JURNAL PUBLIK

Etika Konstruksi Kunci Hentikan Korupsi dan Bangun Kepercayaan Publik

×

Etika Konstruksi Kunci Hentikan Korupsi dan Bangun Kepercayaan Publik

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM
(Pengamat Pembangunan Infrastruktur, Akademisi dan Praktisi Konstruksi)

Pembangunan infrastruktur bukan semata soal beton dan baja, melainkan cermin dari integritas suatu sistem. Di balik jalan yang terbentang, jembatan yang berdiri, atau gedung pelayanan publik yang selesai dibangun, ada proses panjang yang semestinya ditopang oleh etika, profesionalisme, dan tanggung jawab moral.

Namun dalam praktiknya, di banyak daerah termasuk Provinsi Jambi, idealisme ini terlalu sering dikalahkan oleh realitas pragmatis: kepentingan politik, permainan proyek, serta budaya transaksional yang mengabaikan nilai-nilai dasar integritas. Maka, pembangunan pun kehilangan makna substansialnya—menjadi rutinitas anggaran, bukan pengabdian pada masyarakat.

Etika konstruksi sejatinya merupakan pondasi utama dalam setiap tahap pembangunan, baik dalam perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, maupun pengawasan. Namun etika ini kerap terpinggirkan ketika praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme justru menjadi “mekanisme informal” yang melanggengkan proyek.

Dalam teori Moral Hazard (Holmström, 1979), perilaku menyimpang dapat terjadi ketika pelaku merasa tidak akan menerima konsekuensi langsung atas tindakannya. Hal ini diperparah oleh lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas di banyak proyek konstruksi daerah.

Kontraktor yang mengurangi volume dan spesifikasi teknis, konsultan yang meloloskan laporan manipulatif, hingga oknum pejabat yang bermain dalam proses tender, adalah cerminan dari krisis etika struktural yang merusak wajah pembangunan.

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2024 menunjukkan bahwa sektor pengadaan barang dan jasa, termasuk konstruksi, menempati posisi tertinggi dalam kasus korupsi di Indonesia. Sebanyak 36% dari total kasus korupsi yang diungkap aparat penegak hukum berkaitan langsung dengan proyek pemerintah.

Di Jambi sendiri, dari pengamatan beberapa kasus konstruksi bermasalah telah ditangani oleh Kejaksaan Tinggi, mulai dari pembangunan jalan, irigasi, hingga gedung publik. Modusnya beragam: mulai dari penggelembungan harga (mark-up), proyek fiktif, hingga pembayaran untuk pekerjaan yang tidak sesuai volume dan spesifikasi teknis. Situasi ini memperkuat dugaan bahwa penyimpangan sudah bukan insiden, melainkan pola yang sistemik.

Untuk memahami akar masalah ini, kita dapat merujuk pada Agency Theory (Jensen & Meckling, 1976), yang menjelaskan hubungan antara pemberi amanat (prinsipal) dan pelaksana (agen). Ketika mekanisme kontrol tidak berjalan efektif, agen cenderung menjalankan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan tujuan bersama.

Dalam konteks konstruksi, pemerintah sebagai prinsipal sering gagal mengawasi penyedia jasa secara optimal, sementara masyarakat sebagai penerima manfaat nyaris tidak memiliki ruang partisipasi yang memadai untuk mengawal proyek yang menggunakan uang mereka sendiri.

Di sinilah pentingnya menata ulang etika konstruksi. Bukan hanya dengan membuat aturan baru atau menambah dokumen prosedural, tetapi dengan membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya integritas di seluruh lini.

Etika tidak cukup hanya dikodifikasi dalam dokumen resmi seperti Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, melainkan harus menjadi nilai hidup yang diinternalisasi oleh para pelaku—kontraktor, konsultan, ASN teknis, hingga pengambil kebijakan.

Dunia konstruksi harus bebas dari mentalitas “asal jadi”, karena kualitas pembangunan tidak bisa dilihat hanya dari selesai atau tidaknya proyek, tetapi dari seberapa jujur dan transparan proses itu dijalankan.

Aspek lain yang sangat penting adalah membuka ruang kebebasan publik dalam mengawasi proses pembangunan. Di era digital, seharusnya tidak sulit bagi masyarakat untuk mengakses informasi proyek: siapa pelaksananya, berapa anggarannya, berapa progres fisiknya, dan bagaimana pelaporannya. Transparansi ini bukan hanya soal akuntabilitas, tapi juga menjadi benteng terhadap praktik penyimpangan.

Ketika masyarakat dilibatkan dalam kontrol sosial, maka probabilitas terjadinya korupsi akan jauh menurun (UNDP Indonesia, 2022). Pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait harus mulai membangun sistem pelaporan berbasis komunitas, yang aman dan terproteksi, agar warga dapat menyampaikan temuan lapangan secara bebas tanpa takut intimidasi.

Pendidikan etika juga tidak boleh dilupakan. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dan asosiasi badan usaha dan profesi seperti Gapensi, Inkindo, dan lainnya harus menempatkan integritas sebagai inti dari setiap program sertifikasi dan pembinaan.

Dunia akademik—khususnya perguruan tinggi teknik dan kejuruan—harus menjadikan etika profesi sebagai materi yang aplikatif, tidak hanya formalitas mata kuliah. Para mahasiswa dan calon profesional konstruksi perlu diajarkan bahwa kualitas pekerjaan adalah cerminan dari kualitas nurani. Bahwa bekerja di sektor publik berarti mempertanggungjawabkan hasil kerja tidak hanya kepada atasan, tapi juga kepada rakyat dan masa depan bangsa.

Menata ulang etika konstruksi bukan sekadar agenda teknis, tapi transformasi nilai. Ini menuntut keberanian kolektif untuk keluar dari zona nyaman, membongkar budaya permisif, dan menolak kompromi dengan ketidakjujuran. Di tengah tuntutan pembangunan yang semakin kompleks dan cepat, integritas harus tetap menjadi landasan utama. Jika tidak, maka pembangunan fisik sebesar apapun tidak akan mampu menutup keretakan moral yang perlahan menggerogoti sistem.

Sudah waktunya pembangunan tidak hanya dinilai dari jumlah proyek atau serapan anggaran, tetapi dari sejauh mana pembangunan itu dilakukan dengan jujur, adil, dan bermartabat. Etika adalah infrastruktur tak kasat mata yang menopang keberhasilan proyek fisik. Tanpa itu, jalan bisa dibangun, tapi kepercayaan publik hancur. Jembatan bisa berdiri, tapi hubungan antara negara dan rakyat bisa runtuh.

Jika semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, pelaku jasa konstruksi, aparat pengawas, hingga masyarakat sipil, mampu menyepakati pentingnya etika sebagai pilar utama pembangunan, maka barulah kita bisa bicara tentang pembangunan yang benar-benar berkelanjutan.

Karena membangun bangsa bukan hanya tugas insinyur atau teknokrat, melainkan juga panggilan nurani bagi siapa saja yang ingin negeri ini maju secara utuh—fisik dan moral.

Daftar Pustaka

  1. ICW (Indonesia Corruption Watch). (2024). Laporan Tren Korupsi Pengadaan dan Infrastruktur di Indonesia.
  2. Jensen, M.C. & Meckling, W.H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics.
  3. Holmström, B. (1979). Moral Hazard and Observability. Bell Journal of Economics.
  4. LPJK Nasional. (2023). Pedoman Etika dan Kompetensi Jasa Konstruksi.
  5. UNDP Indonesia. (2022). Good Governance in Public Procurement: Lessons from Indonesia.
  6. Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.