Penilaian Akhir Semester, Yang Ujian Anak atau Orang Tua ?
4 min readOleh: Bahren Nurdin (*)
JAMBIDAILY JURNALPUBLIK-Pandemi Covid 19 telah banyak menggeser tatanan kehidupan bermasyarakat termasuk proses belajar mengajar. Selama hampir satu tahun peserta didik dari taman kanak-kanak hingga mahasiswa ‘dirumahkan’. Belajar dari rumah dengan menggunakan berbagai aplikasi yang disambungkan oleh jaringan internet. Anak-anak belajar secara daring (dalam jaringan) tampa menginjakkan kaki di sekolah.
Belajar dari rumah telah memunculkan begitu banyak persoalan seperti mahalnya harga kuota, jaringan (signal) internet yang lemah, harga gawai yang tidak murah, belum lagi bagi mereka yang tinggal di pelosok desa yang masih jauh dari sentuhan teknologi. Pemerintah pun kemudian berjibaku mencari solusi persoalan-persoalan ini seperti pemberian kuota internet gratis.
Akan tetapi, dari semua persoalan itu, agaknya ada hal fundamental yang tidak banyak menjadi perhatian yaitu pembentukan karakter anak didik itu sendiri. Dalam berbagai seminar motivasi pendidikan saya selalu sampaikan bahwa teknologi baru bisa menyelesaikan persoalan ‘transfer of knowledge’ (berbagi ilmu) tapi belum mampu membentuk kecedasan sosial, emosional, dan spiritual peserta didik. Kepada para guru saya katakan, itulah bedanya mengajar dan mendidik. Mengajar hanya sebatas berbagi ilmu, sementara mendidik adalah ‘transfer of value’ yang mengedepankan nilai-nilai dan pembentukan kepribadian.
Ketika berada di sekolah, anak-anak akan bergaul dengan teman-teman, kakak kelas, adik kelas, guru, tenaga kependidikan dan orang-orang di seputarnya. Interaksi sosial inilah yang akan membentuk kepribadiannya karena ada nilai-nilai yang tertanam seperti bagaimana menghormati guru, menyayangi adik kelas, menghargai sesama, menjunjung tinggi keberagaman, dan sebagainya. Dipastikan hal ini tidak dapat digantikan oleh system pembelajaran online.
Apa yang terjadi saat ini adalah orang tua panik dan kebingungan. Banyak diantara mereka tidak siap berperan ganda; menjadi orang tua sekali gus guru. Bahkan ada yang stress. Berbagai penelitian ilmiah terkini menunjukkan selama pandemic Covid 19 telah terjadi peningkatan kekerasan dalam rumah tangga (fisik dan verbal). Peran pendidik yang selama ini diserahkan pada guru di sekolah, tiba-tiba diserahkan sepenuhnya kepada orang tua. Glek..!
Menjadi guru ternyata bukan perkara mudah. Tidak hanya persoalan keilmuan, tapi juga soft-skill dalam menghadapi peserta didik. Ditambah lagi, anak-anak cenderung malas-malasan belajar dengan orang tua sendiri dibanding belajar dengan gurunya. Lebi-lebih saat ini sedang menghadapi Penilaian Akhir Semester (PAS) yang dilakukan secara daring.
Paling tidak ada dua ujian utama bagi orang tua yaitu ujian kesabaran dan kejujuran. Yakinlah dua perkara ini bukan hal yang mudah. Tidak mudah untuk dihadapi tapi harus; mau tidak mau, suka tidak suka. Harus mau dan harus suka!
Kesabaran menghadapi anak-anak sendiri dalam belajar sangat diperlukan jika tidak ingin berakhir dengan kekerasan. Kesabaran menjadi kata kunci yang mujarab untuk menjadi pendidik yang hebat. Bagaimana caranya? Ada banyak tips yang berselewaran di dunia perinternetan. Beberapa diantaranya adalah meluruskan niat dan berbuatlah karena Allah. Niatnya tentu tidak hanya sekedar mengajar dan menidik anak, tetapi juga menjadi amal ibadah di hadapan Allah. Sungguh, jika niatnya sudah lurus, hanya karena Allah, maka secapek apa pun, sekesel apa pun, semarah apa pun, akan menjadi sabar dalam menghadapi anak-anak. Justeru, dapat pahalanya ganda, sebagai orang tua juga sebagai guru yang menyebarkan ilmu pengetahuan. Insya Allah mulia.
Begitu juga halnya dengan kejujuran. Ini juga tidak mudah. Lebih-lebih saat ini sedang diselenggarakan Penilaian Akhir Semester (PAS). Ketika guru mengirim soal ujian secara online dan meminta anak mengerjakannya dengan jujur tanpa bantuan internet atau siapa pun, orang tua berani jujur tidak? “wah anak saya kalo gak dibantu, gak mau ngerjain”. Alhasil, yang ujian adalah orang tuanya.
Saya hanya ingin mengingatkan kita semua, ini bukan hanya persoalan mengerjakan soal ujian tapi adalah pembentukan karakter. Karakter kejujuran. Jika kita bantu anak-anak dalam mengerjakan ujiannya, maka seterusnya akan tertanam dalam benak mereka bahwa ujian dibantu itu boleh. Nyontek itu tidak apa-apa. Curang sedikit, tidak masalah. Akan terbentuk karakter yang buruk terhadap anak.
Inilah ujian terberat bagi orang tua. Satu sisi ingin anaknya lulus dengan nilai tinggi, di sisi lain berhadapan dengan pembentukan karakter, penanaman nilai-nilai yang akan mewarnai hidup mereka kedepan. Jika dari kecil sudah diajarkan curang, maka besarnya pun nanti akan demikian. Ini pilihan..!
Akhirnya, siapa yang ujian? Ternyata kita semua; anak-anak dan orang tua. Anak-anak diuji dengan soal-soal dari guru. Orang tua diuji kesabaran dan kejujurannya dalam membimbing anak-anak belajar. Siapa yang lulus? Kita lihat saja. Dan, yang paling ditakutkan, anak-anak lulus dengan nilai baik, tapi orang tua gagal menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kebaikan. Mengerikan!
Penulis adalah Akademisi UIN STS Jambi dan Pengamat Sosial