Oleh : Ir. Martayadi Tajuddin, MM *)
PEMBANGUNAN infrastruktur tidak cukup hanya menjawab kebutuhan hari ini. Ia harus lahir dari visi jangka panjang yang mempertimbangkan dinamika sosial, tekanan lalu lintas, pertumbuhan ekonomi, dan bahkan identitas kota.
Dalam konteks Provinsi Jambi, rencana Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Jambi untuk menduplikasi Jembatan Batanghari 1—atau yang lebih dikenal sebagai Jembatan Aur Duri—perlu dikaji lebih kritis. Apakah duplikasi benar-benar jawaban terbaik? Atau, justru kita sedang melewatkan momentum untuk membangun sesuatu yang jauh lebih besar dan strategis: jembatan baru yang ikonik dan visioner.
Jembatan Batanghari 1 saat ini telah berusia lebih dari 36 tahun. Menurut BPJN, jembatan ini masuk kategori Nilai Kondisi (NK) 3, yang berarti mengalami kerusakan signifikan dan membutuhkan penanganan segera. Tanggapan instansi terkait adalah mengusulkan pembangunan duplikasi jembatan—dengan pertimbangan efisiensi dan percepatan pengerjaan. Langkah ini dimaksudkan untuk mengurangi beban lalu lintas dan memperpanjang umur jembatan yang ada.
Namun, pendekatan semacam ini cenderung terlalu pragmatis. Duplikasi hanya menjawab aspek fungsional dalam jangka pendek, dan gagal menyentuh berbagai faktor penting lain yang tak kalah krusial: kapasitas pertumbuhan lalu lintas darat, intensitas lalu lintas sungai, aspek keselamatan jangka panjang, serta potensi ekonomi dan identitas visual kota.
Kebutuhan Transportasi Sungai yang Semakin Meningkat
Satu aspek yang luput dalam wacana duplikasi adalah pentingnya ruang navigasi transportasi air. Sungai Batanghari bukan hanya elemen geografis, tapi juga koridor logistik penting yang dilalui kapal tongkang, kapal kargo, dan transportasi air lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, volume lalu lintas air meningkat tajam, seiring bertumbuhnya industri pertambangan, perkebunan, dan distribusi logistik dari dan ke wilayah hulu-hilir.
Jembatan baru yang dibangun dengan struktur dan bentang modern dapat memberikan ketinggian dan lebar ruang bebas navigasi yang lebih aman dan efisien bagi moda transportasi sungai tersebut. Ini tentu tidak bisa dicapai hanya dengan menempelkan jembatan duplikat di sisi jembatan lama.
Pintu Gerbang Ibu Kota Provinsi: Saatnya Membangun Ikon Baru
Jembatan Batanghari 1 bukan hanya jalur fungsional, tetapi juga menjadi pintu masuk ke Kota Jambi—ibu kota provinsi. Di banyak daerah lain, posisi strategis seperti ini telah dimanfaatkan sebagai ajang pembangunan ikon visual kota.
Kita bisa melihat contoh Jembatan Ampera di Palembang, Jembatan Suramadu di Jawa Timur, atau Jembatan Youtefa di Papua. Infrastruktur tersebut bukan hanya memfasilitasi konektivitas, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan kebanggaan daerah.
Sudah saatnya Jambi memiliki jembatan baru dengan desain arsitektur yang modern, estetis, dan mengusung nilai-nilai lokal. Infrastruktur yang dibangun hari ini bukan hanya milik kita, tapi warisan untuk generasi yang akan datang.
Kolaborasi Pusat dan Daerah Ujian Kepemimpinan, Warisan Peradaban
Pembangunan jembatan baru pengganti Jembatan Batanghari 1 bukan sekadar proyek infrastruktur biasa, melainkan ujian visi dan kepemimpinan daerah. Pemerintah Provinsi Jambi, khususnya Gubernur Jambi, tidak boleh hanya menjadi pengikut atas usulan teknis dari pusat yang cenderung pragmatis seperti duplikasi.
Pemimpin yang visioner harus tampil sebagai inisiator, menyuarakan kebutuhan rakyat, serta membangun narasi yang lebih berani—bahwa Jambi layak memiliki jembatan baru yang modern, aman, dan representatif sebagai gerbang masuk ibu kota provinsi.
Dalam hal ini, kolaborasi politik antara Pemprov, Pemkot Jambi, serta DPR RI dan DPD RI Dapil Jambi mutlak dibutuhkan. Mereka harus satu suara, tanpa tarik menarik sektoral, untuk mendorong pembangunan ini masuk ke skala prioritas nasional.
Apalagi dampaknya sangat luas: tidak hanya mengurai beban kendaraan, tapi juga membuka ruang pertumbuhan kawasan, meningkatkan nilai investasi, dan menghidupkan kembali wajah Sungai Batanghari sebagai koridor ekonomi dan pariwisata yang potensial.
Lebih dari itu, jembatan baru ini adalah peluang besar bagi Gubernur Jambi saat ini untuk meninggalkan ‘legacy’ kepemimpinan yang monumental. Sebuah warisan infrastruktur yang akan dikenang bukan hanya dalam catatan administrasi, tetapi dalam ingatan kolektif masyarakat. Pemimpin besar bukan yang menyelesaikan rutinitas, tetapi yang berani mencetak sejarah. Dan sejarah besar itu bisa dimulai dari sini—dari sebuah jembatan yang bukan hanya menghubungkan dua sisi daratan, tetapi juga dua masa: hari ini dan masa depan Jambi.
Berpikir Visioner, Bukan Sekadar Efisien
Kita tidak sedang menolak pembangunan duplikasi. Dalam kondisi darurat, duplikasi bisa jadi opsi transisi. Namun membatasi visi pembangunan hanya pada efisiensi jangka pendek adalah sebuah kemunduran. Kita perlu berpikir lebih jauh: bahwa pembangunan infrastruktur adalah investasi jangka panjang bagi daerah.
Jembatan baru yang tangguh, ikonik, dan terintegrasi dengan ekosistem kota dan sungai akan membawa manfaat berlapis. Jambi memiliki potensi, kapasitas, dan posisi strategis untuk mewujudkan itu semua—asal ada kemauan politik dan keberanian berpikir besar.
Gagasan untuk membangun jembatan baru sebagai pengganti Jembatan Batanghari 1 adalah sebuah seruan untuk keluar dari cara pandang pragmatis menuju paradigma pembangunan yang lebih transformatif. Ini bukan sekadar soal jalur penghubung, tetapi soal bagaimana kita mendesain masa depan kota dan provinsi ini dengan lebih bermartabat.
Kita tidak bisa lagi hanya “ngeh saja” terhadap usulan teknokratik yang minim visi. Saatnya membuka mata dan menyusun langkah besar bersama. Karena Jambi—dengan sejarah, potensi, dan lokasinya—layak memiliki jembatan yang tidak hanya kuat secara struktur, tapi juga kuat sebagai simbol kemajuan peradaban.
*Penulis adalah pengamat kebijakan pembangunan daerah, infrastruktur, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.













