Categories JURNAL PUBLIK

Kursi Panas Dinas Pendidikan Merangin: Tiga Kali Ganti Plt di Tengah Tekanan, Kekacauan, dan Lemahnya Kepemimpinan

Editorial: Nazarman

MERANGIN — Jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merangin kini benar-benar menjadi kursi paling panas di lingkungan birokrasi daerah. Dalam hitungan minggu, posisi ini sudah tiga kali berganti pejabat, dua di antaranya mundur hanya beberapa hari setelah dilantik.

Nama Henizor bukanlah orang baru. Ia pernah menjadi Plt Kadis Pendidikan selama lebih dari setahun pasca pensiunnya Abdul Gani. Setelah dilantik sebagai Staf Ahli Bupati, ia justru kembali dipanggil untuk menjabat Plt Kadis. Ironisnya, baru beberapa hari memegang mandat, Henizor memilih mundur.

Kursi itu kemudian ditempati Ferdi Firdaus, pejabat BKPSDM Merangin. Namun lagi-lagi, jabatan itu tak bertahan lama. Ferdi pun mengundurkan diri tak sampai sepekan setelah menerima SK. Kini posisi itu diisi oleh Juhendri, pejabat internal yang baru saja dilantik sebagai Sekretaris Dinas, dan langsung dipasangkan menjadi Plt Kadis Pendidikan pejabat ketiga dalam hitungan hari.

Pergantian beruntun ini bukan sekadar rotasi birokrasi. Ini adalah indikasi kegagalan kepemimpinan di tingkat kepala daerah. Dinas Pendidikan kini tak ubahnya arena tekanan dari segala arah mulai dari tim sukses, rekanan proyek, oknum penegak hukum, hingga segelintir wartawan dan LSM yang ikut bermain dalam urusan proyek. Siapa pun yang duduk di kursi itu, selalu berada di bawah bayang-bayang titipan dan intervensi yang membuat posisi Plt tak ubahnya ujian ketahanan mental.

Di tengah kekacauan itu, muncul pula persoalan baru: perubahan nomenklatur dinas yang justru memperparah situasi. Bidang SD (Sekolah Dasar) dihapus dan diganti menjadi Bidang Sarana dan Prasarana (Sapras) di saat kegiatan tengah berjalan. Akibatnya, banyak proyek terancam tak bisa dilaksanakan karena kebingungan administratif dan peralihan tanggung jawab yang mendadak.

Kondisi ini memperlihatkan satu hal yang tak terbantahkan: Bupati Merangin tidak mampu mengendalikan birokrasi di bawahnya. Ketika tekanan dari luar dibiarkan, ketika struktur organisasi berubah tanpa kesiapan, dan ketika pejabat satu per satu memilih mundur, maka jelas bukan para Plt yang gagal melainkan sistem yang rusak karena arah kepemimpinan yang kabur.

Kekacauan di Dinas Pendidikan bukan muncul tiba-tiba. Ia adalah hasil dari kompromi politik yang terlalu dalam merasuki birokrasi. Jika Bupati membiarkan situasi ini terus berlanjut, maka yang menjadi korban bukan hanya pejabat, tapi masa depan pendidikan anak-anak Merangin sendiri.

Pendidikan adalah soal masa depan, bukan ajang uji coba kekuasaan.
Dan ketika masa depan itu kini digadaikan pada tarik-menarik kepentingan, maka publik berhak bertanya untuk siapa sebenarnya Bupati memimpin?..