Spirit Sang Wartawan Serba Bisa BM Diah dan Grha Pers Pancasila
3 min readOleh: Hery FR
MINGGU pagi, seperti biasa jelang jogging ringan mengitari luasan Rukun Tetangga tempat saya tinggal, sambil menikmati ritual minum kopi pahit sembari baca-baca buku yang lebih banyak menghiasi rak perpustakaan kecil diruang kerja dan belum sempat dibaca semuanya.
Namun entah pagi ini teringin membaca kembali buku otobiografi tentang sprit sang wartawan serba bisa BM Diah.
Buku setebal 281 halaman terbitan Pustaka Sinar Harapan 1997 tersebut merupakan karya sang penulis kawakan Toeti Kakiailatu.
“BM Diah tidak selalu membeo di segala zaman. Ia Punya langgam sendiri. Itulah orisinalitas Diah. Diah sering tanpa ampun menggasak kebijakan siapa saja,” itulah kata pembuka kisah sang wartawan panutan hingga kini.
Burhanuddin Mohammad Diah, yang lebih dikenal sebagai BM Diah yang populer dengan sebutan BMD itu, semasa hidupnya pernah menjabat beragam pekerjaan, sebagai wartawan, anggota KNIP, Dubes, Menteri dan dipenghujung hidupnya mencoba menjadi serorang bisnismen.
“Kami sangat bangga waktu itu memiliki PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kamipun menamakan diri sebagai kelompok pers perjuangan. Awal 1960-an, PWI memegang peranan penting dalam pemerintahan. Demikian besar pengaruh PKI dalam tubuh PWI sehingga PWI bisa dimanipulir,”tulis Toeti Kaliailatu beberapa paragraf penutup buku BM Diah Wartawan Serba Bisa.
Penulis teringat diawal kepemimpinan PWI Bang Hendry Ch Bangun, Kepengurusan PWI Pusat 2023-2028 memprogramkan sosialisasi pers kebangsaan ke berbagai daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu hasil yang cukup fundamental dari program tersebut, Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan dirombak total menjadi Gedung Grha Pers Pancasila.
Grha Pers Pancasila nantinya menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pers kebangsaan di Indonesia.
Memang sangat krusial membangun pers kebangsaan ditengah terpaan dunia global tanpa batas saat ini.
Tantangan wartawan dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan saat ini terasa lebih komplek, belum lagi menjaga nilai-nilai demokrasi yang dirasa mulai digerogoti melalui regulasi-regulasi yang cenderung abai filosopi dan etika kebangsaan.
Belum lagi menjaga kemerdekaan pers itu sendiri yang telah dicanangkan pada 1999 sebagai buah dari reformasi melalui Undang-undang No.40 tahun 1999 yang dirasa mulai dikulik-kulik.
Masih segar rasanya, bagaimana ada rancangan RUU Nomor 32 tahun 2022 tentang Penyiaran masuk dalam pembahasan di DPR yang memuat soal pelarangan penayangan liputan yang bersifat investigatif.
Belum lagi berbagai persoalan-persoalan kekerasan terhadap pers yang masih cukup tinggi.
Dari hasil survei Dewan Pers terhadap 138 wartawan di 17 provinsi tiga bulan lalu ditemukan data beberapa hambatan terhadap wartawan (dewanpers.or.id, edisi 18/12/2024).
Sebanyak 36,9% mengaku pernah mendapat intimidasi atau ancaman terkait pemberitaan pemilu. Sekitar 32% tidak mengalami intimidasi atau ancaman. Sedangkan sisanya mengalami pelarangan liputan (15,6%), kekerasan fisik (6,6%), perampasan alat liputan (4,1%), dan serangan digital (3,3%).
Pelaku tindak kekerasan/intimidasi terhadap jurnalis, ujar Asep, juga bervariasi. Ada kekerasan yang dilakukan oleh timses/partai (33,3%), tidak tahu (29,4%), kandidat (11,9%), simpatisan (7,1%), penyelenggara pemilu (5,6%), dan preman/orang suruhan (4%).
Para jurnallis yang menjadi responden, umumnya juga menghendaki adanya perlindungan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Sebanyak 58% berharap ada pengamanan dan perlindungan, 45% mengharapkan pedampingan dan bantuan hukum, 9% memerlukan layanan pemulihan. Sedangkan sekitar 21% tidak membutuhkan apa-apa.
Sudah saatnya PWI dan masyarkat Pers Indonesia saat ini kembali mengambil spirit dari BM Diah Sang Wartawan Serba Bisa dalam membangun dan mengokohkan kembali nilai-nilai kebangsaan.
“Kami sangat bangga waktu itu memiliki PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kamipun menamakan diri sebagai kelompok pers perjuangan.”*
Thehok
Minggu 09 Juni 2024