Musri Nauli: Cerita Birokrasi
3 min readJAMBIDAILY JURNAL – Setelah rapat dipimpin Kepala Daerah, disebabkan adanya kegiatan lain, maka Kepala Daerah kemudian meninggalkan rapat. Rapat selanjutnya dipimpin oleh Wakil Kepala Daerah.
Tanpa sebab, tiba-tiba Kepala Daerah bergumam
“Nah. Itu dia. Mengapalah pentingnya ada dari birokrat. Biar dia paham. Supaya ngomong tidak boleh sembarangan. Kadang keinginan harus sesuai dengan peraturan”, katanya sembari mematikan microphone yang terletak didepannya.
Dalam kesempatan lain, kudengar juga “Ntah apo yang disampaikannya. Sayopun tidak mengerti”, kata wakil Kepala Daerah.
Memenangkan Pilkada tanpa memahami teori birokrasi menyebabkan kesulitan didalam pelaksanaan program pembangunan. Belum lagi kultur birokrasi di Indonesia.
Mengingat cerita teman yang sampai 3 hari mengadakan Rapat Kerja Nasional dengan Menteri. Lengkap dengan Para Dirjen.
Berbagai persoalan disampaikan. Berbagai rencana kemudian disusun. Entah mengapa kemudian ditingkat pelaksanaan, sama sekali nol besar.
Rencana yang disusun bahkan lengkap dengan roadmap, table waktu pelaksanaan bahkan tahap-tahap pekerjaan yang mau dilakukan hanyalah menjadi dokumen. Tumpukan kertas. Dan sama sekali tidak berarti.
Problema utamanya adalah “kepala”, “manager” bahkan “pengambil keputusan” tidak memahami birokrasi.
Secara harfiah, kata “birokrasi” berasal dari “biro” dan “kratia”. Istilah dari abad 18 yang menyebutkan “biro” (bureau/Bereaucratie/Bureaukratia) diterjemahkan “meja tulis”. Selain itu sering juga diterjemahkan sebagai tempat para pejabat bekerja.
Berbagai literatur kemudian menyebutkan “orang atau pejabat yang duduk dalam Lembaga birokrasi yang dapat mempengaruhi”.
Sebagai bagian dari demokrasi, birokrasi harus bekerja untuk kepentingan publik. Max Weber menempatkan “birokrasi” sebagai “memisahkan antara kantor dan si pemegang jabatan. Kondisi yang tepat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan otoritas yang disusun secara sistematik antara kedudukan, hak dan kewajiban yang diatur dengan tegas.
Problema muncul ditingkat kultur birokrasi. Bagaimana regulasi sering mengatur untuk urusan menjadi panjang dan bertele-tele.
Masih ingat ketika program e-KTP. Progam nasional yang digagas untuk “single identity card”. Sebuah program yang membuat satu data kependudukan di Indonesia.
Namun selain kemudian menimbulkan kehebohan dalam persoalan korupsi, gagasan awal “single identity card” menjadi gagal.
Lihatlah. Bagaimana hampir setiap urusan mesti harus photocopy KTP. Padahal dengan “scanning” KTP, maka seluruh data-data kependukan langsung muncul. Tanpa harus melakukan pengisian data manual.
Sehingga tidak salah kemudian program “single identity card” kemudian malah cuma menjadikan KTP kertas menjadi KTP plastik.
Semangat awal “single identity card” kemudian menjadi gagal.
Kegagalan pendataan kependudukan nasional menyebabkan berbagai data-data kependudukan menjadi masalah.
Lihatlah. Bagaimana data yang ambural menimbulkan persoalan “gas 3 kg”, data “beras subsidi”, “bantuan tunai” menjadi tumpeng tindih. Antara satu instansi pemerintah berbeda satu dengan yang lain.
Sehingga tidak salah kemudian berbagai gejolak ditengah masyarakat menyebabkan konflik horizontal.
Bantuan yang diterima masyarakat tidak menjangkau masyarakat yang membutuhkan. Selain juga adanya masyarakat yang tidak berhak menerima namun kemudian menikmati fasilitas bantuan dari negara.
Begitu juga dengan pendataan menghadapi pemilu. Dengan data yang tersentral, justru tidak ada “suara siluman” yang muncul menjelang pemilu.
Atau kehebohan data kependudukan menjelang masuk tahun ajaran baru. Berbagai sekolah ternyata justru tidak menampung anak-anak yang justru tinggal di sekitar sekolah.
Sehingga tidak salah kemudian Indonesia mengalami kegelapan.
Satu problema pendataan menyebabkan birokrasi menjadi gemuk, bertele-tele dan rumit.
Padahal disaaat milenimum abad modern, birokrasi harus menyesuaikan dengan pola kerja “good government”. Para birokrasi sudah memaparkan pekerjaan yang akan dilakukan dengan prinsip “transparansi” dan “dapat dipertanggungjawabkan (accountable).
Informasi yang bersifat publik harus terbuka untuk umum. Akses terhadap informasi merupakan keharusan zaman canggih seperti ini.
Berbagai aplikasi seperti “e-government”, “e-Procurement”, “e-budgetting” merupakan bagian tidak terpisahkan dari “good government” dan “accountable. Dan aplikasi merupakan keharusan.
Problema semakin rumit ketika pimpinan daerah tidak menguasai birokrasi. Dan tidak memahami kultur birokrasi.
Sehingga tidak salah kemudian “ketertinggalan daerah” disebabkan dengan “informasi yang tidak utuh”.
Dan waktu tidak mau menunggu untuk menyambut perubahan zaman.(*/Advertorial)
Oleh : Musri Nauli SH (Dir Media Al Haris-Abdullah Sani)