melekat dan hak-hak dari semua anggota keluarga manusia yang tidak dapat dicabut.”
Franklin Hoet Linares dari Venezuela, Mantan Presiden dan Presiden Honorary Life dari World Jurist Association, menyatakan “Jika komentar-komentar yang sedang disebarluaskan adalah benar, saya tidak akan ragu-ragu untuk menyebutnya sebagai aib nasional dan aib kemanusiaan, selain mengubahkan serangan-serangan yang keji seperti itu menjadi diskriminasi terhadap kebebasan beragama. Kami tidak mengerti mengapa, di sebuah negara di mana kebebasan beragama diabadikan, Pemerintah dapat membiarkan Konstitusi Korea untuk dilanggar, yang di mana tertulis secara jelas di Artikel 20, Klausul 1 dan 2 ‘Semua warga negara akan menikmati kebebasan beragama’ dan ‘agama dan negara akan dipisahkan.’
Willy Fautre, Direktur dari Human Rights Without Frontiers (HRWF), berkata bahwa serangan yang baru-baru ini terjadi kepada Shincheonji dapat dilihat sebagai upaya dari kelompok-kelompok Protestan fundamentalis di Korea Selatan untuk melemahkan dan menghancurkan kompetitor dalam pasar keagamaan.
Bulan yang lalu, 11 LSM termasuk European Coordination of Associations dan Individuals for Freedom of Conscience (CAP-LC) menyerahkan laporan untuk “laporan tahunan kepada UN High Commissioner for Human Rights” kepada Sekretaris Umum PBB (alias UN) di sesi ke-44 dalam UN Assembly Human Rights Council. Laporan itu berjudulkan “mengkambing-hitamkan para anggota Shincheonji untuk COVID-19 di Republik Korea.”
Laporan itu menyatakan, “Virus tidak dapat menjadi sebuah alasan untuk melanggar hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama dari ratusan ribu orang percaya. Intoleransi, kekerasan, dan diskriminasi terhadap Shincheonji harus diakhiri.”
Sampai hari ini, 512 anggota Gereja Shincheonji Daegu telah mendonasikan plasma darah mereka untuk pengembangan pengobatan baru untuk COVID-19. Korea Centers for Disease Control and Prevention berencana untuk memproduksi obat-obatan terkait dengan corona melalui plasma yang didonasikan oleh para anggota Gereja Shincheonji Daegu dan melakukan uji-uji klinis mulai September ini.
Petugas gereja berkata, “Para anggota yang telah pulih dari COVID-19 mendonasikan plasma darah mereka sebagai balas budi untuk perawatan yang telah diberikan oleh pemerintah. Kami ingin mendukung upaya pengembangan vaksin.”
Berikut isi pernyataan Sikap yang diterima jambidaily.com (Kamis, 20/08/2020):
KEPADA YANG BERKEPENTINGAN
Ibu-ibu dan Bapak-bapak di seluruh Dunia,
Dengan sangat kecewa dan keputusasaan saya telah mengetahui tentang diskriminasi akhir-akhir ini terhadap Presiden dan Pendiri HWPL, Bpk. Lee Man Hee, yang telah memimpin organisasi perdamaian di Republik Korea Selatan ini sejak pendiriannya pada tanggal 25 Mei 2013 dan yang aktif di 152 negara.
Saya mengenal tentang beliau dan organisasi beliau melalui pengalaman-pengalaman pribadi, yang saya telah saksikan melalui program-program dan konferensi-konferensi yang telah diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan untuk mempromosikan hidup berdampingan dengan penuh perdamaian, toleransi dan harmonis di antara beragam kepercayaan dan agama, yang adalah patut dikagumi dan patut dihargai, terutama menyaksikan Presiden Hee Lee berbicara menentang Perang-perang Nuklir.
Saya bertanya-tanya mengapa lembaga-lembanga Pemerintah Korea tertentu sedang mencoba mengganggu dan melarang kegiatan-kegiatan dari seorang yang penuh perdamaian dan organisasi perdamaiannya. Jika komentar-komentar yang sedang disebarkan secara meluas itu benar, saya tidak akan ragu-ragu untuk menggambarkannya sebagai aib nasional dan aib kemanusiaan, selain mengubah serangan-serangan kejam seperti itu menjadi diskriminasi terhadap kebebasan beragama. Kami tidak mengerti mengapa, di negara di mana kebebasan beragama diabadikan, Pemerintahan Korea membiarkan Konstitusi Korea dilanggar, yang mana dengan jelas itu menyatakan Artikel 20, Klausul 1 dan 2, “Semua warga negara akan menikmati kebebasan beragama” dan “agama dan politik akan dipisahkan.”
Tidaklah relevan apakah kita memiliki perbedaan-perbedaan dan berbeda dalam sudut-sudut pandang kita di negara mana pun; keragaman semacam itu diperlukan agar pekerjaan-pekerjaan di dunia ini dapat berfungsi dengan baik dan adalah penting dan fundamental untuk memiliki kebebasan berkeyakinan, kebebasan berkegiatan penuh perdamaian dan kebebasan berekspresi sebagaimana ditetapkan dalam Article 21, Pasal II dari Konstitusi Korea “Semua warga negara akan menikmati kebebasan berekspresi dan pers, serta kebebasan berkumpul dan berasosiasi.” Namun, adalah sangat disayangkan bahwa Pemerintah sedang bertindak melawan organisasi perdamaian yang melakukan kebaikan bagi umat manusia.
Kami sangat mengutuk pelecehan terhadap Bpk. Hee Lee dan dengan hormat meminta Pemerintah Korea untuk memerintahkan peninjauan ulang dari lembaga-lembaga atau pejabat-pejabat Pemerintah yang bertindak melawan kebebasan-kebebasan dan praktik-praktik yang disebutkan di atas, dan untuk mengizinkan organisasi perdamaian yang telah disebutkan di atas untuk melanjutkan sebagai sebuah komunitas di Korea Selatan untuk kepentingan perdamaian, perjuangan-perjuangan melawan peperangan-peperangan dan mempromosikan Declaration of Peace and the Cessation of Wars (DPCW), yang mana kita semua perjuangkan untuk diterima dan diterapkan di seluruh dunia.
Hormat kami,
Franklin Hoet Linares
Anggota Komite Ahli Hukum Internasional HWPL
Mantan Presiden dan Honorary Life President of the World Jurist Association
Partner Senior dari Hoet Pelaez Castillo & Duque
Selain itu, juga dapat dilihat melalui Desak Korea Selatan Hentikan Penindasan terhadap Agama Minoritas untuk COVID-19 https://youtu.be/9dZ4ejz7PLA