Cerpen Yanto bule ‘Radio Lotre’
6 min readSuara radio ban, berkontak kayu dan memiliki warna agak kecoklatan terdengar nyaring, suara penyiar radio tengah membacakan iklan di radio, sementara itu kang slamet, kang juwani, kang Karno, mang tarkib duduk meriung di pos ronda simpang tiga di depan rumahku.
Harap harap cemas mendengarkan kapan di umumkan, nomor sumbangan dermawan sosial berhadiah (SDSB) yang di beli tadi pagi di rumah kang Paimin agen resmi lotre SDSB di kampungku.
Ya pengumuman nomor lotre di kampungku melalui suara radio RRI, sangat lazim apalagi jika bisa tembus 4 angka sudah barang tentu bisa dapat banyak, dan warga boleh saja membeli tiga angka dan dua nama dengan uang yang bervariasi sesuai dengan kemampuan keuangan masing masing.
Tiba tiba suara kang Karno, terdengar lebih kencang sambil berteriak nomor lotre dua angka yang di beli dengan uang 500 rupiah tembus, sambil berjingkrak kang Karno langsung turun dari pos berjoget riang, sementara kang juwani, kang slamet dan mang tarkib terlihat wajahnya sangat lesu, tiga lembar nomor lotre miliknya yang di beli tak satupun keluar.
Menurut kang Karno, dua nomor yang tembus bisa empat kali lipat dari modal yang di belinya, tentu saja uang hasil lotre bisa di ambil di rumah kang Paimin besok pagi setelah agen besar lotre SDSB datang dari kabupaten.
” Nang, besok kamu bawa kertas lotre ini kerumah kang Paimin, sebab uang lotre biasanya di antar kerumah agen besok pagi setelah nomor lotre keluar”
” Iya pak, besok sebelum masuk sekolah saya kerumah kang Paimin”
Ya namaku Lanang, anak sulung dari dua adikku , sementara bapakku hanyalah buruh serabutan di kampung, bapak akm bekerja jika ada tetangga yang membutuhkan tenaga bapakku untuk membersihkan kebun atau ladang tetangga, namun jika lagi tidak ada panggilan kerja, bapakku akan menggarap sawah dan lahan pekarangan pemberian dari pemerintah saat masuk ikut program transmigrasi.
Bagiku kampungku tinggal adalah salah satu kampung dengan jumlah warga yang besar, sebab dalam satu kampung ada enam dusun dan di bagi menjadi puluhan RT, meskipun kehidupan modern belumlah tersentuh sampai ke kampungku namun rasa gotong royong dan guyub sangat kental di kampungku.
Meskipun jalan kampung,yang membelah dusun hingga ke ibukota kabupaten masih berupa tanah merah, namun kehidupan ekonomi warganya sudahlah cukup memadai, dalam soal pembangunan kampungku belum merata, listrik saja Belum masuk jika akan ada acara kenduri atau pesta maka tetangga akan dengan suka rela meminjamkan lampu petromax , dan semua meja kursi akan di pinjamkan sehingga pas acara sudah barang tentu meja kursi menjadi tidak sama, tetapi itulah bentuk kebersamaan warga kampungku.
Hari baru saja memasuki senja, bapak yang pulang dari ladang usai membersihkan tanaman kacang tanah, memintaku untuk mengisi minyak tanah ke dalam tangki lampu petromax, nanti malam adalah malam Jumat biasanya kami bersama bapak dan ibu serta adiku selalu membaca Yasin untuk di kirimkan kepada almarhum kakek nenekku.
Bergegas aku, segera menuangkan minyak tanah dari botol bekas sirup merek person, yang di beli dari warung mbak Narmi, pelan pelan aku tuangkan minyak dari botol dengan bantuan cerorok sejenis plastik khusu untuk memasukan minyak kedalam tangki lampu petromax, kaca petromax tak luput aku bersihkan,dan segera aku menghidupkan lampu petromax dengan cairan spirtus.
Lampu petromax yang sudah mulai menyala aku pompa penuh, agar terangnya lampu bisa bertahan lama, lalu aku gantungkan di tengah halaman rumah, agar sinar lampunya bisa menerangi seluruh ruang tengah rumah berdinding papan dan lantai tanah jatah transmigrasi.
Lantunan Yasin terdengar serempak dari tengah ruangan rumahku, kami sekeluarga duduk berjejer bersama bapak dan ibuku dan dua adikku, setelah membaca Yasin kami beranjak ke meja kayu di ruang tengah, ibuku sudah menyiapkan air teh hangat dan pisang goreng, kemi menyantap bersama.
Rutinitas malam di kampungku di lalui dengan sangat riang, penerangan lampu petromax hanya dua kali kami nikmati selama seminggu, ya setiap malam Jumat dan malam Minggu kawan kawan sebayaku, akan selalu datang kerumah untuk bermain petak umpet dan nag naga’an.
Tiba tiba suara bapak memanggilku, aku langsung berlari meninggalkan kawan kawan mainku dan segera menghampiri bapak.
” Nang, besok pagi kamu sekolah jangan terlalu malam kamu bermain, tadi sudah belajar belum”
” Sudah pak, sore tadi habis mengaji di rumah ustad Hanan, saya langsung mengerjakan PR , baru main sama kawan kawan”
Kokok ayam di kandang membangunkan ku, bergegas aku keluar kamar, dua adiku masih lelap dalam tidurnya , sementara itu lampu teplok minyak tanah meliuk liuk tertiup angin dari sela sela papan kayu dinding rumah, begitu keluar kamar aroma masakan ibu sudah tercium kuat, langsung aku ke dapur melihat ibuku yang tengah memasak pucuk daun ubi yang di petik sore tadi di belakang rumah.
” Cucilah dulu mukamu, setelah itu sholat subuh bareng bapakmu”
” Iya Bu, bapak kelihatan sudah ada di ruang tamu menunggu waktu sholat”
Selesai sholat aku , langsung mandi di tempat mandi di belakang rumah, suara ibuku memanggilku untuk membangunkan dua adiku agar segera bangun dan berangkat ke sekolah, sambil bercermin dan menyisir rambut, aku tak lupa membersihkan lubang hidung yang sering hitam akibat asap dari lampu teplok di kamar, jika tidak di bersihkan sudah pasti lubang hidung akan hitam.
Itulah hidup di tengah tengah kesederhanaan di kampung transmigrasi, tetapi warganya sangat ramah dan memiliki jiwa gotong royong yang tinggi.
Di kelas ,pak guru Heri memanggilku untuk di ajak keruangan kantor guru di sekolahku, berdebar jantungku cukup keras sebab tidak pernah sekalipun aku melakukan pelanggaran di sekolah.
” Nak, pagi ini kamu pulang di antar kerumah ya”
” Ada apa pak, kenapa saya harus pulang ada apa di rumahku pak”
” Tenang saja nak, kamu cuma suruh pulang saja ya”
Jantungku berdebar keras, saat tiba di rumah sudah banyak orang di rumah hingga pelataran rumahku, lantunan Yasin terdengar dari dalam rumah, suar tangis ibu dan adikku mengagetkanku, sontak aku langsung berlari menerobos kerumunan orang banyak.
Tercekat mataku melihat di tengah rumahku, sudah terbujur sosok ayah dengan di tutupi kain panjang , mataku nanar dan tak terasa air mataku langsung mengalir, ibuku mendatangiku langsung memeluk erat mengajak duduk di sebelah jenasah bapakku, hancur perasaanku melihat tubuh kekar ayah yang selama ini menghidupi kami sudah terbujur kaku.
Tanah merah,bertabur bunga dan nisan bertuliskan nama bapak,ku peluk erat erat, terbayang jelas sosok yang dulu pernah hobi bermain lotre , namun dengan hidayah Allah sosok bapakku bisa kembali dekat dengan Tuhannya dan tak pernah telat mendirikan sholat lima waktunya, kini aku hanya bisa mengenang sosok ayah dari nisannya.
Sanggar imaji Pamenang 24 April 2024