Catatan Bertahun Dalam Labirin Ruang Sastra
7 min readOleh M. Ali Surakhman
Titik terang yang diharapkan menjadi matahari bagi dunia sastra dalam masa sulit ini. Tentunya adalah cita-cita para penulis untuk dapat terus berkarya dan bertahan hidup darinya. Adakah wacana yang penting dikaji untuk perkembangan dunia sastra Indonesia? Tentu saja ada banyak persoalan yang tidak tuntas juga akhirnya. Karena yang terjadi sampai saat ini masih pengulangan wacana, kajian, diskusi, serta eksploitasi karya sebagai dampak dari demam teori/metodologi Barat dalam membongkar isi karya. Sehingga yang muncul ke permukaan adalah kritik-kritik yang sudah basi, dan berpretensi politis saja. Tak ada wacana yang penting dari kesusastra yang mencerdaskan serta memberi ruang bebas bagi perenungan penulis dalam memandang kehidupan masyarakat manusia maupun oleh penulis kritik.
Daya tarik kehidupan sehari-hari bagi pengarang tak terelakkan adalah inspirasi. Itu terjadi pada sebuah novel “Aku, Buku, dan Sopotong Sajak Cinta” karya Muhiddin M. Dahlan. Dan bagi saya novel tersebut merupakan representasi nilai gaya sastra realisme romantik. “Kisah hidup penulis dan teman seprofesinya dijadikan bahan cerita yang punya nilai jual juga, setelah ditulis dalam sebuah buku.” Kurang lebih seperti itulah komentar Arief Rahman (penulis angkatan muda di Pustaka Rumah Hantu) dalam membaca karya sastra teman-teman sendiri pada suatu sore di toko buku Gramedia. Lebih kurang seperti itulah pekerjaan kami selain menulis buku, berkomentar tentang buku-buku yang diterbitkan.
Analisa saya berkaitan dengan sejumlah karya sastra yang muncul dengan nama-nama baru. Menarik perhatian saya untuk melakukan pengamatan, meski secara permukaan saja, bahwa saya melihat suatu fenomena yang boleh jadi tidak disadari berpengaruh besar dampaknya pada masyarakat pembaca. Yakni revisi aliran realisme dalam sastra Indonesia yang cenderung hybrid ini.
Alih-alih, titik terang di ruang renungan sastra semakin redup. Barangkali saya diizinkan untuk membuat pernyataan bahwa sastra Indonesia kini terjebak dalam masa kegelapan. Sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah Pencerahan. Kegelapan yang berakar dari sejarah kesusastra yang tidak punya identitas, dan tidak bisa berdiri sendiri. Sastra Indonesia masih memerankan boneka Barbie. Sastra yang berada di bawah kekuasaan mesin politik yang dijalankan oleh elit politik Dan nampaknya hirarki perseteruan antar komunitas merupakan diskursus di luar struktur karya sastra yang permanen. Persoalannya adalah kesenjangan antar wacana, kritikus, dan pengarang memberikan kegamangan di mata masyarakat. Maka Pencerahan sastra sedang dicari dalam sejarah kepustakaan di tanah air ke depannya nanti.
Wacana sastra yang terus berputar-putar dalam lingkaran labirin teori sastra tanpa akhir, belum menemukan cakrawala pengetahuan kesusastra. Pengulangan wacana yang dipolitisir masih menggunakan paradigma yang sama. Dalam hal kritik juga masih berjalan dengan paradigma pengulangan yang sama. Adopsi teori dari Barat dan Eropah masih dianggap suplemen untuk meningkatkan prestige di mata akademisi dan publik umum. Bukan pembaruan. Kritik sastra surut saat senja usia merengkuh kritikus senior. Pada tulisan Agus Hernawan, diungkapkan bahwa, repitisi historis yang fenomenal ini, memang tidak memunculkan identitas yang tunggal. Sastra hanya dijadikan instrumen eksistensi idiologi komunitas (Media Indonesia, 28/4/04).
Dari pemandangan tersebut mendorong munculnya hipotesa, bahwa di satu sisi, individualisme dan materialisme menggerogoti identitas lokal subyek sastra, yang kemudian mengubah karya mereka menjadi karya sastra hibrid. Pada sisi lain, penulis atau pengarang, dituntut untuk terus berkarya di ruang perenungan yang papa seperti ini. Dan yang terjadi adalah, demam pragmatisme melalui sikap melibatkan diri. Karya sastra pun diciptakan berdasar kebutuhan materi dan popularitas. Beranjak dari cerapan pengarang terhadap realitas hidup masyarakat miskin di sekitarnya. Bisa dikatakan, menjual kemiskinan lewat karya sastra untuk tetap menjadi masyarakat miskin. Kegelapan ini semakin membawa kesusastra ke sudut yang paling terpuruk untuk bangkit. Bila keadaan ini tidak juga memacu semua subyek untuk membuat konsensus bersama dalam membangkitkan kesusastra Indonesia, tentunya kesusastra Indonesia tidak penting lagi untuk dibahas atau dikaji. Dengan demikian, fungsi sosial dan filosofis kesusastra bagi masyarakat jadi sempit. Sampai di titik inilah sejarah kesusastra Indonesia.
Kegamangan sastrawan muda, yang akhir-akhir ini menyeret mereka ke dalam ruang penciptaan yang dangkal isinya dan bersifat komersial saja. Menjadikan sastra eskapis ini menyerang dunia sastra populer. Pokok persoalan seksualitas mendominasi pembacaan novel-novel populer. Seperti banteng yang baru dibebaskan dari kandangnya. Tabu dipenjara, libido dibebaskan. Semboyan inilah yang berkibar di rak-rak toko buku bacaan populer. Novel-novel baru mengekspos dunia perempuan, disejajarkan dengan kehidupan malam para lonte, dan pelacuran di bawah umur. Masyarakat kota lebih dominan patriarkis yang hibrid, dan kecenderungan mengangkat tema-tema wacana anti-feminis lebih kentara. Contoh konkretnya, adalah penerbitan buku-buku analisa sosial yang berkaitan dengan libido dan praktik seksualitas melalui bentuk-bentuk aktifitas manusia urban, FX Rudy Gunawan salah satunya. Juga novel yang mengangkat persoalan nasib perempuan miskin yang menjadi pelacur untuk bertahan hidup. Seperti yang tertuang pada karya Muhidin M. Dahlan. Dan kehidupan lelaki malam bersama kupu-kupu malam di pelataran metropolitan juga menjadi bidikan pengarang seperti Moamar Emka. Lalu muncul juga penulis lain dengan keseragaman tema.
Saya jadi teringat pada naskah drama “RT 0, RW 0” karya Iwan Simatupang. Dalam rajutan narasi dialog yang ditulis Iwan Simatupang, persoalan sosial, tema pelacuran, dan eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Membuktikan bahwa tema sastra yang sempat muncul tahun 50-an itu kembali menggeliat di pustaka sastra sekarang. Inilah salah satu bentuk pengulangan dalam kesusastra Indonesia. Dimana persoalan identitas dan eksistensi manusia dibahas kembali. Dapatlah dimengerti bahwa budaya epigon sastra dengan berkiblat pasa dunia pustaka Barat, merupakan patron lama yang masih valid di era sekarang rupanya. Sastra Indonesia belum beranjak ke ruang sastra baru. Mengapa? Saya tidak bisa menjawab. Toh esai-esai sastra sampai karya sastra yang muncul dan dikaji ke permukaan diskursif jalan di tempat. Sastra pasca-kolonial kembali digemakan. Apakah aliran realisme magis seperti Gabriel García Márquez dari Kolombia dianggap sebagai inspirasi baru? Lalu gunjing aliran sastra realis terbagi menjadi dua patron derivat. Yakni realisme romantik yang dipopulerkan dalam karya-karya novel fiksi. Dan realisme magis yang di-idiologi-kan para penulis muda melalui novel serius.
Pada khazanah sastra realisme romantik, saya teringat sebuah novel Waiting, karya Ha Jin dari China, yang memperoleh National Book Award. Novel yang mengangkat kehidupan seorang perawat rumah sakit di negeri komunis, China. Wanita hadir sebagai penanda pengarang yang membawa pembaca meneropong seorang wanita yang berjuang di masa sulit, dalam situasi politik sedang menggejolak. Dalam novel itu, saya membaca kehidupan nyata yang dirajut dengan bahasa sastra secara gamblang dan lugas. Impresi-impresi tokoh begitu kentara memberikan perenungan pembacanya secara ekspresif dan mendalam. Menggambarkan kehidupan seperti kita yang mengalaminya. Dan terkesan lebih menyenangkan, penuh petualangan, lebih heroik dibanding kehidupan sebenarnya. Dilihat dari sudut lain, serpihan struktur novelnya terdapat pula serpihan patron realisme sosialis yang muncul pada tahun 30-an di Eropa Timur.
Fenomena lain adalah kompetisi antar aliran di tengah wacana sastra yang terus berulang. Realisme romantik versus realisme sosialis atau realisme magis. Saut Situmorang melihat gejala ini sebagai paradigma lama. Gejala ini muncul dari kalangan penulisnya sendiri. Sebuah paradigma dari generasi yang memaknai diri sebagai pekerja buku, kolektor dan pengrajin sastra. Ia menggeliat, membebaskan diri dari otoritas kritik ortodoks Eropa. Upaya generasi sastra baru ini berusaha mencapai kekuatan personal sebagai penulis mandiri. Hingga sebuah opini yang menyatakan bahwa ketiadaan gagasan besar yang melatari karyanya membuat dirinya sering diklaim sebagai karya yang kering dan tanpa visi (Media Indonesia, 28/4/04). Tapi hujatan iu tidak begitu signifikan mempengaruhi para penulis muda untuk terus berkarya se-kering apapun karya yang ditulisnya.
Ruang sastra yang se-idealnya ruang renungan masyarakat manusia merupakan cita-cita utopia. Karena persoalan elementer yang mendongak pikiran para penulis sulit melahirkan karya yang adekuat bagi kepustakaan. Penulis terjebak dalam lingkaran kemiskinan finansial, sehingga karya yang muncul pun hanya sebatas sastra entertain. Hiburan, profan, pseudo-religius, dan komersil. Sementara tanggungjawab karya sastra begitu besar bagi masyarakat dan dunia kepustakaan. Maka para penulis pun memilih berkarya dengan perenungan yang sebatas konsep saja. Untuk tetap bertahan dari hujatan, kritik sastra, dan terus berkarya untuk mencapai kepuasan finansial sebagai penulis. Hingga akhirnya impian itu buyar oleh gunjing penerbit buku yang mengalami kesulitan, lagi-lagi, persoalan finansial.
Bagaimana menyikapi paradigma hibrid ini, sementara sejarah tidak bisa ditunda-tunda? Saya hanya bisa menjawabnya dengan terus berkarya. Berpikir terus tanpa berkarya hanya kekeringan di lapangan kritik sastra. Muhidin menjawab keadaan ini dengan “keras kepala” yang terpaksa. Terus menulis walau se-hibrid apapun karya yang dihasilkan oleh buah pena dan gagasannya. Pramoedya Ananta Toer sering mengingatkan para penulis muda yang beliau temui usai acara peluncuran buku. “Menulis. Menulis. Menulis. Jangan berhenti menulis.” Nasehat itulah yang memberi semangat kepada penulis muda untuk terus berkarya. Karena dengan menulis, si penulis akan terasah pengetahuan dan batinnya, dan berbagi dengan pembaca perihal pengalaman penulis yang diperoleh dari petualangan hidupnya.