15 Juni 2025

Jambi Daily

Media Online Publik Aksara Propinsi Jambi

Melupakan Akar, Menjilat Kekuasaan

Oleh: Ali Prawinata, S.H., M.H.

Di sebuah dusun di Merangin, Jambi, kata “Kamu” bukanlah sapaan biasa. Ia bukan panggilan akrab, apalagi nada tinggi dalam kemarahan. “Kamu” adalah simbol penghormatan. Ia berasal dari bahasa tuo, bahasa adat yang diwariskan turun-temurun untuk menjaga adab dan relasi sosial.

Di Kerinci, bentuk penghormatan serupa muncul dalam kata “Kayo”. Kedua kata ini menandakan bahwa anak muda di daerah itu belum tercerabut dari akar. Mereka bisa kuliah di kota, berdiskusi soal konstitusi, bahkan berdiri di barisan demonstrasi—tetapi di lidah mereka tetap hidup bahasa para leluhur.

Ironisnya, ketika seorang mahasiswa menggunakan sapaan “Kamu” dalam sebuah aksi protes, ia justru dituduh kurang ajar. Padahal konteksnya jelas: ia sedang menyampaikan kritik. Mungkin itulah yang sebenarnya tak disukai: keberanian bersuara, bukan pilihan katanya.

Kita hidup di era yang sering mengaburkan makna “beradab”. Mengkritik dianggap serangan. Menyampaikan kebenaran disamakan dengan penghinaan. Yang tidak tunduk, dilabeli pembangkang. Yang bersikap kritis, disebut barisan sakit hati. Dalam iklim ini, peran mahasiswa dan rakyat sebagai agent of control perlahan-lahan dibungkam dengan stigma.

Yang tumbuh subur justru para penjilat. Mereka sibuk menjaga citra kekuasaan, bahkan melebihi para pejabat itu sendiri. Kita pun dibuat bertanya, apakah mereka lulusan perguruan tinggi atau justru akademi puja-puji?

Ketika buzzer lebih dipercaya daripada data, ketika kritik dianggap makar, dan ketika pengaduan guru tentang jembatan rusak malah berujung pada klarifikasi, kita patut cemas. Sistem yang mestinya menjamin partisipasi rakyat malah menjadi arena sensor massal.

Di tengah gegap gempita proyek efisiensi dan pembangunan dari pusat, masih ada dusun yang tak melihat aspal selama lebih dari tiga dekade. Saat hujan, jalan menjadi kubangan. Saat kering, menjadi debu yang menyesakkan.

Namun peresmian tetap dilakukan. Pita tetap dipotong. Swafoto tetap diunggah. Yang penting tampak meriah.

Barangkali, dalam paradigma kekuasaan hari ini, “beradab” artinya patuh. Diam adalah emas, tunduk adalah kebajikan, dan ikut merayakan kesalahan bersama adalah bentuk tertinggi dari loyalitas.

Kalau begitu, kita bukan hanya kehilangan akal sehat, tapi juga kehilangan makna bernegara.(*)

Ali Prawinata, S.H., M.H. merupakan lulusan terbaik angkatan pertama Fakultas Hukum Universitas Merangin. Ia melanjutkan studi magister hukum di Universitas Bung Hatta dengan kekhususan Hukum Tata Negara. Aktif menulis opini kebijakan daerah di berbagai forum dan medium nasional, ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum HMI Cabang Bangko periode 2021–2022.

Tinggalkan Balasan

Jambi Daily