Menanti Kepastian Kabid Bina Marga: Antara Profesionalisme dan Kepentingan

JAMBIDAILYMERANGIN – Kursi Kepala Bidang (Kabid) Bina Marga Dinas PUPR Merangin masih kosong secara definitif. Sejak ditinggalkan oleh Yadi yang pindah ke Dinas PU Pemprov Jambi jabatan strategis yang bertanggung jawab atas proyek-proyek infrastruktur jalan ini belum juga terisi. Di balik kekosongan tersebut, mengendap ketegangan politik dan tarik-ulur kepentingan yang menjauhkan birokrasi dari asas profesionalisme.
Nama Ade Candra, pejabat senior yang dikenal teknis dan memiliki pengalaman panjang di bidang jalan dan jembatan, sejatinya sudah mencuat sebagai calon terkuat. Namun proses yang semestinya administratif berubah menjadi politis. Ade tak kunjung dilantik. Bahkan, muncul penolakan secara diam-diam terhadap namanya. Isunya bukan soal kompetensi. Masalahnya: Ade adalah menantu Wakil Bupati Merangin, Khafid Moein.
“Ade itu orang teknis, paham medan, dan pengalaman banyak. Tapi kekuasaan takut. Bukan karena dia, tapi karena siapa yang ada di belakangnya,” ujar seorang pejabat senior di lingkup PUPR.
Dalam dinamika politik lokal, kekuatan birokrasi sering dijaga ketat dari pengaruh kelompok politik rival. Ade dianggap membawa potensi “matahari kembar” di Dinas PUPR lembaga yang memiliki anggaran besar dan akses ke banyak proyek. Kekhawatiran ini membuat orang nomor satu di Merangin diyakini menolak diam-diam agar kursi itu tak diisi oleh seseorang yang dianggap mewakili pengaruh di luar lingkar kekuasaan inti.
Sebagai jalan tengah, Arya Koswara ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt). Penunjukan ini tidak lepas dari strategi meredam gejolak. Arya dinilai netral, tidak punya kedekatan politik mencolok, dan bisa diterima oleh semua pihak meskipun bukan sosok paling berpengalaman untuk jabatan tersebut.
“Ini kompromi. Bukan keputusan karena kelayakan, tapi karena ketakutan akan pecahnya dominasi,” ungkap salah satu ASN di dinas PU.
Kondisi ini memunculkan keresahan internal. Di satu sisi, banyak ASN menginginkan pejabat profesional yang paham teknis. Di sisi lain, mereka menyadari bahwa keputusan pengisian jabatan telah ditarik ke ranah politik. Profesionalisme dikorbankan, dan loyalitas personal menjadi mata uang utama.
Padahal, kebutuhan lapangan terus menumpuk. Proyek infrastruktur jalan, perencanaan, hingga pengawasan teknis butuh kepastian komando. Kekosongan definitif membuat pelaksanaan pekerjaan menjadi setengah hati, dan potensi penyerapan anggaran menjadi terhambat.
“Tanpa Kabid definitif, ritme kerja terganggu. Apalagi kita masuk semester anggaran yang krusial,” kata seorang staf teknis.
Pertanyaan besar pun muncul: Sampai kapan jabatan ini akan dibiarkan menggantung? Dan lebih jauh lagi: apakah penilaian profesional masih menjadi landasan utama dalam pengisian jabatan di birokrasi Merangin?. (*)