Editorial: Nazarman
JAMBI DAILY. COM-Penunjukan pejabat Pelaksana Tugas (Plt) kepala OPD di Merangin semakin menimbulkan kegelisahan publik. Bukan hanya soal aturan birokrasi yang tampak diabaikan, tetapi juga soal moralitas kekuasaan yang dipertaruhkan.
Kasus paling nyata terlihat di Dinas Kesehatan. Bupati menunjuk kembali dr. G Sony Presmana sebagai Plt Kepala Dinas Kesehatan, padahal ia sudah resmi dilantik sebagai Kepala BKKBN Merangin. Secara etika birokrasi, keputusan ini jelas janggal. Bukankah lebih layak bila posisi itu dipercayakan kepada Mas’ut, pejabat internal yang kini menjabat Sekretaris Dinas Kesehatan? Mengapa pejabat dalam justru diabaikan?
Kejanggalan serupa juga terjadi di Dinas Perkebunan dan Peternakan. Setelah Hendri Widodo dilantik menjadi Staf Ahli, jabatan Plt kepala dinas malah diberikan kepada Daryanto, Kabag Perekonomian Setda. Padahal, secara aturan dan kewajaran, kursi itu seharusnya diemban oleh Eri Sandi, sekretaris dinas yang sudah ada di dalam struktur.
Hal yang sama berlaku di Dinas Kominfo. Jabatan Plt kepala dinas dipercayakan kepada Akhmad Khoirudin (Akhoi), yang saat ini masih menjabat Sekretaris BPPRD. Lagi-lagi, pejabat internal Kominfo dikesampingkan, sementara orang luar justru masuk dan memegang kendali.
Di balik semua ini, beredar kabar bahwa penempatan sejumlah Plt tidak lebih dari hasil kompromi politik. Nama Daryanto dan Akhoi disebut-sebut sebagai loyalis wakil bupati, sekaligus bagian dari basis politik komunitas Jawa Merangin. Sementara penunjukan kembali dr. G Sony di Dinas Kesehatan menguatkan dugaan adanya kepentingan tertentu yang ingin diamankan, baik terkait proyek maupun jabatan definitif yang akan segera diisi.
Kondisi ini berbahaya. Sebab, jabatan Plt yang seharusnya hanya bersifat administratif sementara, justru berubah menjadi alat transaksi politik. ASN yang seharusnya berkarier berdasarkan meritokrasi, terhenti hanya karena tidak masuk lingkaran kekuasaan tertentu.
Editorial ini menegaskan: birokrasi Merangin sedang berada di tepi jurang. Jika jabatan publik terus ditentukan oleh siapa dekat dengan siapa, bukan oleh kompetensi dan aturan, maka pelayanan publik akan runtuh. Lebih buruk lagi, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah daerah. Dan ketika kepercayaan publik hilang, legitimasi kekuasaan pun perlahan ikut runtuh.***











