Ketika Ruang Rapat Menjadi Ajang Ancaman, Bukan Dialog

Oleh :Nazarman
Rapat-rapat pemerintahan sejatinya menjadi ruang strategis untuk bertukar gagasan, menyelaraskan kebijakan, dan mencari solusi atas berbagai persoalan daerah.
Namun sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir, suasana tersebut mulai pudar di lingkungan birokrasi kita.
Di bawah kepemimpinan Bupati saat ini, banyak pejabat kabarnya merasa tidak lagi nyaman menyampaikan pendapat. Bukan tanpa alasan. Dalam berbagai rapat, sang Bupati kerap menunjukkan sikap egois—tidak membuka ruang dialog, dan lebih memilih memaksakan kehendaknya sendiri. Lebih dari itu, ancaman pencopotan terhadap kepala dinas yang tidak sepaham bahkan telah menjadi hal yang berulang.
Gaya kepemimpinan yang menakut-nakuti ini tidak hanya menghambat kreativitas dan inisiatif para pejabat, tetapi juga merusak semangat kolaborasi.
Kepala dinas yang seharusnya menjadi mitra kerja dalam membangun daerah justru dijadikan objek tekanan. Dalam kondisi seperti ini, banyak pejabat lebih memilih diam, menjaga jabatan daripada menyuarakan solusi yang sebenarnya dibutuhkan rakyat.
Jika hal ini dibiarkan, maka kualitas tata kelola pemerintahan akan terus menurun. Keputusan-keputusan publik bisa jadi tidak lagi lahir dari pertimbangan matang dan kajian teknis, melainkan dari kepentingan pribadi dan ego kekuasaan.
Seorang pemimpin yang baik seharusnya mampu merangkul, bukan mengintimidasi. Membangun daerah tidak bisa dilakukan sendirian—dibutuhkan kerja sama, kepercayaan, dan penghormatan terhadap kapasitas setiap perangkat daerah.
Kita perlu tegas mengatakan: Bupati bukan raja, dan jabatan kepala dinas bukan hadiah kampanye. Pemerintahan bukan milik pribadi, dan kekuasaan bukan alat untuk balas dendam. Jika pola seperti ini terus dibiarkan, maka yang rusak bukan hanya birokrasi, tapi juga kepercayaan publik terhadap pemimpin yang dipilih secara demokratis.
Sudah waktunya Bupati berhenti membawa dendam Pilkada ke meja rapat. Rakyat memilih untuk dilayani, bukan untuk menyaksikan pertunjukan politik penuh intimidasi di balik meja kekuasaan.
Melihat pola komunikasi dan kebijakan yang semakin jauh dari semangat kolektif, publik mulai bertanya-tanya: apakah Bupati tidak memiliki penasihat? Atau lebih tepatnya—apakah tidak ada satu pun yang berani memberi nasihat.(*).