Jangan Penjarakan Korban Kekerasan Seksual, YSA Berjuang Menghadapi Penghakiman Publik
4 min readJAMBIDAILY HUKUM – Awal Februari lalu, beredar luas pemberitaan yang menuding Yunita Sari Anggraini (YSA) melakukan kekerasan seksual terhadap 17 anak-anak. selanjutnya, berturut-turut media menggambarkan YSA sebagai sosok yang memiliki kelainan seksual dengan melakukan pencabulan terhadap 8 anak laki-laki dan memaksa 7 anak perempuan membesarkan Payudara dengan mengunakan Pompa ASI.
Padahal YSA merupakan korban kekerasan seksual yang terlanjur dihakimi oleh publik hingga banyak pihak enggan melakukan pendampingan dan penggalian fakta dari pihak YSA
Tanggal 3 Februari 2023, YSA melaporkan dirinya sebagai korban perkosaan ke Kepolisian Resor Kota Jambi. Tak lama berselang, YSA diadukan oleh sejumlah orang tua dari anak-anak di Polda Jambi mereka melaporkan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan YSA terhadap anak-anaknya.
Pelaporan anak-anak berproses cepat. Tanggal 17 Maret hasil dari gelar perkara dan alat-alat bukti atas Laporan dari YSA, dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) karena hasil penyidikan Polresta mengatakan tidak ditemukan sperma dalam vagina YSA dan cakaran disekujur tubuh YSA dianggap adalah hasil cakaran YSA sendiri. Padahal menurut pengakuan YSA ia tidak pernah memanjangkan kukunya.
Polisi Hentikan Kasus Mama Muda di Jambi, Terungkap Ini Alasannya https://news.okezone.com/read/2023/03/15/340/2781496/polisi-hentikan-kasus-mama-muda-di-jambi-terungkap-ini-alasannya
Selain itu apapun bentuk cairan, seharusnya tidak terjadi penyangkalan atas kasus Kekerasan Seksual yang dialaminya. Selain itu, dengan ditemukan atau tidak ditemukannya sperma, bukan berarti, tidak ada perkosaan.
Sejak itu, YSA mendekam dalam tahanan Polda dan terpaksa berpisah dengan anaknya yang masih menyusui.
Dalam kondisi yang terpuruk YSA menjalani sidang sejak Juni dengan menghadirkan 17 saksi dan orang tua yaitu 8 anak dan orang tua dengan tuduhan pencabulan dan 7 orang anak perempuan yang menuduh YSA menyuruh membesarkan payudara dengan pompa ASI dan mengajak anak perempuan mengintipnya ketika berhubungan seksual.
Sebagai upaya untuk memberikan pertimbangan terhadap majelis hakim dalam mutus perkara. Pada sidang Senin 28 Agustus 2023, 2 orang ahli telah dihadirkan diantaranya adalah Nathanael Elnadus J Sumampouw M.PSI, PH.D Ahli Psikologi Forensik Universitas Indonesia yang memberi petunjuk bagaimana melakukan pengalian dan evaluasi keterangan berkualitas pada anak dan Saksi Ahli gender dan Human Rights Yuni Chuzaifah Purna Komnas Perempuan yang memberikan keterangan YSA sebagai perempuan yang mengalami kekerasan berlapis dan diskriminatif yang dialami YSA selama proses hukum.
Ahli ketiga yang dihadirkan pada hari senin (4/09/2023) Dr. Dra. Budi Wahyuni MM. yang memberikan keterangan “seksualitas lahir dari konstruksi gender, Perempuan dikonstruksikan memiliki payudara besar dan pinggul besar dianggap standar perempuan cantik itu yang memicu anak perempuan membesarkan dengan pompa ASI dan juga minimnya pengetahuan seksualitas dan kesehatan reproduksi.”
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan seksual, definisi kekerasan seksual itu adalah yang merendahkan martabat, dan harkat menyuruh anak-anak atau tidak dalam konteks mengunakan pompa ASI itu tidak termasuk kekerasan seksual sehingga tuduhan tersebut tidak beralasan.
Zubaidah selaku direktur Beranda Perempuan mengatakan “Ahli seksualitas sudah menjelaskan bahwa tidak ada istilah hiperseksual dalam dunia medis. Sehingga kelaziman seseorang dalam berapa kali melakukan hubungan seksual tidak bisa menjadi ukuran seseorang memiliki kelainan seksual. Itu lebih disebabkan kelaziman dari konstruksi gender sehingga Stigma YSA sebagai sosok yang memiliki kelainan seksual itu hanya asumsi yang dibangun publik.
“Pelaku kekerasan seksual itu memiliki kuasa untuk melakukan kekerasan terhadap korban, sehingga untuk memiliki power anak-anak laki-laki dapat melakukannya secara berkelompok. Hal tersebut selaras dengan pengalaman ahli menunjukan bahwa Kekerasan seksual cenderung dilakukan secara kolektif, karena dengan demikian ada rasa keberanian yang muncul lebih dibandingkan kalau dilakukan sendirian.” Ungkap Ranti, Kuasa Hukum YSA
Ranti juga menambahkan bahwa Hasil pemeriksaan kejiwaan YSA dari rumah sakit jiwa menggambarkan bahwa Terdakwa/YSA adalah perempuan yang cerdas, sehingga tidak mungkin YSA menjadi korban dalam kasus ini, juga ditekankan bahwa itu tidak berkorelasi.
“Keterangan ahli menyebutkan Perempuan cerdas kalau dalam situasi takut atau diserang secara fisik bisa bungkam tidak bersuara keras, menjerit kalau pelaku emosi takut ketahuan bisa berakhir dengan kekerasan fisik misal dipukul atau dengan senjata tajam,” Pungkasnya (*/Rilis/Edit: HN)