23 Oktober 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Kartini Millenial dan Tantangannya (DULU, KINI DAN ESOK)

4 min read

Oleh: Adrians Chaththab

 

I

Apa yang membuat orang mengenal sesorang dan mencatat hari kelahirannya kalau bukan  karena ada “sesuatu” pada dirinya. Sesuatu itu lazim disebut jasa yang ditorehkannya. Berkenaan dengan ini ada pepatah yang tak lapuk karena hujan dan tsk lekamg karena panas : “ harimau mati mrninggalkan belang; gajah mati menimggalkan belalai; manusia mati meninggalkan jasa”. Tak kalah hebat ungkapan  pepatah Arab: “خير النااس من انفعهم للنا س/  dan “ خالف تعرف  . “sebaik-baik manusia adalah orang yang memberi manfa’at kepada  orang lain”; “ buatlah sesuatu yang aneh, kamu akan dikenal”.Sehubungan dengan ini, John Kennedy pernah pula berucap: “ jangan engkau tanya, apa yang diberikan negara untukmu; akan tetapi tanyalah, apa yang telah kamu berikan kepada negara”.

Pepatah tersebut di atas mengisyaratkan bahwa kita ada karena ada yang kita sumbangkan ke negara atau masyarakat dalam bentuk pemikiran konstruktif yang menunjukkan seseorang itu “ada” sebagaimana kata Plato Filosof Yunani ( cogito ergo sum), maka ketika seseorang itu tidak bisa memberikan  sumbangan pemikirannya berarti ketika ia tidak ada; atau tindak tanduk yang menyenangkan atau karya nyata yang tak  terlupakan. Kalau dapat  ketiganya sekaligus, pemikiran, tidak tanduk dan karya monumental. Tidak ada pemilahan atau diskriminasi, apakah ia laki-laki atau perempuan. Oleh sebab itu  berpikir cerdas dan bekerja keras mutlak diperlukan, bila ingin membuat perubahan  dan kemajuan Dalam bahasa agama sering diungkapkan adanya sinergitas ilmu dan amal dalam diri seseorang, tak terkecuali bahwa hal ini dihadapkan ke perempuan ( Kartini Millenial).

 

II

Pada bulan ini, tepatnya 21 April bangsa Indonesia ( baca: ketika itu Nusantara) adalah tanggal sakti yang tak terlupakan oleh bangsa Indonesia yang sekarang hidup “mardeka”; tidak seperti zaman cengkraman penjajah, telah lahir sosok perempuan pendobrak tradisi yang bertolak belakang dengan hak asasi manusia yakni “tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa mardeka di dunia sebagai tuntutan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikkemanusiaan dan prikeadilan. Selanjutnya dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah wadah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa diperlukan mengisi kemerdekaan itu dalam rangka mengwujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indinesia ( baca: tanpa kecuali dan bukan untuk segelintir orang). Artinya mardeka dulu, baru diisi dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dan dari kecerdasan mengolah negara, maka kekayaan alam yang diolah human skill diharapkan keadilan dan kemakmuran yang merata berdasarkan keadilan.  Jadi, urut- urutnya sebagai berikut: mardeka, cerdas dan makmur. Untuk itu tepat sekali ungkapan  bahwa setiap generasi adalah wakil zamannya. Justeru, tantangan Kartini Millenial berbeda dengan tantangan Kartini Pendobrak.

Kartini Pendobrak bersama perempuan semasa dengannya, telah menorehkan pemikiran, tindak-tanduk dan karya nyata dalam  memerdekakan Indonesia sesuai dengan harkat dan derajat keperempuannya

 

III

Kartini pendobrak telah tiada setelah meninggalkan jasa-jasanya yang telah mengukir sejarah bangsa Indonesia. Sekarang, dibutuhkan Kartini pencerdas bangsa dan Kartini pemakmur anak bangsa. Beban ini,  agaknya terletak pada pundak “Kartini Millenial”.

Paling tidak dari 3 beban berat, tapi agung bagi Kartini Millenial ada dua yang tersisa  yakni: 1) mencerdaskan kehidupan bangsa, paling di komunitas perempuan; 2) memakmurkan kehidupan bangsa yang berkeadilan. Dua tugas berat ini meminta perempuan agar menampilkan pemikirannya. Berpikir cerdas , tentu diawali dari pendidikan yang mumpuni bagi perempuan. Kecuali hal-hal yang bersifat fisik dan lainnya  yang dapat digumuli para perempuan, maka hal-hal  yang berdomain  sosial, politik  dan teknologi adalah mutlak dapat dilakukan perempuan.  Hanya saja keterlibatan perempuan dalam domain yang sama dapat dilakukan oleh laki- laki, dalam kenyataannya masih didominasi oleh pihak laki-laki. Lihat saja di domain politik, gubernur, wali kota, bupati, camat masih didominasi oleh laki-laki. Namun demikian, di reformasi ini kehadiran perempuan telah jauh lebih maju, walaupun belum fifty-fifty. Di anggota dewan, baik DPR sampai dengan DPRD, kita lihat 30% keterwakilan perempuan belum terpenuhi.  Penyebabnya tentu tidak tunggal. Kesejajaran laki-laki dan perempuan untuk bermitra diharapkan. Tapi, kenyataannya belum berimbang. Tantangan awal bagi perempuan   untuk bermitra harus dapat bersaing dan kompetisi secara positif agar laki-laki dan perempuan kompetitif di ruang publik, baik di bidang politik, sosial dan teknologik. Sejauhmana hal itu terpenuhi, maka sejauh itu pula persaingan positif untuk menduduki posisi strategis dapat dihuni “Kartini Millenial”. Inilah agaknya yang perlu dipersiapkan kaum millenial perempuan. Tantangan berikutnya adalah quality assurance.  Artinya jaminan mutu. Tidak disangkal bahwa dewasa ini sudah banyak perempuan berkiprah di wilayah politik,  akan tetapi ada diantara  mereka yang duduk itu belum the right woman on the right place.

.

IV

Dalam rangka mengisi kemerdekaan yang sudah diraih oleh “Kartini Tua”, maka mencerdaskan kehidupan bangsa  dalam kerangka mengwujudkan kemakmuran rakyat adalah adanya perimbangan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan baik dalam pendidikan, terutama pendidikan tinggi, di ruang politik, di ruang  sosial dan di ruang teknologi dihuni oleh “Kaŕtini Millenial”. Jadi tantangan Kartini Tua berbeda tantangan yang dihadapi Kartini Millenial. Itulah yang dikatakan bahwa generasi itu  adalah anak zamannya. Allahu a’lam.

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

46 + = 51