29 Maret 2024

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Sekeluarga Mendayung Menerobos Amukan Badai COVID-19 #6 : Dibentak Doni Monardo Saat Baru Saja Dinyatakan Positif COVID-19

6 min read

ADA TITIK saat dimana pasien positif COVID-19 berfikir boleh jadi inilah perjalan akhir kehidupan di dunia ini. Berfikir kalau waktu saat diberitahu positif terpapar COVID-19 merupakan awal hitungan mundur kehidupan di dunia ini dalam hitungan hari atau minggu.

Setidaknya itu pernah terlintas dalam pikiran penulis saat awal-awal penulis dinyatakan positif COVID-19.

Terlebih bagi penulis yang tinggal sendirian di Jakarta karena tugas, sementara istri dan anak-anak tinggal di Wonogiri, Jawa Tengah. Tidak dapat dipungkiri juga kalau penulis dihinggapi bayangan kalau momen pertemuan sebelum ke Jakarta kemungkinan sebagai momen pertemuan terakhir dengan istri dan anak-anak.

Dan terbayang kalau dalam beberapa waktu kedepan hanya bisa melepas rindu dengan mereka melalui video call yang bisa saja sewaktu-waktu tidak bisa lagi dilakukan kalau-kalau kondisi drop banget dan tidak sadarkan diri.

Dan tentu saja juga terlintas di pikiran situasi kalau penulis meninggal dalam perawatan : petugas dan kantor memberitahu istri dan anak-anak, sementara petugas pemakaman mempersiapkan segala sesuatu sesuai protokol pemakaman pasien COVID-19 tanpa kehadiran istri, anak-anak, kerabat, dan handai taulan. Dan dimakamkan di Jakarta, jauh dari kampung halaman.

*

Kesedihan benar-benar tak tertahankan dalam kesendirian penulis di apartemen dinas. Air mata bercucuran. Jiwa dan raga lemes tanpa tenaga dan semangat. Selera makan hilang.

Timbul keinginan untuk mencari bantuan agar kalau wafat dapat dimakamkan di Wonogiri, Jawa Tengah.

Harapannya : setidak-tidaknya istri dan anak-anak dapat melihat peti mati penulis.

Harapannya : setidak-tidaknya istri dan anak-anak dapat melihat prosesi pemakaman suami dan Ayah mereka, walau dari jarak jauh.

Harapannya : setidak-tidaknya istri dan anak-anak mengetahui dimana suami dan Ayah mereka dimakamkan.

Tentu saja, tanpa penulis sadari, situasi phsikologis dan pikiran penulis ini sangat berpengaruh pada daya imun penulis : daya imun terjun bebas.

Pada saat situasi seperti itulah penulis menelpon Bapak Letjend TNIj Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Satgas Pengendalian COVID-19 Pusat.

*

Penulis belum pernah sekalipun bersua tatap muka langsung dengan beliau. Pernah video call cukup lama, lebih satu jam, membahas Keterbukaan Informasi Publik, khususnya keterbukaan data pasien positif COVID-19, dalam upaya pengendalian penyebaran COVID-19 diawal-awal beliau menjabat Ketua Satgas.

Semenjak itu komunikasi via WA maupun sambungan telpon sangat lancar. Beliau tipe pejabat yang ideal dalam pandangan penulis. Belum pernah sekalipun WA maupun panggilan terpon penulis yang tidak beliau jawab. Memang dan wajar saja kalau terkadang harus tertunda beberaoa waktu karena kesibukan beliau, namun tidak pernah sampai berganti hari.

Beliau ternyata juga sama-sama berasal dari Tanah Datar, Sunatera Barat, dengan penulis. Beliau sudah seperti orang tua bagi kami perantau Minang di Jakarta.

*

Penulis butuh keberanian luar biasa untuk sekedar bertanya kemungkinan meminta bantuan beliau : Bisakah dibantu kalau penulis wafat dalam perawatan di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, dimakamkan di Wonogiri?

Penulis tidak ingat kalimat persisnya jawaban Pak Doni Monardo. Penulis hanya mengidentifikasi kalau nada suara beliau bernada bentakan.

Bentakan yang cukup membuat penulis tersadar kalau penulis sedang dalam situasi pemikiran dan phsikologis sangat berbahaya bagi kesehatan dan usaha kesembuhan penulis dari COVID-19 karena sedang terjadi penurunan drastis daya imun penulis.

Kira-kira begini kalimat jawaban Pak Doni Monardo diujung telpon :

” Apa yang Pak Hendra pikirkan dan bicarakan? Saya tidak mau mendengar dan membahasnya. Saya hanya mau mendengar dan membahas tentang bagaimana usaha yang perlu dilakukan untuk sembuh, tidak yang lainnya, sangat berbahaya membahas hal lainnya bagi daya imun Pak Hendra. Nanti kalau perlu saya kirim makanan Padang ke Wisma Atlet. Titik”

Kalimat dan nada bicara beliau saat itu seolah gabungan kalimat dan nada bicara seorang Komandan kepada pasukan dan Mamak (Paman dalam keluarga Minang) kepada keponakan dalam tradisi Minang.

Nada dan kalimat yang cukup kuat untuk membuyarkan segala perasaan dan pemikiran penulis tentang potensi kematian karena kegagalan perawatan yang sedang menyelumuti pikiran dan perasaaan penulis.

Nada dan kalimat yang cukup kuat untuk membentengi penulis dari pemikiran dan perasaan selain dari pemikiran dan perasaan optimis sembuh dan kembali berkumpul dengan istri dan anak-anak.

Nada dan kalimat yang cukup kuat untuk membangunkan semangat juang penulis agar mencurahkan segala daya dan upaya, segala pemikiran dan perasaan, hanya untuk sembuh, sembuh, dan sembuh.

Nada dan kalimat yang cukup kuat untuk membangunkan keyakinan penulis bahwa hidup mati itu urusan Allah SWT, tidak perlu terlalu dipikirkan. Tugas kita sebagai manusia adalah berikhtiar untuk sembuh. Bukankah yang sembuh lebih banyak dari yang meninggal?

*

Di kemudian hari penulis sadari ternyata waktu saat bentakan Pak Doni Monardo tersebut merupakan salah satu persimpangan jalan titik krusial penulis antara jalan menuju daya imun naik atau jalan menuju daya imun terjun bebas. Dan bentakan itu membawa penulis dapat menempuh jalan menuju kesembuhan.

Semenjak itu penulis sudah melupakan segala hal selalin pemikiran dan perasaan optimisme untuk sembuh dan ikhtiar untuk itu. Kalaupun pemikiran pesimisme kadang datang, segera penulis usahakan untuk mengusirnya secepat mungkin.

Semangat itulah yang menjiwai seluruh perjalanan penulis selama 12 (dua belas) hari dirawat di Tower 6 Wisma Atlet, tower khusus untuk pasien bergejala dan kormobid (penyakit penyerta). Semangat itu kadang diwujudkan dalam bentuk usaha menghabiskan 2 (dua) potong lauk selama lebih dari 2 (dua) jam, dimakan sedikit demi sedikit, kadang dibantu menelan dengan air.

Tanpa bentakan Letjen TNI Doni Monardo tersebut, penulis tidak tahu apakah akan menjalani masa perawatan dengan imun yang senantiasa meningkat atau justru sebaliknya.

*

Belajar dari pengalaman sendiri, penulis berkeyakinan kalau kesembuhan dari COVID-19 amat sangat tergantung pada semangat dan keyakinan kita sendiri sebagai pasien : semangat dan keyakinan untuk sembuh, semangat dan ikhtiar untuk sembuh, semangat untuk mengendalikan pikiran dan perasaan agar selalu dipenuhi dengan pikiran dan perasaan optimisme, semangat untuk menjaga kepercayaan kepada dokter dan petugas medis, semangat untuk senantiasa yakin pada pertolongan Allah SWT.

Tanpa itu semua, sehebat apapun dokter dan perawat, selengkap apapun peralatan perawatan medis, sebagus apapun obat-obatan tidak akan banyak membantu meraih kesembuhan.

Menurut hemat penulis, setiap pasien COVID-19 memerlukan orang yang dapat menyadarkan mereka bahwa mereka harus fokus pada menjaga optimisme, perasaan, dan pemikiran untuk sembuh dan menblokir pemikiran dan perasaan sebaliknya, walau itu dengan bentakan sekalipun. Bentakan kepedulian dan bentakan sayang yang terukur tentunya. Bentakan seperti yang penulis dapatkan dari seorang Doni Monardo diatas.

*

Terima kasih Pak Doni, semoga Allah SWT selalu melindungi dan memberi petunjuk kepada Bapak dan keluarga dalam menjalankan amanah negara, aamiin

Bersambung ke…… “Masuk dan Memulai Perawatan di Wisma Atlet Kemayoran”

 

Oleh : Hendra J Kede
Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

51 + = 55