Dua Kali Mogok Dijalan, Alasan Dibalik Hasrat Mobil Baru Sang Bupati

Oleh [Nazarman]
Bupati akhirnya angkat bicara soal rencana pembelian mobil dinas baru. mobil lama sudah tidak layak pakai dan sering mogok
“Mobil itu tidak berani dibawa ke luar kota, dua kali saya mogok di Sarolangun,dan untuk kelapangan juga tidak memungkinkan”Ungkap Bupati kepada sumber penulis yang sebelumnya mengirim screnshot percakapan antara dirinya dengan orang nomor satu di Merangin tersebut.
Mobil lama sudah tak layak dipakai keluar kota, pernah mogok dua kali, dan tidak cocok dipakai ke lapangan. Sekilas terdengar masuk akal. Tapi mari kita bedah: apakah pengalaman pribadi yang tidak nyaman cukup untuk membenarkan pembelian barang mewah dengan uang rakyat?
Kalau mobil mogok, bukankah solusinya perawatan atau penggantian suku cadang—bukan langsung beli unit baru yang harganya ratusan juta? Lalu, “tidak cocok untuk ke lapangan” itu maksudnya apa? Tidak nyaman melewati jalan rusak yang justru dibiarkan rusak selama ini?
Pernyataan bupati seolah menjadikan kenyamanan pribadi sebagai tolok ukur kebijakan publik. Padahal, seorang pemimpin yang bijak justru menyesuaikan diri dengan kondisi rakyatnya, bukan memaksa anggaran menyesuaikan standar kenyamanan dirinya.
Kami menghargai kejujuran Bupati soal kondisi mobil dinas yang dikatakan sudah dua kali mogok dan tidak layak untuk ke lapangan. Namun, kami menolak jika pengalaman pribadi tersebut dijadikan justifikasi sah untuk membelanjakan ratusan juta uang rakyat hanya demi membeli mobil baru.
Kondisi seperti itu justru menjadi cerminan dari permasalahan infrastruktur dan layanan publik yang jauh lebih serius dan harusnya menjadi prioritas utama. Jika kendaraan mogok karena jalan rusak, seharusnya fokus utama adalah memperbaiki jalan, bukan mengganti mobil. Jika kendaraan tidak cocok untuk ke lapangan, maka perhatikan dulu bagaimana kondisi masyarakat yang setiap hari melewati jalur yang sama—dengan sepeda motor tua, bahkan jalan kaki.
Kami ingin mengingatkan: pejabat publik bukan dilayani oleh anggaran, tetapi melayani dengan anggaran. Keterbatasan adalah kenyataan hidup mayoritas warga, dan seorang pemimpin harusnya menjadi cermin solidaritas, bukan pengecualian.
Pembelian mobil dinas baru di tengah himbauan efisiensi dan krisis kebutuhan dasar hanyalah bentuk kemewahan yang dibungkus alasan teknis. Jangan paksa rakyat untuk menerima pemborosan, hanya karena sebuah mobil “tidak nyaman”.
Jika alasan mogok dijadikan dalih untuk pembelian, maka yang sesungguhnya perlu diperbaiki bukan hanya kendaraan, tetapi arah kebijakan dan keberpihakan seorang pemimpin.(*)