Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin. MM*)
DITENGAH derasnya arus narasi tentang revalidasi Merangin Jambi UNESCO Global Geopark (MJUGGp) pada tahun 2026, publik disuguhkan dua wajah: satu wajah penuh semangat mempertahankan status prestisius dunia, dan satu lagi wajah yang dipenuhi kritik skeptis terhadap manfaatnya bagi masyarakat lokal.
Keduanya sah secara demokratis. Namun di tengah polarisasi narasi ini, kita perlu berhenti sejenak untuk bertanya: apakah kita masih ingin saling menyalahkan, atau mulai bersama-sama merumuskan solusi yang berpihak pada masa depan?
Kita percaya bahwa geopark bukan sekadar “green card” administratif, melainkan platform nyata untuk membangun model pembangunan daerah yang adil secara sosial, berkelanjutan secara ekologis, dan kompetitif secara global.
Sayangnya, narasi geopark sering terjebak dalam dua ekstrem: glorifikasi simbolik yang berlebihan, dan kritik pesimis yang tidak menawarkan jalan keluar. Keduanya sama-sama berisiko menyesatkan arah pembangunan.
UNESCO BUKAN TUJUAN, TAPI ALAT STRATEGIS
Status UNESCO memang membanggakan. Tapi kita sepakat bahwa pengakuan dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alat strategis untuk mengangkat citra daerah, membuka jaringan kerja sama internasional, dan meningkatkan posisi tawar Jambi dalam peta pembangunan nasional.
Mereka yang mencibir status ini sebagai pencitraan global semata mungkin lupa bahwa leverage geopolitik dan reputasi internasional juga punya nilai strategis dalam dinamika kebijakan. Persoalannya bukan pada pengakuan itu sendiri, tapi pada sejauh mana kita mengelola status itu sebagai instrumen untuk membenahi tata kelola, mengangkat partisipasi warga, dan menyatukan sektor-sektor pembangunan yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.
MASALAH DI LAPANGAN: REAL, TAPI BISA DIATASI
Kritik terhadap ketimpangan manfaat ekonomi geopark bagi masyarakat akar rumput bukan hal baru. Bahkan, banyak riset mengonfirmasi bahwa partisipasi warga dalam ekosistem geowisata masih minim, sementara manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh aktor wisata formal atau birokrasi.
Namun menyimpulkan bahwa geopark adalah proyek elitis hanya karena masalah implementasi, tanpa menawarkan solusi struktural, adalah bentuk intelektualisme setengah hati. Dalam sains kebijakan, kita diajarkan bukan hanya mengidentifikasi masalah, tapi juga membangun jalan keluar yang kontekstual dan kolaboratif.
Solusinya? Perlu segera dilakukan seperti : Penguatan kelembagaan pengelola geopark yang lebih inklusif, melibatkan komunitas lokal, tokoh adat, dan pelaku UMKM secara riil, Pemetaan peran warga lokal dalam rantai pasok geowisata untuk meningkatkan distribusi manfaat dan Revitalisasi partisipasi desa dan masyarakat adat, bukan hanya dalam seremoni, tapi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan aset geopark.
KONTRADIKSI EKSTRAKTIF VS KONSERVATIF: SAATNYA KITA KONSISTEN
Tidak bisa dipungkiri, masih ada ironi besar di Jambi: kita mempromosikan konservasi fosil purba dan geodiversitas sebagai warisan dunia, tapi di sisi lain ruang hidup kita masih dikepung tambang ilegal, ekspansi sawit, dan kerusakan lingkungan.
Apakah ini salah geopark? Tentu tidak. Tapi ini indikasi perlunya harmonisasi kebijakan lintas sektor. Geopark seharusnya menjadi benteng ekologis dan sekaligus titik tolak reformasi tata ruang.
Solusi teknokratisnya jelas: Sinkronisasi RTRW provinsi dan kabupaten agar koridor geopark terbebas dari aktivitas ekstraktif, Zonasi tegas kawasan geopark dengan perlindungan hukum dan pengawasan bersama dan Komitmen lintas instansi dan aparat penegak hukum dalam menertibkan aktivitas ilegal yang mengancam kredibilitas geopark di mata dunia.
MARI BERHENTI MEMBANGUN ETALASE, SAATNYA MEMBANGUN RUMAH BERSAMA
Kita sepakat dengan kritik bahwa geopark bukan “museum terbuka”. Tapi kita juga percaya bahwa geopark bisa menjadi rumah bersama, tempat bertemunya konservasi, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, dan harapan generasi masa depan.
Namun rumah itu tidak akan pernah berdiri jika kita terus saling menyindir tanpa saling menyumbang gagasan. Akademisi yang hanya berhenti pada kritik tanpa memberi rancangan kebijakan alternatif sejatinya ikut memperkuat kebuntuan yang ia kritik sendiri.
Di titik ini, perlu kita tegaskan bahwa pendekatan kolaboratif pentahelix (pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media) adalah kunci masa depan geopark. Tak satu pun aktor bisa berjalan sendiri. Apalagi di tengah era ketika narasi provokatif lebih cepat viral dibandingkan gagasan solutif yang butuh kerja keras.
MASA DEPAN GEOPARK ADA DI TANGAN KITA
Revalidasi status UNESCO 2026 memang penting. Tapi yang lebih penting adalah memastikan bahwa geopark ini menjadi ruang hidup yang adil dan lestari. Kita tidak sedang bekerja demi simbol, tapi demi keberlangsungan warisan geologi yang seharusnya menjadi sumber belajar, sumber inspirasi, dan sumber kesejahteraan rakyat Merangin.
Maka, mari kita geser narasi: dari siapa yang paling vokal mengkritik, menjadi siapa yang paling kuat berkontribusi. Dari kompetisi narasi, menuju koalisi solusi.
Karena pada akhirnya, Geopark Merangin bukan milik UNESCO, bukan milik elite, bukan milik akademisi saja—tetapi milik seluruh rakyat Jambi, milik Indonesia hari ini dan untuk generasi mendatang.
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Pembanguan Daerah, Infrastruktur, Lingkungan dan Pembanguan Berkelanjutan.











