29 Maret 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Taman Budaya Jambi Hadirkan Wayang Kulit Lakon Dewaruci oleh Sanggar Lokananta

5 min read

Wayang Kulit dari Sanggar Lokananta di TBJ/Foto: Wildan

JAMBIDAILY SENI, Budaya – Penikmat seni di kota Jambi (Jum’at/09/09/2022) dihibur pagelaran wayang kulit persembahan Sanggar Lokananta dengan lakon Dewaruci bersama Dalang Ki Suyono dan Ki Raden Edy Kuncoro di Gedung Teater Arena, Taman Budaya Jambi.

Pagelaran ini diselenggarakan Pemerintah provinsi Jambi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Jambi UPTD Taman Budaya Jambi, didukung penuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Dirjen Kebudayaan dalam bingkai Dana Alokasi Khusus (DAK).

“Inilah program pengembangan seni tradisional, kegiatan pembinaan kesenian yang masyarakatnya pelaku lintas daerah kabupaten/kota pada sub kegiatan peningkatan kapasitas tata kelola lembaga kesenian tradisional dan sub kegiatan peningkatan pendidikan dan pelatihan SDM kesenian tradisional,” Terang Eri Argawan, Kepala Taman Budaya Jambi.

Dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, (Dibaca Jum’at, 09/09/2022 Pukul: 14.28 wib) Kisah Dewa Ruci merupakan alegori tentang hasrat manusia yang terus ingin melacak keberadaan Tuhan, dan dengan nalarnya ia melakukan penjelajahan. Menurut filsafat Jawa, manusia disebut sebagai jagat cilik atau mikrokosmos (dunia kecil), sedangkan semesta raya disebut sebagai makrokosmos atau jagat gede yang merupakan manifestasi dari Tuhan sendiri.

(Wayang Kulit dari Sanggar Lokananta di TBJ/Foto: Wildan)

Jagat mikrikosmos sama luasnya dengan jagat makrokosmos. Di sana, rahasia ketuhanannya diberi petunjuk: “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Keyakinan ini mengendap dalam keyakinan orang-orang Jawa pada masa silam.

Perjalanan Bima mengalahkan para raksasa untuk menemukan air perwita, mengalahkan naga, dan bertemu dengan Dewa Ruci sarat akan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan, misalnya nafsu makan, kekuasaan, kesombongan, dan semacamnya. Bima mencapai kesempurnaan karena watak dan sifat rela, patuh, waspada, eling (tidak lupa diri), dan rendah hati. Seseorang yang telah mengetahui jati dirinya akan melakukan hal-hal tersebut dengan alasan ia mengamalkan tugas-tugasnya di dunia.

Dewa Ruci, dalam cerita pewayangan, adalah nama seorang dewa kerdil yang dijumpai oleh Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan. Nama Dewa Ruci juga merupakan lakon atau judul pertunjukan wayang tentang dewa tersebut, yang berisi ajaran moral dan filsafat hidup orang Jawa.

Lakon wayang tersebut merupakan interpolasi bagi Mahabarata, sehingga tidak ditemukan dalam naskah asli Mahabharata dari India. Lakon Dewa Ruci berkisah tentang kepatuhan murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan menemukan jati diri.

Menurut filsafat Jawa, pengenalan jati diri akan membawa seseorang mengenal asal-usul diri sebagai ciptaan dari Tuhan. Pengenalan akan Tuhan itu menimbulkan hasrat untuk bertindak selaras dengan kehendak Tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan, yang disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba-Gusti).

(Patung Dewa Ruci di daerah Kuta, Bali. Menampilkan adegan ikonik dalam lakon Dewa Ruci, yaitu pergumulan antara Bima dengan naga/Foto: Wikipedia)

Dalam lakon Dewa Ruci dikisahkan bahwa seorang kesatria perkasa bernama Bima (alias Werkudara) ditugaskan oleh gurunya yang bernama Drona (Durna) untuk mencari air kehidupan (tirta perwita) yang dapat membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup. Perintah ini sesungguhnya hanyalah siasat untuk melenyapkan Bima supaya tidak ikut serta dalam Perang Bharatayuddha yang sedang dipersiapkan. Bima pun menjalankan titah sang guru. Ia berangkat menuju tempat-tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona.

Pertama, Bima diutus ke gua gunung Candramuka. Setelah mendapati bahwa air yang dicarinya ternyata tidak ada, maka ia mengobrak-abrik gua sehingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi perkelahian antara mereka, yang akhirnya dimenangkan oleh Bima. Saat beristirahat usai pertempuran, ia bersandar pada sebuah pohon beringin. Tak lama kemudian, suara tak berwujud yang berasal dari Batara Indra dan Bayu memberi tahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Bima ternyata memang sedang dihukum Batara Guru. Lalu mereka memerintahkan Bima agar kembali ke Astina karena air kehidupan tak ada di gua tersebut.

Setiba di Astina, Bima kembali menghadap Drona. Sang guru berdalih bahwa ia hanya menguji Bima. Kemudian, ia pun memerintahkan Bima untuk menuju samudra demi mendapatkan air kehidupan. Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan. Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru. Sesampainya di tepi samudra, ia menenangkan pergolakan batin dalam dirinya, sebelum memasuki samudra raya itu. Berkat kesaktian Aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, Bima mampu memasuki dasar samudra dengan cara menyibak air; bahkan ia sanggup bernapas di dalamnya. Seekor naga yang menghuni dasar samudra segera melilit Bima. Setelah bergumul cukup lama, ia pun menikamkan kukunya (Pancanaka) ke badan naga, yang akhirnya merenggut nyawa naga tersebut.

(Ilustrasi Bima bertarung dengan naga di dasar samudra/Foto: Wikipedia)

Di samudra yang sama, Bima bertemu dengan seorang dewa kerdil bernama Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Bima sendiri. Besar dari Dewa Ruci tidak lebih besar dibanding telapak tangan Bima. Dewa Ruci memerintahkan Bima untuk memasuki telinga kirinya. Namun—dengan sebuah keajaiban—Bima berhasil masuk ke telinga dewa kerdil itu, dan di dalamnya Bima mendapati dunia yang mahaluas. Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri. Bima memahami wejangan Dewa Ruci yang sesungguhnya adalah representasi dirinya sendiri, yang muncul dan memberi pengajaran kepadanya karena ia telah mematuhi perintah gurunya (Drona) dengan sepenuh hati.

Ada empat macam cahaya yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih. Menurut Dewa Ruci, cahaya itu disebut Pancamaya, ada di dalam hati manusia. Sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning, dan putih, itu adalah penghalang hati. Yang hitam melambangkan kemarahan, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa prasangka, unggul dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Sukma Mulia.

Lalu Bima melihat cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung. Menurut Dewa Ruci, itu adalah kemampuan manusia untuk berwaspada, yang disebut sebagai Pramana. Pramana menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita. Dewa Ruci juga menjelaskan tentang Sukma Sejati serta persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, perasaan Bima menjadi bahagia. (*/HN)

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 1 = 8