Covid-19, Simpang Empat dan Segelas Bandrek
5 min readKOPI RAINA – MASIH berlangsung, ya masih tentunya pandemi yang belum menunjukan tanda-tanda akan berakhir. Semua kita mungkin menanti tapi semua kita juga mungkin (tak) akan terus menanti agar kembali normal dalam beraktivitas, jeritan paling sunyi ketika begitu banyak efek, begitu banyak imbas. Segala upaya dilakukan untuk mengkerdilkan covid-19, membatasi ruang penyebaran, memiskinkan kemampuannya namun telah berhari-hari, berminggu, berbulan kita lewati virus ini masih mampu menembus celah terkecil. Takut tidak, waspada perlu terhadap virus bernama covid-19 yang ‘katanya’ kini telah mengalami mutasi dengan kemampuan 10 kali lipat, lebih menular.
Sementara kita juga diburu oleh keberlangsungan gerak ekonomi, gerak sosial, gerak aktivitas keseharian. Terhentinya gerak tersebut dapat menutup mata, membunuh rasa tega demi perut, demi meredanya tangis sang anak di rumah (Jauhkan pikiran untuk melakukan tindak kriminalitas). Lantas kita harus menyalahkan siapa, untuk apa, adakah gunanya,?
(Brummmm, brummmmm, tit tiittttttt……..) besar sekali itu suara motor kata saya dalam hati, mau marah,? tak bisalah, iya wajar saja kan ini di persimpangan jalan, tepatnya simpang empat. Kalau tak mau mendengar suara berisik kendaraan ya duduk di pinggir sungai, atau di area kuburan juga sunyi (kok serem aahh, hihihihi).
Di Kota saya, Kendaraan terlihat ramai, padat tidak seperti saat baru adanya covid-19, Pukul: 21.00 wib mirip pukul: 03.00 dinihari. Kalau sekarang sudah layaknya seperti biasa, terutama Sabtu malam minggu jalanan padat merayap (mungkin udah terlalu bosan ya….manusiawi sekali, tapi tetap pakai masker ya, cuci tangan, hindari kerumunan dan tidak bersalaman) namun hingga saat ini (Selasa, 01/09/2020) saya tetap belum berani membawa anak-anak ke tempat ramai seperti arena bermain.
Sejak diumumkannya temuan kasus positif covid-19 di Indonesia terutama di Jambi, saya tidak merubah gerak, tidak merubah waktu dalam beraktivitas, hanya saja area jalan tujuan dibatasi dan hanya dalam titik itu-itu saja, dengan maksud andaikan terjadi kondisi terburuk, saya dapat dengan mudah mengingat kemana saja dan berjumpa siapa saja (semaksimal mungkin juga menghindari kerumunan terutama dalam ruangan, kecuali ukuran yang sangat besar), berusaha tidak bersalaman, ya..So pasti tetap pakai masker.
Kalau saya (ini saya ya, pemikiran saya) kekhawatiran terbesar adalah ketika menjadi penyebab orang lain tertular, keluarga, sahabat, tetangga dan sebagainya. Apalagi sampai meninggal dunia tertular covid-19 karena dari kita hmmmmmm….simpulkan sendiri.
Jika dianggap terlalu berani Oh tidak (Maaf om badan saya kecil, kurus ditiup angin bisa roboh, hihihihihi…) Jika ada yang bilang saya terlalu takut, iya takut namun tidak berlebihan (yang ditakuti itu cukup Tuhan, sang pencipta dan penguasa semesta alam), tetapi bunuh diri bukan amalan berpahala. Bukan kah begitu,?
Nahh bicara covid-19, tentunya kita harus tetap waspada jangan sampai terpapar (mematuhi protokol Kesehatan), kalau membiarkan terpapar ya bunuh diri namanya (itu menurut saya ya…maaf kan daku yang jauh dari ilmu dan masih sangat alpa).
Saya pikir, kita butuh memahami satu sama lainnya, kita butuh kompak menyelesaikan perkara covid-19, kalau cuma sibuk nyinyirin pemerintah, kalau cuma sibuk karena ini itu, blabla…bla, blabla…bla ya terus begini-begini saja. Berpikirlah bahwa bagi anda mungkin uang bukan jadi masalah, tapi begitu banyak saudara kita yang kini berada diambang kelaparan.
Eeeiittzzzz, saya bukan buzzer yang dibayar untuk membela pemerintah atau apa namanya itu,? Hmmmmmm Influencer….bukan, saya tetap berdiri tegak selaku wartawan, tetap berada dalam jalur yang sama, tak ada yang berubah. Kita perlu Bersama, nanti dulu semua tetek bengek yang Mauna una (atau meuna-una, kalau salah maklum emmmm terpenting jangan Meuka uka), kita fokus dulu pasang telinga, pasang mata, perhatikan keluarga, saudara, tetangga kita yang mungkin saat ini menjadi korban PHK, yang tak lagi bekerja, yang mulai menipis persediaan berasnya, tangisan anaknya ditengah malam yang mungkin mulai kehabisan susu.
Oh ya…lupa, terlalu asik berceloteh hahahahahaha. Malam yang sama seperti malam-malam sebelumnya kami duduk bersama (tapi tetap jaga jarak lho…) sambil bercerita seperti apa situasi terkini, seperti apa pandemi ini, kami bukan lah pengamat, bukan pula para ahli pikir, namun kami selalu membahas berbagai hal dengan cara kami, dengan candaan dan tawa cara kami (mau buntu atau gak, kami tetap tertawa, nangis tak juga menyelesaikan masalah benar kan,?).
Tapi hanya saya mungkin, tetap dengan suguhan minuman yang sama walaupun sedang duduk di warung bandrek. Tetap segelas kopi ya…terkadang ada juga sesekali segelas Teh tanpa gula. Disini saya menemukan perbincangan dengan suasana berbeda, kami berasal dari beragam suku, beragam profesi, kami saling bertukar informasi, saling meluruskan jika informasi kurang tepat dan selalu diiringi dengan tawaan hangat. Apalagi gerobak bandreknya ngacir, saat ada petugas covid-19 razia jam malam (hahahaha….saya ketawa karena miris melihat mereka yang harus berjuang untuk kelansungan hidup sembari wajib patuh demi segera berakhirnya covid-19).
Semoga pemilik warung bandrek ini dan semua pedagang kecil seluruh Indonesia terus sabar, terus semangat, kita semua berada dalam posisi yang sama-sama menarik nafas lebih dalam lagi, Merdeka!!! (ehhh, serasa lagi tujuh belasan yak…..hhihihihiii). Intinya kita tidak perlu dan apa untungnya saling menyalahkan, mau menyalahkan siapa,? Yang terpenting kita patuhi anjuran pemerintah, kita ikuti protokol Kesehatan. Dengan begitu hati lebih sejuk, jiwa lebih tenang, dan pikiran lebih terang, seterang Phi**** (teeeeeettttttttttttt, nanti dikata lagi endors lampu).
Kehangatan canda dan tawa, minimal mampu menepis sejuk malam dan rasa lelah kami menjalankan aktivitas sehari-hari. Menariknya kalau sudah bicara politik, kami tidak pernah saling mempengaruhi, kami sangat sering berseberangan, berbeda pilihan dalam calon, berdebat sampai tegang urat leher (mirip vokalis rock, wkwkwkwkwkwk). Tapi kami tetap berteman, tidak juga suka menjelekkan yang bukan jagoannya. Kami mulai dari diri, dalam kelompok kecil, sebagai contoh bahwa kami bukan pendukung berlebihan ‘bukan Fanatik buta’ (saya tidak sedang menyindir ya…).
Wahhh, kok jadi bicara politik,? Kalau sudah bicara politik kenapa ya aku kurang antusias, mungkin karena aku belum diajak ngopi atau terlalu banyak ‘Joker’. Yang pasti sudah banyak Ahlinya ahli… (ckckckckckckckckckckkkkk, maaf sedang gerah….mau mandi dulu aahhhh)
Inilah celotehan kopi Raina, bukan sajian spesial, bukan pula ulasan khusus. Salam Kopi Raina, dari Jambi untuk Indonesia, dari Jambi untuk Dunia (Salam Santun Hendry Noesae)
Berita Terkait:
Kami Menulis ‘Covid-19 Belum Berakhir’ Bukan Ucapan Terima Kasih Tapi dikatai DAJJAL