Categories IPTEK JURNAL PUBLIK

LULUSAN ARSITEKTUR GAGAP LAPANGAN, SALAH SIAPA?

Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM (*)
(Pemerhati Kebijakan Publik, Pembangunan Infrastruktur, Praktisi Konstruksi, dan Akademisi)

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia arsitektur di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Proyek tumbuh di berbagai kota, teknologi baru seperti BIM dan sustainable design makin akrab di industri, dan tantangan ruang perkotaan kian kompleks.

Namun di balik semua itu, ada satu realitas yang mengemuka dan tidak bisa diabaikan: banyak lulusan baru dari pendidikan arsitektur belum siap masuk ke dunia kerja secara fungsional.

Permasalahan ini bukan sekadar soal teknis, melainkan mencerminkan jarak yang lebar antara dunia akademik dan dunia praktik.

Banyak kantor arsitek, biro perencana, maupun institusi pemerintah yang menangani pembangunan ruang publik, mengeluhkan minimnya kesiapan lulusan baru — baik dari sisi keterampilan, pemahaman lapangan, hingga kemampuan berkomunikasi secara profesional. Ini bukan persoalan satu-dua kampus, melainkan gambaran sistemik yang perlu direfleksikan bersama.

Secara ideal, pendidikan arsitektur seharusnya menjadi proses pembentukan keahlian desain yang menyatu dengan konteks nyata. Namun dalam praktiknya, kurikulum masih banyak yang terjebak dalam pendekatan teoritis dan idealistis.

Mahasiswa didorong untuk menghasilkan desain yang kreatif, namun sering kali jauh dari realitas pelaksanaan.

Gambar presentasi yang menarik belum tentu bisa dibangun, dan pemahaman atas detail teknis konstruksi sering tidak mendapat porsi yang cukup. Kampus menjadi ruang eksplorasi yang terpisah dari dinamika proyek nyata.

Tidak sedikit lulusan arsitektur yang kesulitan membaca gambar kerja secara konvensional, belum terbiasa dengan format detail teknis, bahkan gagap saat diminta menyusun dokumen perencanaan yang dibutuhkan untuk perizinan dan konstruksi.

Lebih dari itu, banyak yang belum menguasai perangkat lunak teknis yang umum dipakai di dunia kerja, seperti AutoCAD, Revit, SketchUp, atau perangkat BIM lainnya. Hal-hal mendasar seperti manajemen waktu, disiplin kerja, dan kemampuan presentasi profesional juga menjadi titik lemah yang sering dikeluhkan para pelaku industri.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya eksposur mahasiswa terhadap dunia lapangan. Banyak program magang di kampus yang dijalankan secara formalitas, tanpa kejelasan peran, target pembelajaran, atau evaluasi yang bermakna.

Mahasiswa hanya “ikut-ikutan” dalam proyek, tanpa memahami struktur tanggung jawab atau proses kompleks dalam koordinasi desain dan pelaksanaan.

Padahal, pemahaman terhadap kondisi site, interaksi dengan pekerja lapangan, hingga belajar membaca dinamika proyek secara langsung merupakan elemen penting dalam pendidikan arsitektur yang menyeluruh.

Ketimpangan juga terjadi pada level pengajaran. Tidak semua dosen aktif terlibat dalam praktik profesional. Akibatnya, apa yang diajarkan di kelas sering kali tidak nyambung dengan apa yang dibutuhkan di lapangan. Ini bukan soal siapa salah, tetapi soal bagaimana dunia pendidikan harus terus beradaptasi dengan kebutuhan industri yang berubah cepat. Ketika dunia praktik sudah bicara tentang sustainability, digitalization, dan efisiensi manajemen proyek, dunia akademik tidak bisa terus berjalan dengan pendekatan lama yang tertinggal.

Lebih dari sekadar persoalan keterampilan, kondisi ini juga menyentuh aspek penting lain: orientasi profesi. Banyak mahasiswa arsitektur tidak mendapat cukup bimbingan untuk memahami jalur karier pasca-wisuda. Apakah akan menjadi perancang bangunan? Drafter teknis? Urban designer? Konsultan green building? Atau justru masuk ke sektor kebijakan ruang? Tanpa arahan yang jelas, lulusan sering kali kebingungan dan kehilangan arah, bahkan di tahun-tahun awal karier mereka.

Refleksi ini harus menjadi titik tolak untuk perbaikan. Dunia pendidikan arsitektur perlu berbenah, bukan hanya dalam kurikulum, tetapi dalam cara berpikir. Pendidikan arsitektur tidak cukup hanya membentuk “perancang yang visioner”, tetapi harus melahirkan arsitek yang utuh: teknis, kontekstual, komunikatif, dan sadar tanggung jawab sosial.

Sinergi antara kampus dan industri harus diperkuat, melalui program magang yang lebih substansial, studio kolaboratif, atau keterlibatan profesional praktisi dalam proses pengajaran.

Salah satu langkah awal yang krusial adalah mereformulasi kurikulum agar lebih terintegrasi dengan kebutuhan nyata di lapangan.

Studio desain tidak cukup hanya menekankan pada narasi artistik, tetapi perlu dirancang secara lintas-disiplin, melibatkan pertimbangan struktur, MEP, estimasi biaya, dan keberlanjutan. Mahasiswa harus dibiasakan untuk berpikir sebagai bagian dari tim proyek, bukan hanya sebagai desainer tunggal.

Dengan begitu, mereka akan terbiasa menghadapi dinamika proyek riil, termasuk kompromi-kompromi rasional yang sering kali terjadi antara idealisme dan realitas teknis.

Kampus juga perlu membuka ruang kolaborasi yang lebih aktif dengan dunia profesional. Praktisi dari berbagai latar belakang — arsitek, insinyur, manajer proyek, hingga pengembang — perlu dilibatkan dalam kelas-kelas tertentu, baik sebagai pengajar tamu maupun mentor proyek.

Lebih jauh, skema magang yang diterapkan harus bergeser dari sekadar pelengkap SKS menjadi medium pembelajaran kontekstual yang serius, dengan sistem evaluasi terstruktur dan pembimbing profesional yang kompeten.

Tak kalah penting adalah pembekalan soft skill. Dunia kerja menuntut arsitek yang mampu berkomunikasi secara efektif, bekerja dalam tim, menyusun argumen desain secara logis, dan menyampaikan ide kepada klien dalam bahasa yang tepat. Ini berarti, pelatihan public speaking, negosiasi, dan presentasi tidak bisa lagi dianggap sebagai keterampilan sekunder.

Arah pembangunan ruang di masa depan sangat tergantung pada kualitas aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Jika pendidikan arsitektur terus berjalan dalam ruang ideal yang terputus dari realitas sosial, teknis, dan profesional, maka lulusan yang dihasilkan hanya akan menjadi pemimpi yang canggung di tengah realitas.

Namun jika kesenjangan ini disadari dan direspons dengan transformasi serius, maka kita akan melahirkan arsitek yang tidak hanya cakap menggambar, tetapi juga tangguh memimpin, berpikir sistemik, dan membangun ruang hidup yang bermakna bagi masyarakat.

Pendidikan arsitektur bukan sekadar tentang mencetak desainer, tetapi membentuk pemimpin ruang yang mampu menjawab kompleksitas zaman. Dan untuk itu, dunia pendidikan dan dunia praktik tidak boleh lagi berjalan sendiri-sendiri. Keduanya harus saling membuka pintu, saling mengisi, dan saling menguatkan demi masa depan ruang yang lebih manusiawi, kontekstual, dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka:
• Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). (2018). Pedoman Etika dan Profesi Arsitek. Jakarta: IAI.
• Lawson, B. (2006). How Designers Think: The Design Process Demystified. London: Routledge.
• Project Management Institute (PMI). (2017). A Guide to the Project Management Body of Knowledge (PMBOK Guide). 6th ed. Pennsylvania: PMI.
• Royal Institute of British Architects (RIBA). (2020). RIBA Plan of Work 2020. London: RIBA.
• Wasserman, B., Sullivan, P., & Palermo, G. (2000). Ethics and the Practice of Architecture. New York: Wiley.