Oleh: Kholid Ansori, S.E., M.M. (Dosen FEBI Universitas Islam Batang Hari)
PADA pertengahan tahun 2025, Pemerintah Kabupaten Batang Hari mengambil langkah besar dalam kebijakan kepegawaian dengan mengangkat ribuan tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Bupati M. Fadhil Arief secara resmi melantik sebanyak 1.077 orang PPPK pada gelombang pertama, terdiri atas 31 tenaga fungsional guru, 101 tenaga kesehatan, dan 945 tenaga teknis.
Gelombang berikutnya tidak kalah besar, yakni 1.742 orang yang terdiri dari 1.472 tenaga teknis dan 273 tenaga kesehatan. Jika dijumlahkan, sepanjang tahun 2025 Batang Hari telah melantik sekitar 2.819 orang PPPK. Jumlah ini bahkan diyakini hampir menyamai, atau bahkan melampaui, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang ada di lingkup pemerintahan Kabupaten Batang Hari.
Besarnya angka pengangkatan ini menimbulkan perdebatan sekaligus kegelisahan. Di satu sisi, kebijakan tersebut dianggap sebagai bentuk keadilan bagi tenaga honorer yang selama bertahun-tahun bekerja dalam ketidakpastian. Status mereka kini menjadi lebih jelas, dengan kepastian penghasilan yang tetap dan perlindungan hukum yang lebih baik.
Kejelasan ini tentu dapat meningkatkan motivasi kerja, loyalitas, dan moralitas para pegawai. Harapannya, pelayanan publik akan semakin baik karena didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki status dan kedudukan yang lebih pasti.
Namun, jika dicermati lebih dalam, kebijakan ini menyimpan sejumlah konsekuensi serius. Secara tradisional, jabatan honorer di instansi teknis—seperti bagian perencanaan, pekerjaan umum, atau keuangan—memang sering kali berfungsi sebagai “cadangan” tenaga kerja, mengisi celah sementara ketika beban pekerjaan meningkat atau ketika terdapat kekosongan pada posisi PNS yang belum terpenuhi.
Meski demikian, data lapangan menunjukkan bahwa banyak dari posisi tersebut tidak memerlukan tambahan personel. Di sejumlah kantor teknis, tugas-tugas operasional dapat diselesaikan secara efisien oleh PNS yang sudah ada, bahkan tanpa melibatkan tenaga honorer. Pengangkatan tenaga teknis dalam jumlah besar, seperti terlihat dari dominasi formasi teknis yang mencapai lebih dari seribu orang, menimbulkan pertanyaan apakah keputusan ini benar-benar didasarkan pada kebutuhan birokrasi yang nyata atau sekadar untuk menyerap formasi yang tersedia
Jika analisis jabatan tidak dilakukan secara cermat sebelum menetapkan kebutuhan tenaga ASN, konsekuensi yang muncul adalah penumpukan pegawai di satu instansi dengan uraian pekerjaan yang tidak jelas. Kondisi ini berpotensi menciptakan tumpang tindih, kebingungan peran, serta melemahkan akuntabilitas.
Pegawai yang terlalu banyak tanpa pembagian tugas yang tegas dapat menyebabkan tanggung jawab menjadi bias, sehingga kinerja pelayanan publik justru menurun. Dengan kata lain, jumlah pegawai yang banyak tidak selalu identik dengan meningkatnya kualitas pelayanan.
Persoalan berikutnya yang tidak kalah penting adalah implikasi terhadap keuangan daerah. Meningkatnya jumlah PPPK secara otomatis menambah beban belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Setiap pegawai membutuhkan gaji, tunjangan, serta hak-hak lainnya yang menyedot porsi besar anggaran.
Konsekuensinya, ruang fiskal menjadi semakin sempit. Ruang sempit ini dapat menghambat pembangunan infrastruktur, program pelayanan publik, dan berbagai kebijakan yang berorientasi langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Memang benar bahwa dari sisi ekonomi makro, semakin banyak belanja pemerintah untuk menggaji aparatur dapat berdampak positif terhadap perputaran uang di masyarakat. Uang gaji yang diterima ASN, termasuk PPPK, akan dibelanjakan di pasar lokal, warung, dan usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Hal ini mendorong tumbuhnya konsumsi rumah tangga yang pada gilirannya menggerakkan roda perekonomian daerah. Namun, jika belanja pegawai membengkak tanpa diikuti produktivitas yang memadai, maka keuntungan jangka pendek tersebut bisa berubah menjadi beban jangka panjang. Pemerintah daerah harus menanggung biaya pegawai besar setiap tahun, sementara investasi pembangunan fisik maupun nonfisik menjadi terpinggirkan.
Di sisi lain, harapan tetap ada. Bupati Batang Hari sendiri dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa PPPK diharapkan menjadi garda terdepan pelayanan publik. Mereka dituntut disiplin, berkomitmen, dan mampu menunjukkan kinerja yang nyata.
Jika aparatur baru ini benar-benar diarahkan dan dilatih, maka keberadaan mereka dapat memberikan energi baru dalam tata kelola pemerintahan. Akan tetapi, harapan itu tidak cukup tanpa instrumen pendukung yang kuat. Diperlukan pembinaan, pelatihan, serta evaluasi kinerja secara berkelanjutan agar ribuan pegawai baru ini tidak hanya menjadi beban, tetapi menjadi kekuatan yang mampu memperbaiki kualitas layanan.
Dengan demikian, kebijakan pengangkatan honorer menjadi PPPK di Kabupaten Batang Hari perlu ditempatkan dalam bingkai evaluasi yang menyeluruh. Pemerintah daerah harus berani melakukan analisis jabatan yang detail untuk memastikan bahwa jumlah pegawai sesuai dengan kebutuhan riil birokrasi.
Evaluasi kinerja juga harus dilakukan secara berkala dengan mengukur output dan outcome, bukan sekadar input berupa jumlah pegawai. Anggaran belanja pegawai harus dikelola secara hati-hati agar tidak mengorbankan porsi pembangunan yang lain. Koordinasi antara PNS dan PPPK perlu dijalankan dengan jelas, agar peran masing-masing tidak saling menumpuk dan membingungkan.
Pada akhirnya, pengangkatan massal honorer menjadi PPPK memang menghadirkan dua wajah yang berbeda.
Wajah pertama adalah optimisme, di mana tenaga honorer yang lama terpinggirkan kini mendapat pengakuan yang layak, sekaligus peluang untuk memperbaiki pelayanan publik.
Wajah kedua adalah keraguan, karena jumlah yang terlalu besar berpotensi menjadi beban fiskal dan administrasi.
Pilihan kini ada pada pemerintah daerah: apakah menjadikan momentum ini sebagai pintu masuk perbaikan birokrasi, atau sekadar langkah populis yang dalam jangka panjang bisa menyulitkan pembangunan.
Kabupaten Batang Hari memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa kebijakan ini bukan sekadar pencitraan, melainkan langkah strategis menuju birokrasi yang lebih efisien, transparan, dan benar-benar berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Agar hal tersebut terwujud, perlu keberanian, konsistensi, dan integritas dalam menata ulang struktur kepegawaian serta mengendalikan anggaran secara bijaksana. Hanya dengan cara itu, ribuan PPPK yang baru saja diangkat dapat benar-benar menjadi bagian dari solusi, bukan menambah persoalan. ***











