Categories SUARO WARGO

Honorer Merangin Menunggu Gaji di Tengah Kebohongan

Oleh :Nazarman

Di wajah Edi, seorang guru kontrak di salah satu sekolah dasar negeri di Kabupaten Merangin, ada letih yang tak bisa disembunyikan.
Sudah tujuh bulan ia mengajar tanpa gaji.
Namun setiap pagi, ia tetap datang ke sekolah lebih awal, menyiapkan kelas, menulis materi di papan tulis, dan menyambut murid-muridnya dengan senyum yang mulai menipis.

“Gaji belum turun, Bang. Tapi anak-anak tetap harus belajar,” katanya pelan.
Ia tak tahu lagi bagaimana menutupi kebutuhan keluarga.
Tabungan sudah habis, cicilan motor menunggak, dan biaya sekolah anaknya belum terbayar.
Sesekali, ia hanya bisa meminjam dari teman atau menunda belanja dapur.

Edi bukan satu-satunya.
Ratusan bahkan ribuan tenaga honorer dan guru kontrak di Merangin kini bernasib sama bekerja tanpa kepastian gaji, tanpa kepastian nasib.
Mereka tetap melayani masyarakat, mengajar, membersihkan, membantu pelayanan publik, meski hak mereka tak kunjung dibayar.

Pemerintah daerah berdalih belum bisa membayar karena masih menunggu surat dari BKN dan kepastian hukum dari Kemenpan-RB.
Namun setelah DPRD Merangin menelusuri langsung ke dua lembaga itu di Jakarta, fakta yang muncul justru menampar logika:
surat yang diklaim sudah dikirim itu tidak pernah ada. Dan tidak ada satu pun aturan dari pemerintah pusat yang melarang pembayaran gaji tenaga honorer.

Artinya, selama ini Edi dan ribuan honorer lain menunggu sesuatu yang fiktif surat yang tak pernah dikirim, alasan yang tak pernah benar, dan janji yang tak pernah ditepati.

Malam hari, setelah pulang dari sekolah, Edi sering duduk di depan rumahnya yang sederhana, memandangi halaman kosong.
Ia bukan marah, ia hanya kecewa.
“Kalau memang uangnya belum ada, bilang belum ada,” ujarnya lirih.
“Tapi jangan bohong. Jangan buat seolah-olah kami ini tidak penting.”

Kalimat sederhana itu menggambarkan luka yang lebih dalam daripada sekadar gaji yang tertunda.
Mereka tidak menuntut penghargaan besar. Mereka hanya ingin dihargai sebagai manusia yang bekerja jujur dan setia di tengah ketidakpastian.

Kini publik tahu, yang menahan bukan hukum, bukan pusat, tapi kebohongan.
Dan di balik semua kebohongan itu, ada wajah-wajah seperti Edi guru kontrak yang tetap mengajar dengan hati,
meski hatinya sendiri sudah terlalu lama diabaikan oleh pemerintah yang seharusnya melindunginya.***