Ketika Kolaborasi Pimpinan Daerah Terkikis Ego Politik, Siapakah Yang Dirugikan?..

Oleh : Nazarman (Ketua PWI Kabupaten Merangin)
Ketidak harmonisan antara Gubernur Jambi, Al Haris dan Bupati Merangin M.Syukur Alqodri kini bukan lagi desas desus, Fakta bahwa sang gubernur dua kali melakukan kunjungan kerja ke kementerian bersama bupati dan walikota se provinsi Jambi tanpa mengikut sertakan Bupati Merangin
Hal ini bukan hanya mencerminkan miskomunikasi,tapi bisa jadi pertanda retaknya hubungan antara dua pemimpin tersebut,jika benar, ini adalah potret buram bagaimana ego politik bisa menggerus semangat kolaborasi dalam tata kelola pemerintahan.
Tindakan semacam ini tidak bisa dianggap remeh. Dalam tata kelola pemerintahan yang baik, koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten menjadi syarat utama keberhasilan pembangunan.Kunjungan ke kementerian—apalagi yang menyangkut langsung dengan kebutuhan dan masa depan daerah—idealnya melibatkan Bupati sebagai kepala daerah agar seluruh informasi yang disampaikan akurat dan representatif.
Ketidak hadiran bupati dalam forum seperti itu mengesankan bahwa ada persoalan komunikasi atau bahkan konflik kepentingan yang belum terselesaikan. Ini bukan sekadar persoalan etika birokrasi, melainkan juga menyangkut efektivitas pengambilan kebijakan yang berdampak langsung kepada masyarakat.
Diatas Kertas, gubernur dan bupati adalah mitra,keduanya memikul tanggung jawab bersama untuk memastikan program pusat diterjemahkan dengan baik di daerah,dan aspirasi daerah disampaikan kepusat.
Namun dalam praktik,ego sering kali mengaburkan batas itu ketika komunikasi tersumbat, yang menjadi korban pertama bukanlah jabatan,melainkan rakyat.Kita tentu menyayangkan apabila ego politik menjadi penghalang bagi terwujudnya sinergi antara bupati dan gubernur .
Rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa bekerja sama, bukan yang sibuk mempertahankan posisi atau membangun sekat.
Dengan gubernur tidak mengajak bupati ataupun bupati tidak mau ikut ajakan gubernur adalah tindakan yang menyisakan banyak tanya.Apakah ini bentuk pengabdian ?. Atau pesan politik terselubung?.Apapun itu,publik menilai dari tindakan bukan dari pernyataan diplomatis yang dimuat di story media sosial.
Masyarakat kini lebih cerdas.Mereka bisa membaca ketidak hadiran bupati sebagai simbol bahwa hubungan dilevel pemerintahan sedang tidak sehat dan ketidak sehatan ini berisiko menunda bahkan menggagalkan kebijakan yang seharusnya menyentuh kebutuhan dasar warga.
Sudah saatnya para pemimpin kita, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, mengesampingkan perbedaan dan menunjukkan komitmen untuk bersatu demi rakyat. Kepemimpinan bukan tentang siapa yang lebih berkuasa, tetapi siapa yang lebih mampu mewujudkan kesejahteraan.(*)