Dari Sarasehan Nasional KPI: Wajah Media di Pemilu dan Godaan Jadi Partisan
6 min readJAMBIDAILY PENDIDIKAN – Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Jambi akan digelar 27 Mei 2021. Agenda PSU adalah tindak lanjut putaran Pemilukada Provinsi Jambi untuk di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di beberapa kabupaten/kota.
Melihat fenomena di putaran Pemilukada selama ini dan sekaligus menyongsong PSU, Program Studi (Prodi) Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Sulthan Thaha Saifuddin (STS) Jambi menggelar sarasehan nasional, Sabtu (22/5). Sarasehan Nasional digelar dengan tajuk “Wajah Media dalam Pemilu”.
Kegiatan yang digelar secara hybrid/semi virtual itu digelar berangkat dari kegelisahan akan pentingnya peran media massa dan jurnalis dalam momentum politik, khususnya Pemilukada Provinsi Jambi. Termasuk dalam kaitannya dengan fenomena media dan jurnalis partisan serta buzzer yang bermunculan.
Sebagai narasumber dalam kegiatan ini adalah Dr. Prilani, M.Si/Dewan Pakar ASKOPIS, Dr. D.I. Ansusa Putra, Lc. MA.Hum/Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah UIN Jambi, Muhammad Junaidi, S.Ag., M.Si/Ketua Prodi KPI UIN Jambi.
Selain itu juga hadir sebagai pembicara Hery FR/Sekretaris Umum (Sekum) PWI Provinsi Jambi/A. Riki Sufrian/Ketua AJI Jambi, dan Dedy Rachmawan/Korlip Tribun Jambi.
Dalam sesi presentasinya, Prilani menyampaikan bahwa saat ini di momen politik memang banyak hal yang menggelitik. Khususnya menyangkut dinamika pemberitaan oleh massa.
“Jurnalisme di politik sudah komplikasi, kronis. Terjadi dilema bisnis dan redaksi. Dalam konteks ini saya menautkannya antara etika versus pasar, ” katanya.
Menurut dia, dalam momen pemilu, kelihatan sekali ada oknum yang cenderung partisan. “Kelihatan betul, siapa ikut siapa. Front-nya kelihatan. Dan juga netralitas jurnalis di tengah kepungan afiliasi media dengan parpol,” ujarnya lagi.
Oleh karenanya, kata dia, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab bersama yakni dapatkah atau tidak idealisme jurnalisme terbebas dari kepentingan politik praktis.
“Kalau dari beberapa hasil riset, banyak pemberitaan belum memenuhi kaidah jurnalistik, mengedepankan profit, dan ada juga kecenderungan pada calon tertentu dengan komitmen politis,” katanya.
Makanya secara umum, menurut dia, media punya tantangan dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. Mulai dari persoalan independensi, netralitas, proporsionalitas, objektivitas, dan juga akurasi informasi publik.
“Dalam struktur pemberitaan politik itu, ada DPR, partai politik, penyelenggara pemilu, Ormas, akademisi, organisasi profesi media, owner media, regulator media, dan regulasi media,” ucapnya.
“Menurut saya dalam memberitakan politik itu selayaknya katakan kepada pembaca atau pendengar bagaimana keputusan politik itu mempengaruhi kehidupan mereka. Lalu, tugas jurnalis harus melaporkan pendapat yang berbeda, bukan untuk menghakimi. Dengan kata lain, maksudnya haruslah objektif,” ujarnya.
“Di sisi lain juga harus bisa menumbuhkan berbagai macam kontak, menulis berita yang mencerahkan, dan juga harus bersikap adil terhadap semua yang terlibat,” katanya.
Selain itu, dia mengatakan, solusi yang bisa dilakukan untuk menjawab berbagai persoalan ini adalah mengembalikan fungsi media sebagai sarana informasi. Lalu membuat regulasi yang utuh mengenai tahapan Pemilukada, kuatkan regulator untuk eksekusi, dan pahami teknologi secara bijak. “Dan yang terakhir, jangan lupakan new media,” ucapnya.
Sementara itu, Sekum PWI Provinsi Jambi, Hery FR dalam penyampaiannya mengatakan bahwa saat ini terjadi perkembangan luar biasa di hampir semua segmen kehidupan. Termasuk dalam dunia pers.
Sebelum reformasi, kata dia, banyak dikenal istilah pers pembangunan. Saat ini, pasca lahirnya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, pers makin diuji dalam menjalankan fungsi idealismenya sembari menjalankan perannya sebagai lembaga ekonomi.
“Hari ini kita tidak bisa memungkiri bahwa ada oknum jurnalis yang terlibat politik praktis,” ucapnya.
“Hal ini menjadi persoalan tentunya. Kami pers kadang sedih. Ini harus menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Tidak hanya bagi pers, tapi juga para akademisi,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Hery juga mengapresiasi kepada jurnalis di Provinsi Jambi yang sudah mau menahan diri untuk tidak terlibat dalam politik praktis. “Tugas kita bersama bagaimana pers ini dikembalikan kepada fungsinya,” ujarnya lagi.
Ketua AJI Jambi, A Riki Sufrian, dalam kesempatannya mengatakan bahwa fenomena jurnalis menjadi buzzer dan media serta jurnalis menjadi partisan harus menjadi kegelisahan bersama.
“Fenomena mencampurkan fakta dan opini, itu harus disikapi bersama. Sudah menjadi keniscayaan, kewajiban jurnalisme adalah kepada kebenaran. Kalau jurnalis sudah menyimpang pada kebenaran, sudah pasti mereka akan kesulitan mendapatkan kepercayaan publik,” ujarnya.
Dalam catatan AJI Jambi, kata Riki, sudah banyak jurnalis dan media yang terindikasi partisan dalam Pemilukada Jambi. “Seperti di beberapa media online. Yang mereka publish hanya dominan berita salah satu kandidat saja.
Padahal kan di sisi lain media harus independen. Jangan lupakan fungsi media, selain informasi, juga ada kontrol sosial dan edukasi di samping juga ada fungsi sebagai lembaga ekonomi, ” katanya.
“Terus terang kita gelisah sekarang banyak yang partisan,” ujarnya kembali menegaskan.
“Yang jelas, atas dasar ini AJI mengajak para jurnalis di semua platform media agar menaati prinsip kode etik dan bersikap independen, menghasilkan berita yang berimbang. Jurnalis juga harus memberikan contoh kepada publik terhadap praktik jurnalisme yang profesional dan beretika,” katanya.
“Sejak awal sikap AJI kepada anggotanya senantiasa menerapkan prinsip yang independen, tanpa campur tangan politik praktis. Dan di samping kode etik, jurnalis AJI juga dilandasi dengan kode perilaku,” ujarnya.
Deddy Rachmawan, Koordinator Liputan Tribun Jambi yang juga menjadi pemateri acara ini menegaskan bahwa pihaknya selama ini berkomitmen untuk tetap menjunjung tinggi aturan dan kode etik. Bahkan, kata dia, pihaknya pun punya panduan khusus di internal mereka sebagai pedoman bagi jurnalisnya saat meliput berita, termasuk berkaitan dengan momen politik.
“Peran masyarakat dan mahasiswa sangat dibutuhkan dalam mengawal profesional wartawan ini,” ujarnya.
Guru Besar UIN STS Jambi, Prof. Adrianus Chatib, yang hadir sebagai peserta, dalam sarasehan yang digelar juga turut memberikan sumbangsih pemikirannya.
Menurut dia, dalam konteks perhelatan pemilu, tentu berkaitan dengan kepentingan. Di satu sisi fungsi media massa sebagai alat, di sisi lain media massa harus berpihak pada kebenaran.
“Hal ini haruslah disatukan dalam tiap pemberitaan. Sulit memang, tapi bukan berarti tidak bisa,” katanya.
Menurut dia, seharusnya pemberitaan bisa diuji ataupun dikritisi, baik jalur ilmiah ataupun empiris. Secara empiris misalnya dengan melihat apakah berita yang dimuat sudah melalui verifikasi, data, dan kepakaran.
Di samping itu juga, menurutnya, setiap berita perlu disampaikan kepada publik dengan alur dan narasi yang baik.
“Persoalan di lapangan sering kita lihat tidak dibarengi dengan basis keilmuan yang ada,” ujarnya.
“Kita harus punya alat ukur dalam pemberitaan politik. Pemberitaan harus disampaikan dengan jujur dan bagaimana juga agar laku di pasaran. Sepanjang alat ukurnya dipakai, bisa diterapkan. Di samping itu tentu urusan kesejahteraan wartawan tentu barus diperhatikan supaya netralitas wartawannya muncul ” katanya.
Untuk diketahui, kegiatan ini diikuti oleh 100 lebih peserta. Tidak hanya dari mahasiswa dan akademisi di Jambi, tapi juga diikuti para akademisi dan mahasiswa yang berasal dari banyak tempat di berbagai wilayah di Indonesia. (*)