Survei : Hambatan Kebebasan Pers 2020 Cukup Besar
6 min readJAMBIDAILY HUKUM- Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun, menilai Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2020, menunjukkan masih adanya hambatan yang cukup besar yang dihadapi dunia pers di Indonesia.
“Hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers tahun 2020 mencapai skor 75, 27 meningkat sedikit dibandingkan dengan angka 73,71 yang merupakan skor IKP tahun 2019,” kata Hendry, yang mengacu pada hasil data yang tertera dalami Buletin Etika Dewan Pers edisi Agustus 2020 yang diluncurkan pekan lalu, Seperti dilaporkan mimbar-rakyat.com grup siberindo.co.
Skor ini masuk dalam kategori cukup bebas, yang dapat diterjemahkan sebagai kondisi kemerdekaan pers di Indonesia sepanjang tahun 2019 sedang-sedang saja karena masih di bawah kondisi “baik”. Yang paling ideal tentu kalau skor sudah mencapai angka 80 ke atas atau kategori baik.
BACA JUGA :14 Hari kedepan Seluruh Area Publik Dalam kota Jambi Ditutup dan Berlaku Jam Malam
Hasil survei menunjukkan masih cukup besar hambatan yang dihadapi pers di Indonesia, baik karena faktor di dalam dirinya sendiri maupun lingkungannya yakni masyarakat dan pemerintah, serta berbagai keadaaan dan unsur yang melingkupinya.
Sebagimana diketahui, ada tiga lingkungana yang disurvei yakni Lingkungan Fisisk dan Politik, Lingkungan Ekonomi, dan Lingkungan Hukum, dengan 20 indikator. Dari survei diketahui ada 10 indikator dengan angka relatif rendah.
Dari Lingkungan Fisik dan Politik, skor terendah adalah Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan 71,96 kemudian Kebebasan dari Intervensi 74,96.
Dari Lingkungan Ekonomi indikator Tata Kelola Perusahaan yang Baik skornya 70,85 sementara Independensi dari Kelompok Kepentingan Kuat sebesar 71,36. Kemudian dari lingkungan Hukum, skor terendah ada di indicator Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas 63,56, Etika Pers mendapat skor 73,77 lalu indicator Independensi dan Kepastian Hukum Lembaga Peradilan mencatat skor 74,41.
IKUTI JUGA :Pilkada Di Masa Pandemi, Pemkab Gelar Rakor Penegakan Hukum Protokol kesehatan
Skor di atas menunjukkan bahwa masalah akses bagi Kelompok Rentan dan Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas, belum mendapatkan perhatian besar dari kalangan pers– meskipun sebenarnya itu bukanlah murni urusan pers, tetapi lebih pada perannya untuk memperjuangkan dalam memberdayakan mereka– agar lebih diperhatikan negara.
***
Terkait dengan Indikator Kebebasan dari Intervensi, temuan yang didapat dari survei yaitu masih adanya intervensi pemilik media terhadap ruang redaksi, selain masih terganggunya ruang pemberitaan akibat dari kepentingan politik dan ekonomi.
“Negara tidak lagi menjadi ancaman yang di zaman Orde Baru dulu diperlihatkan melalui campur tangan apparat penegak hokum untuk menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diberitakan, atau bagaimana cara memberitakannya,” kata Hendry.
Dalam kondisi sekarang pemilik sudah dinilai biasa mempengaruhi ruang redaksi, baik karena kepentingannya sendiri—politik dan bisnis—ataupun untuk mengakomodir kepentingan penguasa.
Hal itu terkonfirmasi dengan skor yang tidak jauh berbeda dengan skor di indicator Independensi dari Kelompok kepentingan Kuat, yang dapat terwujud sebagai individu atau perusahaan komersial, kekuatan politik atau partai politik, dan pemilik media, yang mengucurkan anggaran atau belanja dalam bentuk iklan untuk perusahaan media.
Artinya gangguan terhadap kemerdekaan pers dapat dilakukan melalui ancaman dan intimidasi, juga dengan jalinan kerjasama bisnis atau kemitraan, yang menciptakan ketergantung bagi pihak media. Sebab apabila kucuran anggaran distop maka kesehatan operasional perusahaan pers akan terganggu.
Kesejahteraan yang rendah—media di daerah umumnya belum mampu memberikan gaji setara dengan Upah Mininum Provinsi—membuat etika pers menjadi persoalan besar.
“Temuan yang diperoleh dari survei IKP menunjukkan bahwa toleransi atas pemberiaan uang atau fasilitas dari individu atau lembaga sama besarnya antara yang menolak dan menerima,” katanya.
Ada yang menilai sejauh tidak mempengaruhi berita yang dibuat, tidak masalah, padahal dalam Kode Etik Jurnalistik ditegaskan wartawan dilarang menerima suap dalam bentuk apapun terkait berita. Persoalannya bukanlah soal mempengaruhi atau tidak, tetapi profesi wartawan melarang menerima pemeberian itu sesuai kode etiknya.
“Kondisi di atas juga akan berkaitan dengan seberapa besar media mengakomodir pemberitaan yang bermuara pada kepentingan publik. Apabila pemerintah, perusahaan komersial, kelompok dan orang-orang politik, serta pemilik sudah “menguasai” wartawan, wilayah newsroom, dan perusahaan pers, maka kecenderungan yang terjadi adalah menomerduakan kepentingan publik,” tambah Hendry.
Itu juga tergambar dengan amat rendahnya skor indicator Kesetaraan Akses bagi Kelompok Rentan, nomer 19 dari 20 indikator survei. Kalangan masyarakat adat, pembela lingkungan, persoalan perempuan, minoritas, tidak mendapatkan perhatian memadai dari media.
***
Yang tidak kalah menarik untuk dilihat adalah skor Indikator Mekanisme Pemulihan di Lingkungan Hukum yang mencapai angka 77,65 yang relatif tinggi karena skor total IKP adalah 75,27.
Para informan yang disurvei untuk penyusuhan IKP ini percaya bahwa penanganan kasus pers (dengan mekanisme Undang-Undang Pers) di Dewab Pers sudah baik, skor 82,07. Tetapi ketika ditanyakan apakah penyelesaian kasus pers oleh lembaga peradilan menekankan hukum perdata (berupa denda) atau pidana (kurungan badan), skornya berbeda cukup jauh yakni 73, 26.
Perbedaan ini menunjukkan dalam persepsi responden, lembaga peradilan belum menjadikan Undang Uundang Pers sebagai acuan utama dalam menjalankan proses pengadilan yang melibatkan karya jurnalistik atau produk jurnalistik wartawan.
Kasus yang dialami wartawan banjarhits.com, Diananta Putra Sumedi, yang membuat beritanya di Kumparan.com, menjadi contoh sempurna yang mendukung pernyataan di atas.
Sebenarnya kasus yang melibatkan wartawan di Banjarmasin ini sudah selesai di Dewan Pers, melalui Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) No. 4/II/2020 tanggal 5 Februari 2020, yang memberi sanksi Kumparan untuk memuat hak jawab. Sesuai dengan UU Pers, pemuatan hak jawab (dan disertai permintaan maaf) merupakan mekanisme penyelesaian komplain dari masyarakat atas kasus pers yang dianggap merugikannya.
Tetapi kemudian kasus ini diteruskan ke pidana melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan diterima polisi karena meskipun penulisnya adalah wartawan (punya hak membuat dan menyebarkan informasi) dan produknya adalah karya jurnalistik (sesuai dengan penilaian Dewan Pers meski ada pelanggaran kode etik), tetapi pembuat berita adalah media yang belum berbadan hukum.
Hakim di Pengadilan Negeri Kota Baru, Kalimantan Selatan, memberikan vonis 3 bulan dan 15 hari penjara karena yakin pada tuntutan jaksa bahwa ini adalah kasus menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.
Selain Diananta, ada beberapa wartawan yang harus mendekam di balik jeruji besi, karena kelalaian mereka yakni menyebarkan berita yang dimuat di media massanya, ke akun media sosial pribadi, yang tidak masuk dalam wilayah Undang-Undang Pers.
Hal di atas menunjukkan, masih perlunya apparat penegak hukum untuk mendahulukan UU Pers dalam penanganan kasus yang sudah direkomendasikan Dewan Pers untuk diselesaikan melalui mediasi dan ajudikasi.
Di samping itu wartawan harus semakin professional dengan mengetahui secara persis berbagai peraturan atau undang-undang yang berpotensi mengkriminalkan wartawan dan karya jurnalistik, agar terhindar dari penjara karena kriminalisasi dari pihak yang tidak berempati pada kemerdekaan pers. (arl)