19 Juni 2025

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Ketika Bupati Berencana Membeli Mobil Dinas Baru Ditengah Krisis: Prioritas Yang Salah Kaprah

Oleh: Nazarman

(Ketua PWI Kab.Merangin)

Saya ingin bertanya, bukan sebagai jurnalis, bukan pula sebagai analis anggaran. Saya bertanya sebagai warga biasa: apakah membeli mobil dinas baru lebih penting daripada memperbaiki jalan berlubang di desa-desa? Lebih mendesakkah kenyamanan seorang pejabat dibanding kebutuhan dasar ribuan warga yang setiap hari menanti perubahan?

Sungguh ironi. Ketika rakyat berjibaku dengan kesulitan hidup, seorang bupati justru sibuk merancang pembelian mobil dinas baru. Di tengah krisis ekonomi daerah, pemangkasan anggaran sosial, dan infrastruktur yang compang-camping, keputusan ini bukan hanya keliru—ia melecehkan akal sehat dan nurani publik.

Kebijakan ini menyiratkan satu hal: pemimpin lebih sibuk mengurus kenyamanannya sendiri daripada derita warganya. Mobil dinas bukan kebutuhan mendesak. Ia bukan alat utama pelayanan publik. Maka, untuk apa diganti jika yang lama masih layak pakai? Apa urgensinya, selain memuaskan ego kekuasaan?

Ini adalah bentuk kemewahan di atas penderitaan. Anggaran yang seharusnya bisa digunakan membangun jalan desa, memperbaiki sekolah bocor, atau menambah layanan kesehatan, malah dialihkan demi roda empat mewah yang hanya akan mengantar satu orang—sementara ribuan rakyat tetap tertinggal.

Jika ini yang disebut “prioritas”, maka jelas: yang salah bukan hanya keputusannya, tapi cara berpikirnya. Seorang pemimpin tak layak dihormati jika memilih kenyamanan pribadi di atas penderitaan publik.

Karena pada akhirnya, yang perlu diperbarui bukan hanya mobil dinas—tapi kesadaran, integritas, dan barangkali, kepemimpinannya itu sendiri.

Rencana bupati membeli mobil dinas baru di tengah kondisi anggaran yang sedang sekarat bukan sekadar soal barang, tapi soal keberpihakan. Soal siapa yang diprioritaskan ketika keputusan diambil. Dan jawaban dari kebijakan ini begitu jelas: bukan rakyat.

Mobil dinas memang hak, tapi bukan keharusan. Jika mobil lama masih berfungsi, mengapa harus diganti? Dalam masa krisis, kesederhanaan bukan hanya sikap moral, tetapi bukti bahwa seorang pemimpin masih tahu di mana kakinya berpijak. Ketika rakyat disuruh bersabar, pemerintah pun harus menunjukkan empati. Tapi membeli mobil baru justru menunjukkan hal sebaliknya—bahwa yang dipikirkan adalah kenyamanan di balik kaca gelap mobil dinas, bukan kondisi di luar jendela.

Menjadi pejabat publik seharusnya berarti menjadi pelayan, bukan penikmat. Seorang bupati semestinya berjalan lebih dulu di medan sulit, bukan melenggang nyaman sementara warganya tergelincir di jalan rusak.

Kalau pemimpin lebih sibuk memperbarui mobilnya daripada memperbaiki nasib rakyatnya, maka yang macet bukan hanya logika anggaran—tapi juga kompas moral.(*)

Jambi Daily