Bahren Nurdin, SS MA: Momentum Sumpah Pemuda, Media Massa dan Politik Bahasa
4 min readOleh: Bahren Nurdin (*)
MEDIA MASSA
Baru-baru ini Kantor Bahasa Provinsi Jambi mengadakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) atau yang populer disebut FGD (Focus Group Discussion). Diskusi ini mengusung isu penting yaitu “Pemartabatan Bahasa Negara di Media Massa” dengan menghadirkan beberapa pemateri yang memiliki kompetensi di bidangnya. Saya sebut penting karena sampai hari ini, persoalan penggunaan Bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) di media masih saja menjadi persoalan.
Apa persoalan yang sering muncul? Banyak, dari persoalan bentuk dan pilihan kata, ejaan, kalimat, paragraf, penggunaan serapan asing, sampai pada persoalan non kebahasaan seperti penalaran dan akurasi informasi; mana yang opini dan mana yang fakta. Silahkan ditelusuri berapa banyak pelanggaran-pelanggaran ini terdapat di berbagai media massa baik media daring (dalam jaringan alias online) maupun media cetak.
Di sisi lain, media massa menjadi konsumsi publik yang dibaca setiap saat. Itu artinya, media massa menjadi ‘leading sector’ dalam pembentukan berbahasa masyarakat luas. Namanya juga media massa. Media yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi dalam keseharian mereka. Dapat dipastikan pula, banyak sedikitnya, bahasa yang mereka baca akan berpengaruh dengan penggunaan bahasa mereka dalam keseharian. Jika setiap hari mereka membaca atau menemukan kata yang salah di media yang dibaca, maka kesalahan itulah yang mereka anggap ‘benar’.
Lihat saja, kata ‘apotek’ atau ‘apotik’? ‘Terima kasih’ atau ‘terimakasih’? Mana penulisan yang benar? Apakah masyarakat akan mencari kebenaranya di Kamus Besar Bahasa Indonesia? Saya tidak yakin. Tapi saya percaya mereka akan membenarkan apa yang mereka baca di media massa setiap hari.
Maka dari itu, dalam momentum hari Sumpah Pemuda ini pula, sudah saatnya kita sama-sama saling mengingatkan khususnya para penggiat media massa, dari pengusaha sampai pada jurnalis dan penulis berita, untuk berhati-hati dalam menggunakan bahasa. Sebuah kesadaran besar harus dibangun bahwa mereka menjadi salah satu instrumen ‘guru bahasa’ bagi begitu banyak orang. Ada tanggung jawab yang besar untuk mencerdaskan anak-anak bangsa ini khususnya dari sisi penggunaan bahasa.
POLITIK BAHASA
Salah satu isu penting lain yang mencuat pada diskusi ini adalah mengenai politik bahasa. Ada semacam kesepakatan bahwa akhir-akhir ini, kita sudah abai terhadap penggunaan bahasa Indonesia pada hal-hal yang diwajibkan dan diatur oleh undang-undang.
Jelas sekali, Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tetang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, pada pasal 36 ayat 3 mengatakan “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia”.
Perhatikan kata ‘wajib’ pada klausul di atas dan perhatikan sekeliling kita. Sudahkah amanat undang-undang ini dipenuhi? Bahkan, yang lebih memprihatinkan, gedung-gedung yang dibangun oleh duit negara (APBD/APBN) dinamai dengan menggunakan bahasa asing tanpa sedikit pun ada bahasa Indonesia. Sebenarnya bukan tidak boleh ada bahasa asingnya, tapi haruslah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa utamanya.
Tidak kita pungkiri bahwa saat ini kita memang berada pada peradaban global. Dunia tanpa batas (borderless). Keberadaan bahasa asing atau bahasa internasional menjadi sangat penting untuk memudahkan komunikasi bagi pendatang asing. Maka yang paling tepat adalah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dan menempatkan bahasa hasing di bagian lain sebagai tambahan informasi.
Politik bahasa semacam ini harus serius diperhatikan. Jika tidak, suatu masa nanti kita tidak lagi menemukan Bahasa Indonesia di negeri ini. Bahasa kita akan kian tergerus. Nama jalan, nama gedung, nama hotel, nama perumahan, nama makanan, dan sebagainya akan berubah menjadi asing. Kita akan merasa asing di ‘rumah’ sendiri.
Akhirnya, tahun 1928 para pemuda Indonesia di negari ini sudah mengingatkan hal ini. Banggalah dengan bahasa kita sendiri karena ia terbukti telah mampu menjadi pemersatu bangsa ini. Maka dari itu, media massa memiliki peran penting dalam mendidik penggunaan bahasa masyarakat luas. Secara politis, bagi pemangku kebijakan diminta pula agar mamatuhi amat undang-undang yang ada untuk memartabatkan bahasa Indonsia. Selamat Hari Sumpah Pemuda!#
(*) Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur PUSAKADEMIA