Rumit, Remeh dan Ramahnya Penanggulangan Pandemi Covid-19 di Indonesia
6 min readOleh: Prof. Adrianus Chathib, M.Hum
(Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN STS Jambi)
JAMBIAILY JURNAL-Diawali dari pernyataan dan pertanyaan sederhana: “Covid 19 sudah mewabah lebih dari 1 tahun”, Artinya, ibarat kelahiran seorang anak manusia, paling tidak ia telah berulang tahun pertama. Kalau ia memang setara dengan flu biasa, flu apa yg tidak bisa sembuh dalam 1 tahun?
Biasanya, flu sembuh tidak lebih dari 1 minggu alias 7 hari. Kenapa sudah melewati angka 1 tahun, flu ini masih pandemik. Pertanyaan ini mudah, tapi jawabannya tak pernah memuaskan. Misalnya, Tuhan belum membasminya. Jawaban yang lain, diagnosanya tidak tepat, maka terapinya juga tidak mengena. Tetangga sebelah mengatakan bahwa pasien tidak ta’at aturan. Manakah yang sesungguhnya jawaban yang betul dan masuk akal? Semua yang dikemukakan memasung dan menyulitkan masyarakat untuk bersikap. Yang jelas kalau covid 19 adalah flu, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada flu yg tak sembuh dalam usia 1 tahun; “flu harimau” sekalipun.
Sehubungan dengan itu, ada 3 pertanyaan yang perlu diajukan dan dicari jawaban ilmiah rasionanal yang meyakinkan tentang covid 19 yakni: 1) apa nama virus itu? ; 2) apa jenis (what kind of the virus) corona 19 itu ?; 3) kenapa covid 19 sulit diobat atau diatasi? dan bagaimana cara memotong pandeminya?
Diteropong dengan kacamata bahasa, korona kata Latinnya Corona Virus
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan sebutan Korona yang disingkat dengan Covid 19. Karena munculnya di akhir tahun 2019 yang disepakati bahwa corona berasal dan menyebar dari Cina, maka nama popularnya adalah Covid 19 (corona virus dease ninety nineteen).
Secara harfiah/ etimologis corona virus berarti mahkota berduri atau karangan bunga yang mengacu pada tampilan partikel virus / veron (Google). Sementara, bila ditelusuri dari segi terminologis, maka corona dikatakan virus yang menyerang manusia melalui mulut, tenggorokan dan melalui pernafasan yang bila anti bodi seseorang lemah, tidak tertutup kemungkinan berakibat fatal yakni kematian manusia yang terinveksi olehnya. Mahkota berduri itu berdiameter yang berbentuk lingkaran kembang yang berkembang pada tempat yang dihinggapinya dan berkembang di saluran pernafasan. Bila ia berkembang biak dan menyumbat saluran pernafasan, maka berakibat kematian kalau tidak teratasi secara dini.
Cara penyebarannya bisa terjadi dari seseorang ke orang lain atau dari kelompok orang ke orang lain melalui pernafasan atau percikan air liur. Jadi, boleh jadi seseorang itu menularkan virusnya atau sebaliknya ditulari oleh orang lain.
Adapun jenis virus Corona termasuk virus yang tidak ganas (Google), kalau cepat tertangani. Akan tetapi ia menjadi ganas, bila terlambat melalukan diagnosanya, sehingga ia terlanjur berkembamg biak di saluran pernafasan dan menyumbatnya. Apa yang tersebut terakhirlah yang membawa seseorang pada ‘putusnya hubunganya dengan dunia’ alias wafat. Walaupun dikatakan bahwa virus ini tidak terlalu ganas, akan tetapi ternyata menurut informasi data statistik sudah 50.545.0121 populasi dunia ini terpapar dan 1.259.720 manusia (Indosiar TV: 9 Nop.2020) tak berdosa ‘menginap’ di dalam tanah untuk selama-lamanya alias menemui ajalnya secara global. Di lain pihak, untuk kasus Indonesia telah ribuan nyawa melayang, lebih kurang 437.000 pindah rumah ke alam baqa, ( IndoSiar TV: 9 /11/’20).
Memang di atas data statistik angka kematian di Indonesia, dari 14.614.000 yang terpapar dengan meninggal 437.000-an, belumlah melebihi 3% dari populasi penduduki.Akan tetap,i bila dilihat dari nilai nyawa – sekali lagi nyawa –, maka alangkah murah untuk menyebut tidak gratis nyawa manusia. Sementara, ditengok dari maqashid al-syari’ah sebagai tujuan utama hidup manusia adalah hifdz al-nafsi (mempertahankan nyawa), maka nilai boleh dibilang ‘gratis’.
Sekecil apapun prosentase kematian manusia, tetap saja nyawa yang hilang atau melayang yang tidak bisa digantisepadan dengan materi . Sementara bila ditelusuri dari segi terminologis value humanity, maka nyawa itu unvalued. Artinya, satu nyawa yang melayang tidak setara dengan sebungkal emas; demikian juga halnya 1 nyawa tidak dapat dibandinģkan dengan 1 buah gunung.
Begitulah tinggi dan mulia serta pentingnya nyawa seseorang. Dalam hal ini, jelas sekali istimewanya posisi nyawa dalam Islam. Cerminan ini digambarkan oleh Allah dalam al-Qur ‘an sbb.:
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون ,( 51:56) maksudnya bahwa ibadah dibeban kepada manusia setelah jiwa dan raganya tercipta; tidak sebaliknya. Maka membunuh manusia menjadi haram hukumnya.ولا تقتلوا اانفسكم ان الله بكم رحيما..القران: ٤:٢٩)
, juga Allah melarang pembunuhan dàlam bentuk apapun: (QS, 6:151; 17:33) لا تقتلوا النفس التي حرم الله الا بالحق
Jadi, dapat dipahami bahwa hukum Islam tidak membenarkan menghilangkan nyawa seseorang. Artinya, separah apapun penyakitnya, upaya medis adalah suatu keharusan. Makanya eutanasia dalam Islam merupakan larangan keras, sebagai hukum asalnya.
Dari aspek teologis, bahwa fatalisme dalam arti menyerah total kepada takdir atau nasib tanpa reserve ke Allah adalah teologi yang dimurkai Allah dan sunnah RasulNya. Lihat ayat dan hadits serta kritik keras Nabi terhadap kaum fatalis.( baca: Hadits yang mengritik kaum fatalis; sebelum menyerahkan urusanya kepada Allah tanpa usaha maksimal, misalnya: “tambatkan ontamu dulu, sebelum menyerahkan nya pada Allah; “ jangan kamu masuk kampung yang sedang mewabah penyakit” ). Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tidak berupaya mengatasi pandemi covid 19 adalah keyakinan yang tercela.
Dari kacamata medis, dalam kaitannya dengan pandemi Covid 19, undang2 negara berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan dinyatakan bahwa memelihara kesehatan adalah suatu kewajiban negara sebagai tanggungjawab institusi dan kewajiban masing-masing pribadi. Karena rakyat dan masyarakat yang sehatlah yang ‘dapat melaksanakan tugas individu dan tugas negara secara kolektif. Di sisi lain, bahwa hidup berdampingan satu sama lain secara sosiologis-antropologis adalah keniscayaan.
Justeru, Plato mengibaratkan manusia sebagai zoon politicon (makhluk bermasyarakat). Tentulah yang dimaksud adalah antropo dan socio yang sehat. Makanya, agar penularan virus covid tidak menyebar dan menular, maka jaga jarak (social and phisical distance) merupakan keharusan. Di samping itu, harus pula bersih. Untuk bersih, dalam suasana covid 19 ini mengupayakan cuci tangan selalu dengan air yang mengalir agar virusnya hanyut.Itu artinya bahwa bersih adalah mutlak, karena bersih bagaikan pisau bermata dua; satu mata menunjukan keberimanan seseorang dan satu mata lagi menunjukkan kesehatan. Beriman dan sehat bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Itulah yang menyebabkan Nabi menegaskan bahwa النظافة من الايمان l
yang dipertegas oleh Firman Allah:( QS, 5:6 ) اذا قمتم الي الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الي المرافق…,
Sekaitan dengan sehat dan bersih sebagai salah satu ciri orang muslim yang mukmin, maka handsanitizer sebagai health media yang dapat mengantarkan seseorang ke alam sehat di bawah panji iman dalam satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan ( three in one/ التوحيدة الثلاثة), hanya dapat dibedakan. Tidak berhenti dari sekedar itu, jika ditautkan dengan aturan Pemerintah, maka 4M akan memepercepat pemutusan virus corona lebih akurat. 4 M adalah 1) memakai maskeryang anti virus; 2) menjaga jarak secara pisik dan sosial antara sesama;3) menyuci tangan sesreing mungkin di air yang mengalir dengan sabun; 4) mejajga kerumunan orangg banyak pada satu tempat) atau lazim disebut the four’s in order./الواجبات الاربعة.
Dapat dikatakan bahwa baik the three in one plus the four’s in order, jika dilakukan dengan penuh kesadaran, maka berarti masyarakat telah memenuhi himbauan moral dari Ulama, mematuhi aturan Pemerintah dengan mempraktikan new normal life secara membudaya. Artinya satu bahasa /teori menerpkannya ke satu aksi menjadi kenyataan sesungguhnya, maka diketika ini covid 19 akan berlalu tanpa bertambahnya korban baru. Bila hal ini diaplikasikan dengan hemat, cermat dan smart, maka bertautlah instruksi Pemerintah dan ajakan MUI dan da’i baik dari kalangan Muslim, Kristen, Hindu dan Budha serta diikuti oleh masyarakat secara serentak dalam satu ayunan dan gerak langkah, maka pandemi covid 19 akan gagal total mewabah.
Kesimpulannya, bahwa untuk memotong pandemi covid 19 diperlukan kesatuan pemahaman dan aksi ulama, sainstis dan masyarakat dalam kerangka non dichotomis teoretis dan implementatif yang melahirkan satu pemahaman teori, satu aksi dan saling percaya antara ulama, ‘umara’ dan rakyat biasa)ازدواج المعارف يين العلماء الطبية والدينية والعمراء في العلوم النظرية المتعلقة بالكرونا وتنفيذها بالقوانين المقررة في المجتمع). Ketiga komponen itu ( ulama, saintis dan pemerintah) jangan sampai tabrakan kepentingan. Allahu a’lam bi al-shawab. Semoga bermanfa’at, amin.(*)