Editorial: Ketika Ego Bupati Lebih Besar dari Daerah yang Dipimpinnya

Oleh: Nazarman
(ketua PWI Kab Merangin)
Di sebuah daerah yang mendambakan kemajuan, rakyat justru disuguhi tontonan absurd: seorang bupati yang merasa dirinya adalah pusat tata surya pemerintahan.
Bukan hanya berseteru dengan DPRD dan enggan bersinergi dengan gubernur, ia juga menjauh dari media seolah-olah pemberitaan adalah musuh yang wajib dibungkam.dan kritikan oleh masyarakat dianggap pasukan sakit hati, Seolah yang boleh terdengar hanyalah pujian, bukan pertanyaan kritis.tampaknya, satu satunya pihak yang dianggap pantas mendukungnya adalah cermin diruang kerjanya sendiri,
Pemimpin seperti ini tampaknya lupa bahwa kekuasaan adalah alat, bukan mahkota. Ia menganggap kritik sebagai serangan, media sebagai pengganggu, dan lembaga lain sebagai ancaman terhadap kejayaannya. Seolah-olah daerah adalah panggung pribadi dan masyarakat hanya penonton yang wajib bertepuk tangan.
Ketika seorang bupati mulai sibuk membangun tembok di antara dirinya dan semua pihak, jangan heran bila yang tumbuh bukan pembangunan, melainkan kesombongan. Padahal, jabatan itu datang dengan batas waktu, bukan warisan takhta.
Konflik yang ditabur ke mana-mana bukanlah tanda kepemimpinan kuat, tapi cermin dari ego yang tak terkendali. Ia lebih sibuk mempertahankan gengsi daripada menyusun strategi. Sementara itu, pelayanan publik terbengkalai.
Sebaiknya sang bupati segera menyadari bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan hanya akan meninggalkan jejak kekacauan. Dan jika ia merasa dirinya adalah pusat semesta, semestinya ia juga tahu: semesta tidak akan berhenti berputar setelah masa jabatannya habis.
Jika ego lebih dijaga daripada etika, dan pencitraan lebih penting daripada pelayanan, maka jabatan itu hanya akan meninggalkan jejak kekuasaan yang gagal. Dan ketika masa jabatan berakhir, yang tersisa hanyalah nama—dikenang sebagai pemimpin yang lebih sibuk membesarkan diri daripada membesarkan daerah.
Pemimpin akan selalu datang dan pergi, tetapi yang dikenang bukan siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling bijaksana. (*)