Cerpen Yanto bule “Menjemput Cahaya”
5 min readSuara kapak yang membelah kayu hutan terdengar nyaring, di tangan lelaki berkulit kecoklatan dan memiliki badan kekar serta berotot, begitu bersemangat menebangi kayu hutan.
Luas areal yang di tebang sudah lumayan luas, tetapi lelaki kekar itu masih juga menebangi hutan untuk membuka lahan, Ya…lahan yang di garap merupakan kawasan hutan yang sangat lebat, pepohonan besar masih tegak berdiri, sementara rotan jenis tali dan rotan besar terlihat banyak di sepanjang payau, tetapi lelaki kekar itu tetap memilih jenis kayu yang di pertahankan seperti pohon jenis jernang, sebab bagi kelompok lelaki kekar dengan kumis tipis dan hanya mengunakan cawat dari kain panjang, hutan adalah ibu bagi mereka.
Namaku Besudut, di kelompokku aku di tuakan di angkat menjadi temenggung di masyarakat adat suku anak dalam, semua perintah dan laranganku selalu di patuhi oleh anggota kelompokku yang berjumlah lebih dari 20 kepala keluarga.
Anggota kelompok yang terdiri dari perempuan dewasa, dan anak anak mereka tinggal di atas Sudung yang di buat dari susunan kayu bulat dan atapnya di buat dari dedaunan tumbuhan hutan.
Sementara untuk mencukupi kebutuhan makan mereka, sering melakukan perburuan hewan Hutan dan sesekali jika mereka keluar hutan, untuk berinteraksi dengan warga terang, sering melakukan barter buah buahan hutan seperti tampoy, cempedak, rambutan hutan dengan beras, minyak dan garam.
Kehidupan kelompokku sangatlah damai,tidak pernah terjadi perselisihan di antar kelompokku, sebab kami meyakini jika permusuhan hanyalah sumber malapetaka untuk kelompokku .
Kicauan burung rangkong dan suara monyet, membelah hutan dimana lokasi kami tinggal, kehidupan yang kami jalani hanyalah bertahan hidup.
Lokasi hutan yang aku buka dengan kelompoku sudah cukup luas, selain di tanami umbi umbian, lahan hang kami buka juga di jadikan lahan untuk menanam buah buahan,di harapkan agar beberapa tahun kedepan sudah bisa panen dan bisa di nikmati oleh kelompokku.
Aku sendiri memilki keluarga dengan seorang istri, dan dua anak lelakiku, meskipun aku hidup di dalam hutan lindung, tetapi aku tidak pernah risau sebab sebelum hutan yang luas dan di tetapkan menjadi hutan lindung oleh negara, kami sudah tinggal lebih dulu dan memanfaatkan hasil hutan nya, sebab bagi kami orang dalam hutan adalah ibu bagi kami.
Beberapa hari yang lalu, anakku sulungku pernah bercerita bahwa dirinya sudahlah dewasa dan sudah saatnya untuk menentukan pilihan hidup, sepertinya ia sudah tertarik kepada salah satu anak di kelompokku, tetapi aku belumlah setuju jika anak sulungku hanya menikah dengan sesama anak dalam, aku menghendaki dia untuk jadi orang terang dan berpikiran lebih maju lagi.
” bepak, Ake sudah besar dan harus menikah”
” anaku meranting, engkau adalah anak sulung yang aku harapkan bisa meneruskan tanggung jawab bapak sebagai temenggung,tetapi bapak ingin kamu menikah dengan orang terang”
” apakah mereka orang terang mau menerima orang seperti kita pak”
” jikalah dewa sudah mentakdirkan menikah dengan orang terang,tentu tidak ada halangan”
Angin malam mulai menyelinap dingin, menerobos di sela sela sudungku yang sederhana, pikiranku mulai tak menentu memikirkan anak sulungku yang sudah waktunya menikah.
Segala macam bunga, yang ku petik siang tadi aku bawa ke bawa pohon jernang, ku kindungkan semua lantunan syair kepada dewa dewa penguasa jagat ini, agar bisa memberikan petunjuk untukku.
Terlintas dalam hati, jika suatu saat aku memiliki menantu orang terang, aku ingin hidupku bisa berubah, dan tidak lagi aku kidungkan syair indah untuk para dewa yang bersemayam di dalam hutan, sebab selama ini aku juga sering melihat orang terang dengan baju bersih, memakai tutup kepala mendatangi rumah besar dengan pengeras suara yang sering terdengar lima waktu.
” oh dewa, berilah petunjuk mu agar apa yang aku pikirkan bisa mendapatkan petunjuk, jika niat ini baik kabulkan tapi jika ini menjadi niat buruk jangan engkau kabulkan”
Perlahan , aku pulang dengan menyusuri jalan setapak dengan rerumputan yang berada di kiri kanan jalan, aku pulang menuju Sudung untuk istirahat, terlihat istriku sudah lelap di atas Sudung dengan kain panjang menutupi tubuhnya tanpa bantal.
Tiba tiba aku mendengar suara meranting anak sulungku, seperti memanggilku dari jauh, dari kejauhan aku melihat tingkahnya seperti kegirangan, sambil berlari lari kecil meranting menghampiriku.
” bepak, akhirnya aku menemukan jodohku , ada anak perempuan bernama Siti orang terang mau menerimaku”
” akhirnya doaku terkabulkan Dewata, segeralah menikah nak”
Ku peluk erat meranting, lelaki kekar yang mewarisi ku, ku bawa menemui ibunya yang tengah memasak ikan hasil memasang bubu di sungai, dengan raut gembira kabar itu langsung beredar luas di semua kelompok bahwa anakku akan menikah orang terang.
Tiba tiba ada tangan meraih pundakku, di tengah panasnya terik matahari di Masjidil haram, orang yang belum ku kenali membawaku mendekati Kakbah, mempermudah aku untuk mencium Hajar Aswad yang banyak di harapkan jemaah haji saat beribadah di baitullah.
Sujudku tak pernah putus, betapa besar karunia Allah yang menyempurnakan ibadahku, dengan memanggilku ke rumahNYA , dulu aku tidak mengenal Tuhan dan hanya mengenal dewa dewa pemilik semesta yang banyak mendiami pohon, dan batu besar.
Saat ini aku benar benar menjelma menjadi orang yang sangat beruntung mengenal Tuhan, tanpa gejolak di kelompoku jabatan temenggung ku serahkan untuk di teruskan adiku, dan aku kini bukanlah orang rimba biasa tetapi menjadi orang rimba yang jauh lebih berguna untuk kelompoku dan masyarakat terang, nama rimbaku yang awalnya di panggil Besudut saat ini sudah berganti menjadi nama muslimku Abdulah akupun di gelari haji , betapa senangnya hatiku menimang cucu pertamaku yang menangis kencang mengagetkan seisi hutan.
Tambang emas 11 Juli 2024