DATA TALK: Kemiskinan Di Provinsi Jambi
4 min readOPINI – Dalam Rancangan Teknokratik RPJMN Tahun 2025-2029, tingkat kemiskinan di Provinsi Jambi pada tahun 2025 di Provinsi Jambi, ditargetkan antara 5,28-5,78 persen. Ini menjadi tantangan buat Pemprov Jambi dan pemkab/kota, agar bisa menurunkan kemiskinan sebesar 2 persen hingga tahun 2025.
Memang tidak mudah mencapai target tersebut, faktanya Provinsi Jambi telah menunjukkan kinerja yang cukup mengesankan, masih dihantui oleh dampak COVID 19, Jambi mampu mengurangi jumlah orang miskin dari 8,07 persen pada tahun 2021 menjadi 7,58 persen pada tahun 2023. Dengan kondisi yang lebih baik seperti sekarang ini, Jambi seharusnya percaya diri bisa menekan angka kemiskinan sebagaimana dtargetkan.
Dengan semangat kebangkitan nasional tanggal 20 Mei hari ini, mari kita semua bangkit, bahu-membahu melenyapkan kemiskinan di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan lurah ini.
Statistik Kemiskinan
Bersumber dari Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh BPS, jumlah penduduk miskin di Provinsi Jambi, pada tahun 2023 tercatat sebesar 7,58 persen (data Maret 2023) dari total penduduk Jambi (3,7 juta jiwa). Tingkat kemiskinan ini berada di bawah tingkat nasional (9,57 persen).
Selama kurun waktu Bulan September 2022 hingga Maret 2023, jumlah orang miskin menurun sebanyak 3,14 ribu orang pada Maret 2023. Di perkotaan, jumlah penduduk miskin turun dari 127,80 ribu menjadi 125,30 ribu, sementara di perdesaan, jumlahnya turun dari 156,03 ribu menjadi 155,39 ribu.
Dilihat sebarannya, hanya tiga kabupaten di Provinsi Jambi dengan tingkat kemiskinan di atas tingkat nasional dan provinsi yakni, Kabupaten Tanjung Jabung (11,39 persen), Tanjung Jabung Barat (10,20 persen) dan Batanghari (10,05 persen). Sementara delapan kab/kota lainnya tingkat kemiskinannya, sudah di berada di bawah tingkat nasional.
Garis kemiskinan (GK) di Provinsi Jambi meningkat dari Rp545.870, – per kapita per bulan pada Maret 2022 menjadi Rp599.688, – per kapita per bulan pada Maret 2023, atau mengalami kenaikan 9,86 persen. GK merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM), yaitu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang diserakan dengan 2100 kilokalori perkapita per hari, serta Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) yaitu kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan, sehingga GK=GKM+GKNM. Implikasinya, ketika terjadi peningkatan inflasi di atas pertumbuhan ekonomi atau dengan pendapatan yang tetap, risikonya adalah akan banyak penduduk yang jatuh miskin.
Sebagai upaya menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem, Provinsi Jambi berhasil menurunkannya dari 1,16% menjadi tinggal 0,81% pada tahun 2022.
Tiga daerah yang paling banyak penduduk dengan kemiskinan ekstrem, yang tertinggi adalah Tanjung Jabung Barat, diikuti oleh Kota Jambi dan Tanjung Jabung Timur.
Fokus perhatian
Menurunnya kemiskinan di Provinsi Jambi terutama dipengaruhi oleh perbaikan pada kriteria pembentuknya, terutama terjadinya pengurangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Jambi. TPT Pada Februari 2024 menunjukkan hasil yang menggembirakan, yaitu sebesar 4,5 persen, turun 0,05 persen poin dibandingkan Februari 2023, di bawah rata-rata nasional (6,8%).
Perhatian yang lebih besar perlu diberikan terhadap upaya penurunan kemiskinan di Kabupaten Tanjabtim, Tanjabbar dan Batanghari. Untuk Tanjabtim dan Tanjabbar, kemiskinan disebabkan oleh lokasi yang terisolasi dan sulitnya jalur transportasi. Pembangunan barang publik seperti jalan dan drainase, perlu mendapat alokasi anggaran yang cukup. Selain itu, penggunaan sumber air minum merupakan kriteria yang harus mendapat prioritas mengingat kondisi lahan yang sebagian besar berupa rawa.
Untuk Kabupaten Batanghari, masalah peliknya adalah tingginya Indeks Perkembangan Harga (IPH), bahkan pernah mencapai yang tertinggi di Indonesia, yakni 9,13 persen (pada bulan Juni 2023). Besar kemungkinan ini disebabkan oleh distribusi barang dan jasa yang terhambat karena kabupaten ini merupakan koridor utama angkutan batubara yang sering menimbulkan kemacetan. Hal ini juga pernah diutarakan oleh Bupati Batanghari Muhammad Fadil Arief, dalam satu kesempatan pertemuan di Kota Jambi, kemacetan angkitan batubara berdampak serius terhadap tingkat investasi di daerah ini.
Tingkat kemiskinan juga dipengaruhi oleh ketimpangan sebagai konsekuensi dari suatu pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Bappenas (2024) melaporkan Gini Rasio (GR) di Provinsi Jambi pada tahun 2023 tercatat sebesar 0,32, masih berada di bawah rata-rata nasional (0,38). Meskipun berada di kategori “rendah”, memang terjadi peningkatan GR hingga Februari 2024 (0,34) yang menunjukkan adanya kesenjangan pengeluaran masyarakat yang semakin melebar. Kenaikan GR lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal terutama adanya kebijakan di luar kewenangan Provinsi, seperti proses pemberian izin usaha pada sektor pertambangan dan kehutanan.
Salin itu, juga disebabkan oleh meningkatnya pendapatan kelompok kaya, namun terjadi penurunan pendapatan kelompok miskin akibat inflasi atau harga kebutuhan pokok yang tinggi, dan kurangnya akses terhadap peluang ekonomi seperti pendidikan, pelatihan, dan lapangan kerja yang berkualitas bagi kelompok masyarakat miskin dan menengah.
Meskipun ada berbagai tantangan, dari informasi yang sudah diurai di atas, menunjukkan bahwa upaya pemerintah Provinsi Jambi melalui program yang dilaksanakan, seperti program DUMISAKE (Dua miliar satu kecamatan) membuahkan hasil. Namun yang perlu diperhatikan adalah lokus program ini yang seyogyanya memprioritaskan pada kecamatan-kecamatan yang memiliki kantong-kantong kemiskinan, terutama yang memiliki kemiskinan ekstrem lebih banyak.
Dengan sinergi dan kerja keras semua pihak, Jambi dapat menuju masa depan yang lebih cerah dengan tingkat kemiskinan yang semakin rendah. (Diskominfo Provinsi Jambi/Penulis: Muhammad Ridwansyah/Ekonom Universitas Jambi/Ketua Pusat Unggulan Ipteks Perencanaan Bisnis dan Investasi Agroindustri dan Lingkungan, Universitas Jambi)