banner 120x600
banner 120x600
JURNAL PUBLIK

Pola Sudah Terbaca, Giliran Penegak Hukum Bekerja

×

Pola Sudah Terbaca, Giliran Penegak Hukum Bekerja

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nazarman

JAMBIDAILY.COM-Setelah rangkaian pemberitaan membuka keterkaitan antarproyek dan pengakuan para pihak sendiri, persoalan proyek jalan di Merangin kini berada pada fase yang berbeda. Ia tidak lagi menuntut pembuktian awal, melainkan pembacaan hukum. Yang tersisa bukan lagi pertanyaan apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya dilakukan negara.

Pengakuan rekanan tentang keterlambatan akibat menangani terlalu banyak paket yang diperkuat oleh keterangan pejabat teknis Dinas PUPR telah membentuk satu benang merah. Sejumlah ruas jalan, mulai dari Tanjung Alam, Tanjung Mudo, Lubuk Birah–Durian Rambun hingga Tiaro–Sepantai, menunjukkan pola yang seragam: paket banyak, kapasitas dipertanyakan, progres tertinggal, namun kontrak tetap berjalan.

Dalam hukum pengadaan, situasi ini bukan wilayah abu-abu. Ketika satu kendali menguasai banyak paket melalui perusahaan berbeda, persoalannya tidak lagi dibaca sebagai kelalaian teknis, melainkan potensi penguasaan proyek yang sistematis.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara jelas melarang praktik monopoli dan persekongkolan tender. Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 22 memberi ruang bagi negara untuk menguji apakah perusahaan-perusahaan tersebut benar-benar berdiri mandiri atau sekadar menjadi lapisan administratif dari satu kendali yang sama. Di titik ini, kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) semestinya bekerja aktif, bukan menunggu situasi memburuk.

Pada saat yang sama, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 jo. Perpres 12 Tahun 2021 menempatkan PPK dan PPTK sebagai pengendali utama. Pasal 7 dan Pasal 78 tidak hanya memberi kewenangan, tetapi juga kewajiban untuk menjatuhkan sanksi ketika penyedia tidak memiliki kapasitas riil dan gagal memenuhi kontrak. Ketika kewenangan itu tidak dijalankan, maka masalahnya bukan ketiadaan aturan, melainkan keberanian menegakkan aturan.

Di sinilah relasi kuasa mulai terasa. Proyek bermasalah tidak segera diputus, waktu terus berjalan, dan sanksi seolah menjadi opsi terakhir. Padahal, hukum pengadaan tidak mengenal kompromi berbasis kedekatan—ia hanya mengenal kepatuhan atau pelanggaran.

Lebih jauh, pembiaran semacam ini beririsan langsung dengan hukum pidana. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membuka ruang pertanggungjawaban tidak hanya bagi pelaku aktif, tetapi juga bagi mereka yang mengetahui, memiliki kewenangan, dan memilih tidak bertindak. Pasal 2 dan 3, Pasal 8, serta Pasal 9 menjadi pengingat bahwa kerugian negara tidak selalu berbentuk uang yang hilang, tetapi juga mutu yang dikorbankan dan manfaat publik yang gagal diwujudkan.

Pada titik ini, peran media sejatinya telah tuntas: mencatat pengakuan, merangkai pola, dan menghubungkannya dengan norma hukum. Tahap berikutnya bukan lagi wilayah pemberitaan, melainkan wilayah penegakan hukum.

Aparat penegak hukum tidak sedang diminta memberi pernyataan, apalagi pembelaan. Mereka diminta menjalankan fungsi dasarnya. Sebab dalam negara hukum, diam di hadapan pola yang telah berulang bukanlah sikap netral ia adalah keputusan.

Dan setiap keputusan untuk tidak bertindak, cepat atau lambat, akan dibaca publik sebagai bagian dari masalah itu sendiri.***

Tinggalkan Balasan