Kupas Ringkas: Ipoh
4 min readOleh: Oky Akbar
JAMBIDAILY JURNAL – Kasus prostitusi online artis ibu kota menjadi santapan pada minggu-minggu terakhir ini. Ada banyak media massa baik cetak maupun elektronik ikut meramaikan pemberitaan. Sebagian besar memberitakan proses penangkapannya. Sebagian lagi menuliskan rincian tarif dan aplikasi yang digunakan bahkan membuat rangkuman artis-artis yang terlibat, tarif jasa yang ditawarkan, lengkap dengan fotonya. Misal, Tarif 4 Artis dalam Pusaran Prostitusi Online, Nomor 1 Seharga Honda City Bekas.
Jambi justru lebih heboh. Tidak kurang dari 30 anak berusia 13—15 tahun menjadi korban perdagangan. Semuanya perempuan. Mereka dijual/dikirim ke Jakarta.
Fenomena itulah –perempuan sebagai ‘korban’ laki-laki- yang kemudian saya asumsikan sebagai latar belakang Teater Tonggak mementaskan monolog Ipoh. Ipoh adalah janda beranak dua. Untuk menghidupi kedua anaknya -Supeno dan Sipiah- setiap malam Ipoh berdagang kopi, kue, dan roti. Ipoh merupakan istri Suripan, seorang pegawai negeri sipil. Suaminya mati karena tetanus. Akan tetapi, Ipoh tidak berhak mendapatkan pensiuanan suaminya karena ia bukan istri pertama.
Ipoh ditinggal mati oleh orang tuanya yang keracunan ampas kacang. Sejak itu, Ipoh diasuh oleh pamannya. Namun nahas, Ipoh diperkosa oleh laki-laki yang sangat disayanginya, yang sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri. Pamannya kemudian mati tertabarak truk saat menyebrang jalan.
Monolog Ipoh
Patriarki yang berpijak dari konsep laki-laki sebagai makhluk suferior terhadap perempuan telah lama didengungkan. Perempuan selalu dipandang sebagai makhluk inferior. Perempuan seringkali hanya ditempatkan pada posisi ‘dapur, kasur, dan sumur’. Perempuan tidak berkesempatan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Ia terjebak pada kultural yang telah melekat selama ini.
Lewat sastra, perempuan selalu menjadi tema yang menarik. Ada dua sudut pandang yang biasa digunakan. Pertama, perempuan sebagai objek. Artinya, perempuan adalah makhluk yang tertindas. Kedua, perempuan sebagai subjek. Artinya, perempuan ingin membuktikan bahwa ia bisa setara bahkan melebihi laki-laki, tetapi bukan suatu perlawanan gender. Sudut pandang yang kedua misalnya, terdapat pada naskah monolog Marsinah Menggugat.
Monolog Ipoh –secara naskah- lebih saya tempatkan pada sudut pandang yang pertama. Sejak awal hingga selesai, kisah berkutat pada pengalaman pribadi tokoh Ipoh. Pengalaman-pengalaman itu ia ceritakan/bagikan kepada pembaca yang tentu saja bermuatan pesan. Bukan sekadar curhat. Dengan harapan, apa yang terjadi pada Ipoh tidak lagi dialami oleh orang lain, terutama perempuan. Simak kutipan dialog berikut “Cerita ini, semoga bisa dijadikan cerminan, terutama gadis-gadis, agar tidak mudah dirayu, dibilang geulis. Tetap waspada pada laki-laki berumur tua”.
Pengalihwahaan dari teks menjadi pertunjukan mesti bersandar pada hasil analisis teks. Sebagaimana yang tertulis pada paragaraf sebelumnya, Ipoh berada pada posisi sebagai perempuan yang tertindas. Oleh karenanya, saya setuju, monolog Ipoh yang disutradarai Hendri Nursal dengan pemeran Salira Ayatusyifa, Sabtu, 8 Januari 2022, didominasi oleh satire. Ia mengejek, menyindir, dan menertawakan dirinya sendiri dengan maksud menjadi cermin penderitaan apabila hal itu terulang. Ia menertawakan kemiskinannya karena tak menerima uang pensiunan suami sebab ia adalah istri kedua. Ia menertawakan kemiskinan orang tuanya, yang kemudian mati karena keracunan ampas kacang. Ia menertawakan kematian pamannya yang tertabrak truk. Ia juga menertawakan kematian suaminya karena tetanus. Penertawaan itu adalah pembalut kesedihan.
Salira cukup baik memainkan naskah Ipoh walaupun beberapa karakter agak terlepas. Satirenya kurang satir. Ada kepedihan yang mestinya pedih. Ada pedih yang mestinya terbungkus tertawa menyeringai. Bagaimana merepresentasikan kematian yang berulang –orang tua, paman, dan suami-mestinya menjadi puncak kesedihan. Kata kuncinya ada pada dialog “Meninggal lagi”.
Pada dasarnya, monolog adalah kata hati yang diformulasikan dalam bentuk cakapan. Kata hati ini di dalam drama ada tiga macam; monolog, soliloque, dan Aside. (baca: Nur Sahid, 86:2000). Ketiga bentuk cakapan tersebut menjadi fokus kerja sutradara. Ini berkaitan dengan setting, blocking, pencahayaan, dan ilustrasi musik yang pada muaranya akan memunculkan simbolisasi yang kuat.
Misalnya, adegan Ipoh yang diperkosa oleh pamannya. Sutradara memanfaatkan kiri panggung bagian depan untuk memperkuat peristiwa. Lalu aktor berlari ke belakang sebagai simbol kepedihan yang tak terungkap. Begitu juga saat menyampaikan pesan. Sutradara memanfaatkan kanan panggung bagian depan. Menurut hemat saya, kedua adegan ini sebaiknya tidak berada pada posisi yang linear. Adegan pemerkosaan bisa diletakkan agak ke belakang guna menghindari vulgaritas. Meskipun demikian, perbedaan sudut pandang antara sutradara dengan penonton adalah keindahan pertunjukan itu sendiri. Salut!